Banyak hal tidak terduga
yang akan kita temui, saat berkunjung ke Madiun. Kota di Provinsi
Jawa Timur,
Indonesia
ini terletak 169 km sebelah Barat Kota Surabaya,
atau 114 km sebelah Timur Kota Surakarta. Selain terdapat pusat industri
kereta api (INKA),
Madiun juga dikenal sebagai salah satu pangkalan utama AURI, karena keberadaan Lapangan
Terbang Iswahyudi. Berbagai situs sejarah dan bangunan cagar bidaya pun masih
tersisa di kota ini meski sebagian nampak kurang perawatan dan perhatian dari
pemerintah daerah setempat, hingga kondisiunya sangat memprihatinkan.
Ya,
memang tidak banyak kenangan masa lalu yang tertinggal di Madiun. Kawasan
Pecinan yang dulu merupakan jantung ekonomi masyarakat dan dipenuhi bagunan
kuno, kini hampir tidak berbekas lagi. Mungkin salah satu bangunan kuno yang
masih bisa kita lihat di sini adalah sebuah rumah berarsitektur Tiongkok yang
berdiri kokoh, di tengah himpitan bangunan ruko-ruko baru yang tampak megah. Pada
gerbang rumah bercat hitam itu, terdapat tulisan aksara Cina, namun sayangnya
pada era orde baru, atas perintah aparat Negara, tulisan Cina pada pintu
gerbang berukuran empat meter itu harus ditutup.
Tak
jauh dari rumah itu, kita juga bisa menemui bangunan kuno lain yang merupakan
bekas rumah dinas kapitan Cina, yang letaknya di depan alun-alun Madiun. Kapitan
Cina dulunya adalah kepanjangan tangan pemerintah Belanda yang bertugas
mengawasi dan menarik retribusi kepada setiap warga Cina yang berdagang di
Madiun. Meski secara fisik terlihat bagus, rumah bergaya Eropa abad renaisans
yang memiliki tiga pintu depan itu, kondisinya terlihat kurang terawat. Banyak
rumput liar tumbuh di halamannya. Saat ini, rumah tersebut dikuasai secara
pribadi oleh keturunan Kapitan Cina.
Penelurusan jejak sejarah di Kota Madiun, selanjutnya bisa dilanjutkan ke jalan Diponegoro, yang duku bernama Jalan Wilhelmina. Di kawasan ini, terdapat bangunan bersejarah bernama gedung Bosbow. Bosbow atau Boschbouw diambil dari Bahasa Belanda, bosch yang berarti hutan atau kehutanan, dan bouw yang berarti gedung.
Pada era penjajahan, Bosbow merupakan sekolah kehutanan Madiun, cabang dari Sekolah Kehutanan Bogor. Pendirinya adalah JH Becking, seorang pimpinan Jawatan Kehutanan pada 26 Agustus 1939. Sekolah yang resminya bernama Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) itu didirikan karena Madiun dkenal sebagai sentra hutan produksi jati di Jawa Timur.
Kini bangunan itu dijadikan perumahan prajurit Komando Resort Militer (Korem) 081 Dhirotsaha Jaya. Namun sayangnya, kondisinya juga sangat memprihatinkan. Tugu di atas rumah sudah miring dan hampir ambruk. Adapun kondisi cat dan atap rumah dibiarkan tidak terawatt. Padahal seandainya pemerintah daerah setempat mau lebih memperhatikan dan melestarikan kondisi bangunan cagar budaya tersebut, tentu bangunan Bosbow bisa dijadikan sebagai tempat tujuan wisatawan yang menarik. Bahkan, bukan tidak mungkin bangunan Bosbow bisa menjadi ikon bangunan bersejarah di Madiun.
BANTENG KETATON
Salah satu peninggalan benda bersejarah di kota Madiun yang sempat ‘disingkirkan’, namun sampai sekarang masih tetap ada adalah patung banteng Ketaton. Pembuatnya adalah pematung Trijoto Abdullah pada 1947. Patung itu dianggap mencerminkan semangat warga Madiun yang dikenal sebagai ‘the Flame of Java’ dalam menghadapi agresi militer Belanda pertama.
