Grebeg merupakan tradisi khas Jawa. Tradisi ini biasa dilakukan untuk menyambut hari-hari besar, seperti kelahiran Nai Muhammad SAW, Syawal, Idul Adha, dan Tahun Baru Jawa. Biasanya, perayaan dilakukan penguasa daerah dan melibatkan masyarakat yang tinggal di daerah itu. Acara itu sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta dengan membentuk gunungan yang terbuat dari makanan dan hasil bumi. Gunungan ini lalu dipikul dan diarak berikut dengan barisan kesenian. Pada puncak acara, gunungan itu diperebutkan oleh masyarakat yang sudah siap siaga menunggunya.
Tradisi
rebutan itu konon didasari oleh falsafah Jawa ora babah ora mamah. Artinya, jika kita tidak berusaha maka kita
tidak akan bisa makan. Tradisi Grebeg paling terkenal adalah Grebeg Mulud
dengan upacara Sekaten di Yoyakarta dan Surakarta. Ini adalah acara peringatan
hari lahir Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan tiap 5 Mulud, bulan pada
kalender Jawa. Upacara yang berlangsung di alun-alun ini konon dilakukan Sultan
Hamengkubuwono I, pendiri Keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat
mengikuti dan memeluk agama Islam.
Grebeg di berbagai daerah pun beragam dan semakin berkembang belakangan. Tapi, semua selalu melibatkan unsur gunungan dan memperebutkan gunungan itu. Di Surakarta, untuk memperingati Imlek, tahun baru Cina, warga Tionghoa di kawasan Sudiroprajan membuat gunungan kue keranjang. Acara yang dilaksanakan sejak 2007 ini dkenal sebagai Grebeg Sudiro. Di Kota Magelang, juga telah dikembangkan acara Grebeg Getuk untuk memperingati hari lahir kota tersebut. Gunungan yang diarak dan diperebutkan dibuat dari susunan aneka getuk, makanan yang menjadi ikon kota itu.
Komentar
Posting Komentar