Beberapa kali megalami pengangkatan tumor dan kanker, tak membuat ibu dua anak ini kehilangan semangat. Bahkan saat ini ia kerap, mendampingi dan mengajar para survivor kanker berolah seni teater dan tari.
Sebagai
pekerja seni yang bergelut di dunia tari dan teater, Laksmi cukup syok ketika
di tahun 1978 mesti menjalani operasi pada payudaranya. Saat itu ada tiga
benjolan di payudara kanan dan kirinya. Walaupun hanya tumor jinak, tapi akan
membesar kalau didiamkan. Maka benjolan itu pun harus diambil. Namun pada saat
itu Laksmi masih bisa tenang, karena ia hanya perlu menjalani operasi kecil. Hingga
akhirnya sekian tahun kemudian, tepatnya di bulan November 1990. Ada benjolan
lagi muncul di tiroidnya yang juga mesti diambil. Benjolan itu juga termasuk
tumor jinak.
Kendati begitu, Laksmi yang pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta, Jursuan Tari ini tetap melakoni kegiatan seninya, termasuk melanglang buana ke 18 negara. Ternyata cobaan untuknya masih belum selesai. Di bulan November 2007, ia kembali merasakan ada yang tak beres di tubuhnya. Ia sering mengeluh masuk angina, hingga tubuhnya harus dikerok. Suatu kali, ia sempat membersihkan sendiri rumahnya yang luas di kawasan Cempaka Putih Tengah, Jakarta Pusat. Namun kala itu, baru membersihkan rumah sebentar saja, ia sudah merasa capek. Padahal biasanya, ia sanggup membersihkan rumahnya sendirian. Ia pun langsung istirahat tidur. Dan ketika bangun, di matanya muncul titik-titik kecil seperti kecebong.
Segera saja Laksmi ke dokter mata. Hasil pemeriksaan dokter pertama yang dikunjunginya, mengatakan matanya tidak ada masalah. Namun Lakmsi belum puas terhadap jawaban dokter itu. Dengan menyetir mobil sendirian, ibu dua anak ini pun segere memeriksakan diri ke dokter lain. Dan hasilnya, kali ini membuatnya syok lagi ketika dokter itu memvonis ia terkena kanker. Bahkan kanker yang terletak di payudara sebelah kirinya itu, termasuk kanker ganas stadium 2B. Maka tak ada jalan lain, selain payudaranya harus ‘dipangkas’ habis. Bila tidak, ia akan menanggung resiko kematian.
Dengan perasaan yang masih syok, Laksmi lalu berdiskusi dengan kedua anaknya. Bahkan ia juga sempat mendatangi tiga dokter lagi, untuk memastikan penyakitnya itu. Dan ketiga dokter itu pun mengatakan hal yang sama, bahwa ia memang positive terkena kanker dan harus dioperasi. Hal yang membuatnya tak bisa berhenti menangis saat itu adalah, ketika menyadari bahwa dirinya adalah seorang penari yang biasa pentas di panggung, dan sering sekali menarikan tarian jawa lengkap dengan pakaian kemben. Tentu saja ia membayangkan, bila payudaranya dipotong habis, maka penampilannya nanti saat menari akan tidak menarik lagi.
Namun selanjutnya ia disadarkan, bahwa bila ia terus menerus menangisi penyakitnya maka akan membuat penyakitnya bertambah parah. Ia pun juga banyak dinasihati oleh anak-anaknya yang sudah besar, agar tidak boleh cengeng. Maka wanita kelahiran Yogyakarta yang pernah bergabung dengan Padnecsawara Retno Maruti itu pun segera bangkit dari keterpurukannya.
Ia segera mencari jalan kesembuhan untuk penyakitnya. Plihan untuk operasi ia terima dengan ikhlas dan pasrah. Bahkan, sebelum memulai operasi ia juga meminta dokter untuk mengecek seluruh bagian tubuhnya. Dan ternyata, selain kanker payudara, ia juga terkena kanker getah bening. Maka dari itu, ketika menjalani operasi, ia menerima sayatan yang cukup panjang sampai ke pangkal lengan sebelah kiri. Akibatnya, sampai saat ini, tangan kirinya masih sering bengkak.