Pematung kelahiran Solo pada 1917 itu awalnya menempatkan karyanya di depan Taman Makam Pahlawan Madiun, yang letaknya persis berada di poros jalan utama kota Madiun. Banteng yang terlihat sedang menunjukkan ekspresi marah itu disandingkan dengan patung seorang pejuang yang membawa bambu runcing. Pada penyangga patung terdapat semboyan, “rawe-rawe rantas, malang-malang poetoeng”
Namun, pada era Orde Baru, patung banteng itu kemudian dipindahkan ke kompleks Stadion Wilis, yang tidak termasuk jalur utama yang dilalui kendaraan. Sayangnya pula, kepindahan patung itu terkesan dilakukan secara asal-asalan. Karena sekarang patung banteng itu berdiri sendiri tanpa didampingi patung sang pejuang. Kondisi patung banteng juga sangat memprihatinkan. Tanduk dan ekornya sudah rusak oleh tangan-tangan jahil. Posisi banteng juga berubah, tidak lagi menghadap ke jalan raya, melainkan ke samping. Menurut cerita sejarah, perpindahan patung itu terkait erat dengan perubahan peta perpolitikan di Indonesia. Karena saat itu, si pembuat patung diduga memiliki kedekatan dengan kelompok kiri. Maka konsekuensinya patung banteng itu pun juga dianggap sebagai simbol pelawanan terhadap pemerintahan yang baru.
MENGUNJUNGI
SITUS MANGIR
Di
Madiun ada banyak situ berusia ratusan tahun yang teronggok begitu saja di
lahan terbuka. Salah saunya adalah situs
Mangiran di kawasan hitan jati yang dikelola PT Perhutani di desa Mangirejo,
Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun. Petunjuk untuk mencapai lokasi benda
peninggalan Kerajaaan Majapahit menjelang keruntuhannya itu cukup mudah. Begitu
menemukan lokasi tempat penampungan kayu Saradan yang terletak di jalur
Caruban-Nganjuk, kita bisa langsung masuk ke dalam area pengelolaan kayu jati.
Jalan selebar empat meter yang dulunya merupakan jalur kereta pengangkut kayu
peninggalan Belanda itu akan mengantarkan kita menuju situs. Sebelum sampai
sana, kita melewati jembatan besi yang dibawahnya merupakan jalur kereta
Madiun-Surabaya.
Ketika
masuk area hutan jati, hanya kendaraan roda dua yang bisa digunakan untuk
menyusuri jalan setapak, Di situ kita bisa menemukan jejak Pendopo Watu Gilang
peninggalan Ki Ageng Mangir, menantu Sutawijaya, raja Mataram pertama di
Mataram. Hanya kawat berduri berbentuk segi empat sepanjang 5x10 meter sebagai
pelindungnya. Uniknya, sejak ditemukan hingga kini, situ berupa batu berbentuk
melingkar yang dulunya digunakan Ki Ageng Mangir untuk beraudiensi dengan
masyarakat, masih utuh. Situs ini memang dulunya dijadikan tempat pertemuan
agar sang pemimping bisa dekat dengan rakyatnya. Dilihat dari rangkaian situs
yang tersebat di hitan, diprediksi dulunya terdapat kehidupan warga pada abad
ke 14 hingga 17 Masehi dengan corak Hindu dan Islam.
DI
luar Pendopo Watu Gilang, terdapat tumpukan peninggalan situs Kerajaan Majapahit
karena terbuat dari batu. Situs itu antara lain, lingga, batu lumpang, dan
lesung yang fungsinya untuk menumbuk padi, umpak penyangga tiang rumah, batu
bata berukuran besar berbentuk kotak dan bulat, dan berbagai ornamen pecahan
arca serta puncak candi. Semua benda-benda kuno itu hanya ditaruh di papan
terbuka sehingga ada sebagian yang hilang dicuri orang.
Sekitar
200 meter ke arah barat dari Pendopo Watu Gilang, ada aliran sungai yang di
sampingnya merupaka sumber mata air sendang. Ini merupakan salah satu petilasan
Ki Ageng Mangir. Di kawasan yang masuk Dusun Pepe, Petak 19, Caruban, itu ada
pemandian abadi berukuran 1,5 x 2 meter yang dibangun dari batu bata. Pemandian
berkedalaman air tiga meter itu dulu merupakan tempat mandi khusus raja.
