Depok, kota administratif di Selatan Jakarta ini ternyata menyimpan kenangan sejarah yang lumayan lama. Sebagaian dari masa lalunya merupakan tanah perkebunan luas milik tuan tanah Belanda. Menyusuri peninggalan bersejarah di kota yang sudah padat dengan pemukiman ini, menjadi sebuah tantangan yang seru. Ada beberapa jalan yang sudah berusia lebih dari satu abad yang bisa menjadi patokan penjelajahan. Jalan-jalan itu masuk dalam area Depok lama yang terletak di kecamatan Pancoran Mas. Di daerah itu kita bisa menemui sejumlah peninggalan yang tersisa. Mulai Pondok Cina, Jembatan Panus, hingga rumah dan kantor presiden Depok.
KAWASAN
DEPOK LAMA
Untuk menuju kawasan Depok Lama yang terletak di kecamatan Pancoran Mas, caranya cukup mudah. Dari arah Jakarta, kita bisa menghabiskan Jalan Raya Margonda hingga bertemu perempatan. Di ujung jalan itulah, kita sudah memasuki kawasan bersejarah kota Depok. Penelusuran sejarah kota Depok, bisa dimulai dengan mengambil jalan belok kiri, masuk ke Jalan Siliwangi. Tak jauh dari situ terdapat sebuah pemakaman kuno bagi seluruh keturunan pendiri Depok lama. (Letaknya sekitar 100 meter di belakang Rumah Sakit Hermina/ Jalan Kamboja). Di lahan pemakaman seluas sekitar 8.800 meter persegi itu, kita bisa menemukan banyak batu nisan orang-orang yang meninggal bertuliskan abad ke 19, di antaranya batu nisan milik Adolf van Der Capellen, yang tertulis lahir pada 15 Januari 1825 dan meninggal pada 6 April 1888. Karena sudah berusia dua abad, areal pemakaman yang sudah penuh ini termasuk bersejarah dan bisa menjadi salah satu bukti betapa peradaban Depok sudah ada sejak lama.
Lalu penulusuran beralih ke Jalan Pemuda. Di sinilah dulu dikenal sebagai pusat keramaian Depok. Di jalan ini banyak bangunan tua yang masih bisa disaksikan meski sebagian sudah berubah menjadi rumah pribadi dan perkantoran. Salah satu gedung tua yang kondisinya masih terlihat bagus adalah Rumah Sakit Harapan Depok. Tempat ini dulu merupakan kediaman Chastelein. Karena dirawat oleh Yayasan Lembaga Cornelies Chastelein (YLCC), arsitektur bangunan rumahsakit tertua di Depok ini tetap dipertahankan. Saat masuk ke dalam gedung ini, kesan gedung kuno yang masih terawat, bisa terlihat dari tembok, tiang penyangga, dan atapnya yang masih kokoh. Di depan Rumah Sakit Harapan Depok, masih tersisa satu rumah kuno dalam kondisi terawatt. Yang mencolok, tentu saja arsitekturnya yang berbeda dengan deretan rumah di sampingnya karena menonjolkan kesan Eropa.
Berjalan terus ke arah timur, kita akan mendapati bangunan sekolah SD Pancoran Mas II, yang merupakan bangunan lawas peninggalan Belanda. Tak jah dari situ, ada Gereja Jemaat Masehi yang didirikan pada tahun 1714, yang sekarang berganti nama menjadi GPIB Immanuel Depok. Bersebelahan dengan gereja, ada bangunan sekolah lagi, yakni SMP Kasih. Bangunan SMP Kasih kualitasnya juga masih sangat terjaga dan terawat. Sebagian gedung sekolah itu juga dijadikan pusat aktivitas pengurus YLCC, yang tugasnya mengurusi asset 12 marga keturunan budak yang dibebaskan Chastelein. Gedung YLCC sangat khas berarsitektur Belanda. Tiang di depan bangunan dan atap yang tinggi sangat menonjolkan kesan kegagahan gedung yang sudah berusia lebih dari 200 tahun itu. Namun di situ kita tidak bisa menemukan foto Chastelein. Jejak peninggalannya hanya bisa dilihat di dinding dekat pintu masuk. Di situ terukir surat wasiatnya kepada 12 marga untuk mengelola lahan garapan yang ditinggalkannya. Pesan itu ditulis dalam bahasa Belanda dengan terjemahan bahasa Jawa ejaan lama.
CERITA
TENTANG CORNELIS CHASTELEIN DAN REPUBLIK DEPOK
Siapa sangka, kalau Kotamadya Depok pernah mempunyai presiden. Bahkan, presiden warga Depok sudah ada sebelum negara Republik Indonesia berdiri. Meski begitu, daerah hasil pemekaran Kabupaten Bogor ini memiliki presiden bukan dalam kapasitas sebagai kepala negara. Presiden yang dimaksud adalah pendiri Depok Lama, yang merupakan cikal bakal berdirinya kota berikon belimbing dewa ini. G Jonathans adalah Presiden Republik Depok yang terakhir. Sebab, pada 4 Agustus 1952 pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh tanah partikelir Depok. Kecuali gereja, sekolah, balai pertemuan, dan lahan pemakaman, semuanya dikuasai pemerintah dengan kompensasi ganti rugi yang saat itu dihargai sebesar Rp 229.261,26.
