Seorang pria nampak duduk bersila di depan sebuah benda berbentuk trapezium. Kemudian jari-jari tangannya mulai memetik beberapa dawai yang terpasang di bagias atas benda tersebut. Irama khas Sunda pun melantun dengan harmonisnya di dalam ruangan Sanggar Perceka yang sederhana itu. Kalangan seniman karawtitan Sunda menamai alat music tradisonal itu Kecapi. Di Sanggar Perceka Cianjur, kecapi menjadi insrumen yang wajib dipelajari siswa. Sanggar Perceka berada di bawah asuhan budayawan Cianjur, Tatang Setiadi. Ada semacam tradisi yang berlaku di tempat ini. Yaitu, selain kaum laki-laki, kebanyakan yang berlatih memainkan kecapi di sanggar ini adalah perempuan.
Ini
merupakan bentuk penyadaran, bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama untuk
memainkan kecapi. Tidak seperti di masa awal perkembangan music kecapi Cianjuran.
Pada mulanya, sekitar abad ke 18, kecapi hanya boleh dimainkan oleh laki-laki.
Itu pun terbatas di kalangan bangsawan saja. Para pemain kecapi perempuan
bermunculan ketika Perceka emrintis untuk pertama kalinya pada 1970-an. Tapi saat itu jumlah perempuan yang bergabung
untuk belajar alat musik kecapi, belum banyak.
Kini, kecapi di sanggar ini telah dimainkan oleh anak-anak dari usia enam tahun hingga remaja. Bakan, usia dewasa dan orang tua pun masih dapat bermain kecapi bersama di sanggar ini. Sanggar Perceka memang memiliki semangat untuk membina dan memperkenalkan tradisi dan budaya Sunda kepada para generasi muda. Pembinaan siswa di Perceka dilakukan sejak usia dini. Khusus untuk materi pembelajaran kecapi, dimulai sejak anak mengenal dan menyukai irama dan nada. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat merangsang perkembangan emosional dan sosial anak.
Pembelajaran music pada anak usia dini dan remaja memiliki model yang berbeda. Kegiatan dilakukan dua kali dalam sepekan, yakni Senin dan Kamis dari pukul 14.00-16.00 WIB di sanggar seni yang terletak di Jalan Suroso No 58, Cianjur ini. Metode yang digunakan adalah lisan, tertulis, dan contoh praktik. Cepat lambatnya anak dalam proses pembelajaran tergantung kemampuan dan daya juangnya untuk belajar. Kadang-kadang, dalam satu kelas ada saja anak yang mampu memahami lebih cepat ataupun sebaliknya, harus diulang beberapa kali baru bisa memahami materi yang diberikan.
Untuk mengukur tingkat kemampuan dan daya serap pembelajaran kecapi di Perceka, dilakukan ujian evaluasi secara berkala setiap satu semester. Ujian yang dilakukan pun terbilang cukup sederhana. Siswa diminta mengulang seluruh materi yang telah diberikan selama proses pembelajaran. Kalau lulus, mereka akan diberikan materi yang lebih tinggi. Untuk saat ini, Perceka membina belasan anak usia SD-SMP untuk bermain kecapi. Beberapa dari mereka mampu tampil dan bersaing di berbagai lomba dan event. Salah satu yang menjadi kebanggaan mereka yaitu dapat tampil di Istana Presiden, Cipanas, Desember 2012. Kadangkala bila ada kunjungan dari turis mancanegara, anak-anak didik di Perceka juga diajak untuk ikut bermain kecapi da berbagai instrumen lainnya.
Memainkan lagu dengan kecapi menggunakan tangga nada pentatonis Sunda. Sesuai namanya, pentatonis hanya memiliki lima buah nada. Pada tangga nada tradisional Sunda, susunannya adalah 1-2-3-4-5-1 (da-mi-na-ti-la-da). Setelan nada yang digunakan di anataranya adalah ‘laras’ degung, pelog, salendro, medenda, dan mataraman. Sementara untuk mengiringi lagu-lagu modern bertangga nada barat, digunakan kecapi dengan susunan tangga nada diatonis, yakni do-re-mi-fa-sol-la-si-do.
Beberapa kecapi di Perceka diproduksi secara swadaya. Adapun bahan-bahan dasar pembuatan alat musik ini di antaranya adalah kayu, plat besi, baut, senar, dan cat pelitur. Kayu yang digunakan bermacam-macam, tergantung jenis kecapi yang akan dibuat. Umumnya yang dipakai adalah kayu albasiah dan mahoni. Tetapi kayu jati juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan, misalnya untuk membuat kecapi diatonis dengan 30 dawai.
Ukuran kayu disesuaikan dengan desain jenis kecapi yang akan dibuat. Dalam seni karawitan Cianjuran biasanya dikenal dua macam kecapi, yakni kecapi indung dan kecapi siter. Pemasangan bagian-bagian badan dilakukan dengan tingkat kehati-hatian dan ketelitian tinggi. Karena kecapi adalah sebuah instrument musik, kesalahan penempatan bagian akan mempengaruhi kualitas suara.
Setelah seluruh bagian badan terpasang, bagian atas (muka) kayu kemudian dibuat lubang dengan cara dibor. Lubang ini berfungsi sebagai tempat memasukkan dawai. Oleh karenanya, jumlah lubang tersebut tergantung jumlah dawai pada jenis kecapi yang dibuat, yakni 15, 18, 20, 25, 30. Proses selanjutnya adalah pendempulan untuk menghilangkan pori-pori pada kayu. Dempul yang dioleskan tidak boleh terlalu tebal, karena dapat mempengaruhi suara. Setelah itu, kecapi kemudian diwarnai dengan pelitur. Warnanya bisa bermacam-macam. Ada yang hitam, cokelat kopi, merah mahoni, abu-abu, atau pun warna lainnya. Khusus untuk kecapi indung, selalu diwarnai dengan hitam, karena sudah tradisi dan menjadi ciri khas kecapi Cianjuran.
Beberapa kecapi justru ada yang tidak diwarnai, seperti yang terbuat dari bahan kayu jati misalnya, cukup dipelitur dengan warna bening (transparan) karena kayunya sendiri sudah memiliki pola yang indah.
Usai pewarnaan, langkah selanjutnya adalah memasang bagian penyetel nada (yang disebut pureut). Pemasangan bagian ini memiliki dua cara. Pertama, alat penyetel dipasang di bagian depan dengan tuas kayu. Cara ini lazim dipakai untuk kecapi indung yang kesannya lebih tradisional dan klasik. Sementara yang kedua adalah dipasang di sebelah kanan kecapi sebagai pangkal dawai dengan plat besi. Model pemasangan seperti ini sering dipakai untuk kecapi yang lebih modern. Terakhir, kecapi dipasangi dawai. Alat ini biasanya baru akan bisa menghasilkan nada-nada yang stabil setelah disetel 3-4 kali. Kecapi buatan Perceka dibanderol dengan harga beragam. Untuk kecapi berbentuk perahu, dijual mulai dari Rp 1,5 juta- 2 juta.
Komentar
Posting Komentar