DESA
KALIABU, SENTRA PEMBUATAN BREM
Nuansa
sentra pembuatan brem mudah terasa saat memasuki Desa Kaliabu. Sebuah desa yang
jaraknya sekitar 25 kilometer arah utara dari Kota Madiun. Banyak papan atau
poster sebagai petunjuk tempat industri rumah tangga penjual brem. Namun dari
puluhan industri rumah tangga pembuat brem, hanya dua yang benar-benar dapat
dikatakan sebagai produsen, bukan mendapat pasokan dan menjual brem dengan
bungkus merek sendiri.
Tidak
ada yang tahu pasti asal-usul sejarah makanan khas Madiun ini. Namun dari mulut
ke mulut, generasi ke generasi, dapat ditangkap bahwa penganan ini termasuk
jenis makanan mewah di masa penjajahan. Hal yang cukup dimaklumi, karena pada
saat itu bahan ketan sebagai bahan utama membuat brem, sangat sulit terjangkau.
Yang pasti, pembuatan brem di desa itu merupakan tradisi turun temurun yang
diwariskan nenek moyang para warganya.
Proses
pembuatan brem ternyata cukup mudah, namun memerlukan waktu yang cukup lama.
Lamanya proses pembuatan brem membutuhka waktu sekitar satu pekan. Bahan baku
ketan menjadi titik kritis bagaimana kualitas rasa brem bisa terjaga. Ketan
yang dipilih adalah ketan impor dari Vietnam. Ketan dari negeri Paman Ho Chi
Minch itu memang memiliki keunggulan bisa mengembang dan hasilnya tebal. Sementara itu, kualitas ketan local kalah
jauh dan yang beredar di pasaran pun banyak dicampur dengan beras.
Dalam
sehari, dibutuhkan sekitar 1,5 kwintal ketan untuk diolah menjadi brem. Ketan
yang sudah dipilih dicuci dengan air bersih untuk kemudian dimasak di tungku
selama 1,5 jam. Cara menglahnya mirip mengukus beras sampai matang. Ketika
dirasa sudah matang, ketan yang lengket didinginkan dengan cara dibolak-balik.
Lama pendinginan tidak ditentukan. Hanya saja, perlu menggunakan kipas angina agar
proses pendinginan bisa berlangsung cepat. Setelah dirasa dingin, ketan
dimasukkan ke dalam bak bundar dengan diberi ragi dan ditutup plastik Proses
fermentasi selama satu minggu dilakukan agar ketan menjadi tape manis.
Selanjutnya, ketan yang sudah lembek itu dimasukkan ke dalam kaleng untuk
diaduk ke dalam mesin pengolah hingga menjadi bubur. Di sini, diberi pula
pewarna satu botol ukuran jempol orang dewasa agar brem yang dijual nanti
bervariasi.
Ketan
diaduk terus selama 1,5 jam sambil diberi soda selama proses pengadukan. Soda
di sini berfungsi membuat brem yang sudah kering bisa mengembang. Tanpa soda,
akan banyak terbentuk rongga udara sehingga brem lebih ringan dan kualitasnya
kurang baik. Tahap selanjutnya, ketan yang sudah menjadi bubur ditumpahkan di
papan cetakan seluas 50 cm x 4 meter. Di papan kayu itu, dilakukan proses
pemadatan menggunakan tangan selama 15 menit. Terkadang para pekerja juga
menggunakan penggaris dari kayu untuk meluruskan ketan di papan. Bahan 1,5
kwintal ketan itu setiap harinya dibagi menjadi 13 papan. Bubur ketan itu lalu
dibiarkan sampai pagi keseokan harinya atau sampai adonan brem menjadi keras.
Adonan
yang sudah menjadi brem lalu digores sesuai ukuran sebelum dijemur. Dalam cuaca panas, penjemuran hanya
membutuhkan waktu setengah hari. Sementara di musim hujan butuh waktu sehari
hingga dua hari agar brem benar-benar kering. Dengan proses penjemuran itu,
brem bisa bertahan sampai empat bulan. Kalau tidak dipanasi sinar matahari,
brem hanya tahan sebulan. Proses pengeringan secara alami hingga kini tidak
bisa digantikan dengan teknologi.