Pada Abad ke 18 Depok merupakan daerah administratif yang memiliki gemeente bestuur alias pemerintahan sipil. Penguasa pertama Depok bernama Cornelis Chastelein. Pria kelahiran Amsterdam, Belanda (10 Agustus 1657-28 Juni 1714), ini dapat dikatakan sebagai pendiri Depok pada 18 Mei 1693, setelah menguasai seluruhnya tanah di daerah itu. Pada tahun itu, pria berdarah Perancis ini membabat hutan dengan tujuan membuka lahan garapan. Cakupan teritorialnya sangat luas. Selain menjadi tuan tanah di area administratif Depok sekarang, tapi daerah Pasar Minggu (Jakarta Selatan) hingga Gambir (Jakarta Pusat), termasuk wilayah kekuasaannya juga. Hal itu sama sekali tidak mengherankan, karena Chastelein dikenal sebagai pedagang ulung yang sukses dalam merintis usahanya.
Meski demikian, pencapaian itu tidak bisa dipisahkan berkat bantuan para budaknya yang berasal dari berbagai suku daerah. Tidak ada angka pasti berapa jumlah budak yag dimilikinya saat itu. Tapi tercatat para budaknya itu berasal dari Jawa, Sunda, Bali, Bima, Bugis, hingga Ambon. Saat itupraktik perbudakan memang masih marak dan berlangsung di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Chastelein dikenal sebagai pribadi yang baik dan penuh kasih. Atas pertimbangan kemanusiaan dan ketentuan penghapusan perbudakan di Amerika Serikat dan Eropa, ia pun memerdekakan budak-budaknya. Namun, Chastelein memberi perhatian lebih bagi mereka yang mau mengikuti agama yang dianutnya, yakni Kristen Protestan.
Para pekerja mantan budak itu dibagi dalam 12 marga, yaitu Bakas, Isac, Jonathans, Joseph, Laurenz, Leander, Loen, Samuel, Sudira, Tholence, Yakob, dan Zadoch. Nama yang disebut terakhir berjenis kelamin perempuan. Karena menganut sistem budaya paternalistis, garis keturunannya berhenti pada diri Zadoch. Mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk pertama yang mendiami Depok. Berkat keharmonisan dengan mantan budaknya itu, Chastelein pun menjadikan daerah penyangga Batavia ini menjadi kawasan yang berkembang seperti sekarang.
JEMBATAN PANUS
Jembatan Panus terletak di Jalan Tole Iskandar. Jembatan yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda ini boleh disebut saksi bisu perkembangan sejarah Depok. Jembatan yang telah mengalami beberapa kali pemugaran itu dibangun pada 1917. Jembatan ini dirancang seorang insinyur Belanda, Andre Laurens. Nama Panus dikaitkan dengan seorang warga bernama Stefanus Leander yang tinggal di samping jembatan.
Jembatan yang membelah sungai Ciliwung ini dulunya merupakan jalur penghubung tunggal warga yang mau melanjutkan perjalanan ke Bogor. Seiring berjalannya waktu, lebar jembatan yang hanya sekitar empat meter tak lagi mampu menanggung beban kendaraan berat. Sebuah jembatan baru pun dibangun di samping jembatan lama sebagai jalur kendaraan bermotor. Jembatan Panus lama hanya digunakan warga yang tinggal di daerah perbukitan di sekitar situ.
Yang unik dari jembatan ini, pada tiang-tiangnya sengaja diberi tanda pengukur ketinggian air sungai. Aliran air itu berasal dari hulu sungai di Puncak dan Bogor menuju Jakarta. Makin tinggi permukaan air yang terukur di tiang-tiang itu, maka semakin besar kemungkinan Jakarta dilanda bajir kiriman. Jadi, dari Jembatan Panus ini dapat diukur seberapa besar potensi ancaman banjir di Ibu Kota.
TIANG TELEPON TERTUA
Bila kita melintas di Jalan Kartini, Depok, kita bisa mendapati sebuah tiang setinggi sekitar 10 meter yang ternyata termasuk warisan penjajahan kolonial Belanda. Tiang yang menjulang di pinggir jala raya itu dulunya digunakan sebagai tiang telepon satu-satunya. Namun sayangnya, sebagai salah satu situs sejarah, tiang telepon yangdibangun pada tahun 1900 kondisinya tampak merana tak terawat. Keberadaannya pun sangat terancam bila terjadi proyek pelebaran jalan.
PONDOK CINA
‘The Old House Coffee’ merupakan sebuah rumah berwarna putih di pinggir Jalan Margonda, Depok. Tepatnya di halaman depan Margo City. Penampilan rumah tua ini begitu mencolok di lingkungan bangunan modern di kiri kanannya. Orang-orang menunjuk rumah itu dan menyebutnya Pondok Cina. Nama tersebut sudah disebut sejak Cornelis de Chastelein membeli tanah di Depok. Dalam peta abad ke 17 juga sudah tertera nama Pondok Cina.
Pada 1690 rumah itu memang dimiliki oleh seorang warga asal Cina. Ketika terjadi gempa bumi pada 1834, rumah itu rusak dan dibangun lagi pada 1898. Rumah ini disebut-sebut sebagai milik keluarga Tan sejak 1866. Konon, dahulu rumah tua ini dikelilingi sawah dan perkebunan karet. Penghuni kawasan itu pun hanya beberapa keluarga Tionghoa. Mereka ada yang berdagang, bertani, dan bekerja di perkebunan karet milik orang-orang Belanda. Namun kini tak banyak sisa sejarah di gedung Pondok Cina. Bagian dalamnya yang lapang sudah berganti bahan bangunan dan perabot baru yang modern.
Komentar
Posting Komentar