Dalam kondisi seperti itu, Laksmi mengaku tetap bahagia lantaran anak, suami, dan keponakannya rela menungguinya saat ia menjalani operasi. Total ada 30 orang yang menemaninya selama operasi. Hal ini tentu saja buah dari sikap Laksmi yang selalu menebarkan kasih saying kepada anak-anak dan kerabatnya. Ia yakin, cinta kasih dari orang-prang terdekat akan memmbuat setiap manusia menjadi lebih kuat.
Selama lima hari Laksmi dirawat di rumah sakit. Namun setelah keluar dari rumah sakit, ia tetap harus mengalami pengobatan lanjutan. Ia harus melakukan kemoterapi yang berlangsung lebih dari setahun. Waktu yang dibutuhkan sekali kemoterapi bisa sampai 8 jam. Efek kemoterapi ini pun sungguh berat. Membuatnya sering merasakan mual, lalu muntah, dan sariawan. Ia juga sempat mengalami terus menerus buang air kecil, sehari bisa sampai 30 kali.
Tubuh Laksmi pun menjadi lemah, yang membuatnya hanya bisa terkapar di ranjang. Namun, kehadiran kedua anaknya yang selalu menemaninya tidur dengan penuh cinta, membuatnya jadi semakin kuat. Kemoterapi juga mengakibatkan rambut Laksmi yang semula panjang dan lebat mengalami kerontokan. Bahkan kerontokannya begitu luar biasa, sampai membuatnya harus memotong gundul kepalanya.
Proses penyembuhan terus berjalan, hingga di tahun 2010 Laksmi harus menjalani operasi kembali untuk mengangkat benjolan pada tiroidnya. Benjolan yang menempel di dinding lehernya sejak tahun 1990 ini memang belum sempat dioperasi. Karena saat itu, untuk menyembuhkan tiroidnya, ia hanya diwajibkan meminum obat seumur hidup, dan sama sekali tidak boleh lupa. Namun akibat kesibukannya, ia pernah beberapa kali lupa minum obat. Akibatnya, ia sering masuk angin, kejang-kejang, bahkan sampai pernah tak bisa melakukan apa-apa. Saat ia memeriksakan diri kembali ke dokter, ternyata tumor di tiroidnya itu sudah wajib diangkat. Untungnya tumor itu masih tetap jinak, dan belum berubah menjadi kanker yang berkarakter ganas, dan operasi pun berhasil dilakukan. Sejak saat itu Laksmi berjanji tidak akan lagi menganggap enteng penyakit pada tiroid, yang memang fungsinya untuk mengatur metabolisme dalam tubuh.
Meski harus menjalani serangkaian pengobatan, Laksmi tetap semangat dan terus menggeluti olah seni. Ia juga masih kerap ikut pementasan besar di ajang kesenian bergengsi di Jakarta, termasuk di pentas di Taman Ismail Marzuki. Seni memang membuatnya tetap semangat. Apalagi dengan latihan tari dan teater, ia juga bisa sekalian melatih olah tubuhnya hingga kondisi tubuhnya tetap bugar. Teman-teman di lingkungan seninya pun juga sudah mengerti akan keadaannya.
Untuk semakin menjaga kebugarannya, Laksmi pun mulai benar-benar menjaga kesehatannya. Mantan perokok berat ini segera meninggalkan kebiasaannya. Selain itu ia juga sesedikit mungkin mengkonsumsi gula, dan lebih banyak mengkonsumsi makanan sehat.
Laksmi ingat semasa mudanya sebelum terkena kanker, ia pernah diajak sahabatnya, mendiang Harry Rusli untuk mengikuti sebuah workshop di Bandung bersama pembicara ahli dari Jerman, yang mengangkat tema tentang pendampingan pada penderita kanker dan AIDS. Setelah ia mengalami sendiri penyakit kanker, ia sadar ternyata pendampingan terhadap penderita kanker dan AIDS memang sangat berguna, salah satunya bisa menjadi sarana penyembuhan fisik dan psikis. Dari situlah, Laksmi pun bertekad untuk berbuat konkret bagi penderita kanker dengan menjadi survivor.