Produk
brem yang dibuat dan djual warga Desa Kaliabu bisa terus bertahan hingga saat
ini, karena proses pembuatannya murni secara tradisional. Hingga kini proses
pembakaran, masih mengunakan tungku dengan kayu agar menghasilkan kualitas brem
unggulan. DI butuhkan kayu sebanyak satu mobil pick up setiap minggunya. Brem
itu dikemas dalam bungkus berukuran 5x20 cm. Terdapat lima jenis rasa, yaitu
cokelat, durian, jeruk, melon, dan stroberi. Produk brem Desa Kaliabu pun sudah
menembus pasar di Bali dan Kalimantan, selain memasok untuk toko-toko yang
berada di tengah kota Madiun.
BERKUNJUNG
KE PABRIK GULA
Madiun
juga dikenal sebagai daerah pengasil gula. Setidaknya terdapat lima pabrik gula
peninggalan Belanda yang masih beroperasi hingga saat ini. Dua di antaranya adalah Rejo Agung dan
Pagottan yang terletak di jalur utama kota Madiun. Terdapat symbol kereta api
yang djadikan tugu di depan dua pabrik gula itu. Meski bangunannya terlihat
tua, namun secara fisik kondisinya relatif bagus.
Yang patut disayangkan, jalur yang digunakan lori untuk mengangkut tebu dari perkebunan sudah tidak aktif meski kondisi relnya masih bagus. Sekarang pengangkutan tebu digantikan truk. Yang disayangkkan lagi, beberapa bangunan, khususnya di Pabrik Gula Rejo Agung, banyak yang dihancurkan tanpa alasan jelas. Namun kalau dirunut sejarah, bisa dipahami penghilangan beberapa gedung bersejarah itu, karena dulunya sering dijadikan ruang diskusi bagi kaum buruh untuk menyebarkan gagasan pemikiran filsuf Karl Marx. Pasalnya, Madiun dulu dikenal sebagai basis pergerakan kaum kiri.
MENGENAL
MASAKAN KHAS MADIUN
Cita
rasa segar dan berani merupakan kekhasan produk kuliner Madiun. Berikut makanan
legendaris kota ini yang bisa dinimati :
1.
Pecel Madiun.
Madiun identik dengan pecelnya. Karena itu pecel Madiun sangat terkenal dan digandrungi masyarakat. Pecel Madiun terdiri dari sayuran, singkong, bunga turi, kecambah, dan daun kemangi yang di atasnya dilumuri bumbu kacang dicampur petis. Di antara sekian banyak warung pecel yang ada di kota ini, salah satu yang terkenal adalah Warung Pecel Bu Andik, yang terletak di sudut pertigaan Jalan Kompol Sunaryo dan Jalan Dr Sutomo. Warung ini buka mulai pukul 17.00 WIB hinga 04.00 WIB. Pecel yang dijual oleh warung yang letaknya di depan gerbang utama Stasiun Madiun ini sangat komplet. Dengan lauk telur dadar, tempe goreng, dan ditambah kering tempe dan tahu yang dicacah tipis, kita cukup mengeluarkan Rp 8000 untuk membelinya.
2.
Nasi Jotos
Nasi Jotos sangat familiar di masyarakat Madiun. Bentuknya mirip nasi kucing di Yogyakarta yang biasanya dijual di angkringan. Bedanya, porsi nasi jotos lebih banyak. Biasanya, nasi jotos dibungkus daun pisang dengan satu porsi berisi lauk mi kering, tempe kering olahan bumbu, dan sambal pedas. Harganya Rp 2.500 per porsi.
3.
Garang Asem
Garang Asem merupakan alternative makanan yang bisa dicoba ketika bertandang ke Madiun. Makanan ini berasal dari Jawa Tengah, tapi populer di Madiun. Garang asem merupakan menu olahan ayam yang diberi bumbu tradisional dengan larutan santan yang dibungkus daun pisang dan kemudian dikukus. Karena rasanya yang menggoda selera dan gurih, garang asem sangat pas dimakan dalam kondisi panas. Harga garang asem dijual pada kisaran Rp 8000 atau Rp 10.000, plus nasi.
Komentar
Posting Komentar