Sebagai survivor, ia pun sudah beberapa kali mendampingi sahabatnya yang terpapar kanker. Meski ikut sedih, ia berusaha menguatkan hati temannya itu yang sudah tidak ada harapan. Ada temannya yang menderita kanker yang sudah menjalar. Dari kanker paru, juga mengidap kanker tulang. Laksmi pun sebisa mungkin memberikan penghiburan, walau sebagai manusia biasa terkadang ia juga sedang ‘jatuh’.
Yang membahagiakan dari kegiatan Laksmi saat ini adalah, ia sudah beberapa tahun ini melatih drama dan tari di Cancer Information & Support Centre (CISC). Awalnya, Laksmi yang memang juga dikenal sebagai sutradara pertunjukan dan koreografer ini dihubungi salah seorang pengurus CISC untuk menggarap operet guna keperluan acara tahunan CISC. Pemainnya adalah anggota CISC yang terkena kanker juga para survivor. Kendati tanpa honor, Laksmi pun langsung menyanggupi.
Dari pengalaman sebelumnya, Laksmi paham, bahwa sehabis melakukan kemoterapi dan radiasi, tubuh penderita kanker akan seperti lumpuh. Jari tangan, kaki, sudah dalam keadaan tidak normal. Maka dengan berlatih seni, bisa membantu tubuh menjadi lebih baik. Memang terkadang ada kesulitan juga saat harus melatih seni para penderita kanker. Banyak yang masih kalah dengan penyakitnya dan tidak semangat mengikuti latihan. Maka menjadi tugas tambahan Laksmi juga untuk mengembalikan pikiran para penderita kanker yang sudah dilumpuhkan oleh obat. Kesulitan lainnya, banyak pula teman-teman penderita kanker yang masih awam dengan kesenian.
Namun seiring waktu, perkembangan kesenian yang dibinanya semakin maju. Pertumbuhannya sangat bagus. Saat ini yang aktif berlatih seni padanya sudah lebih dari 30 orang, terdiri dari pria dan wanita. Ia menyutradai dan mengajari pentas beragam kisah. Setelah sukses menggelar pentas operet di acara internal CISC, selanjutnya kelompok seninya sering manggung di berbagai acara lain. Antara lain di rumah sakit dan yang menarik pernah juga pentas di berbagai mal di Jakarta. Pentas operet itu selalu membawakan tema soal kesehatan, salah satunya kanker. Dalam pementasan itu, mereka juga sekaligus memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Usai pertunjukan, berlangsung pula acara tanya jawab dengan para pemain operet yang kadang-kadang juga didampingi dokter.
Laksmi menyebut kelompok keseniannya ini dengan nama Teater Informasi. Kendarti mengusung sebuah informasi yang ingin disampaikan kepada penonton, ia tetap mengemasnya dengan cara yang menarik. Sebagai tontonan, tentu ia ingin pertunjukan itu sifatnya tetap menghibur.
Salah satu bukti keseriusannya, Laksmi pun telah membuat puisi tentang bahaya tembakau sepanjang enam halaman yang bisa dibawakan secara monolog. Untuk monolog ini, ia sering mendapat undagan pentas dari berbagai lembaga. Teman-temannya penderita kanker yang tergabung dalam Teater Informasi pun sangat senang kala bisa bertemu tokoh-tokoh popular yang semula hanya dikenal namanya saja. Hal seperti ini akhirnya mampu meningkatkan kepercayaan diri mereka.
Saat ini, Laksmi masih berkeinginan membawa kelompok seninya bisa manggung di gedung pertunjukan bergengsi seperti TIM dan Gedung Kesenian Jakarta. Karena Laksmi yakin, bahwa seni yang digelutinya saat ini juga bisa memberi informasi yang menghibur masyarakat, sekaligus bisa menguatkan para survivor kanker.
Komentar
Posting Komentar