SANTHI SERAD, Pemilik Kebun Herbal Bandung dan Pendiri Gerakan Aku Cinta Masakan Indonesia




Profesi utamanya sebagai Food Science and Technology. Namun di luar itu, wanita ini juga punya segudang kegiatan lain. Salah satunya melestarikan kuliner nusantara dan mengembangkan kebun herbal di Bandung. Tujuan membuat kebun herbal itu sendiri sebenarnya adalah bagian dari cita-citanya yang ingin turut melestarikan keaneka ragaman tanaman di negeri Indonesia. Di Indonesia banyak sekali tanaman obat yang tumbuh. Sayang sekali jika tidak ada yang melestarikannya.

Santhi membuat kebun herbal yang terletak di daerah Dago, Bandung itu bersama rekannya Ilham Habibie. Kini kebun itu telah memiliki koleksi lebih dari 300 tanaman herbal dari Indonesia. Selain mengoleksi tanaman obat, Kebun Herbal miliknya juga telah menghasilkan produk-produk herbal, hingga resep-resep herbal yang hasilnya sebagian ada di menu kafe yang ada di sana juga. Di halaman Kebun Herbal, Santhi memang turut membuat kafe dengan menu-menu berbahan herbal.



Kebun Herbal juga bukan hanya sebagai tempat pengembangan tanaman herbal yang hasilnya dibuat untuk obat atau makanan, tapi juga bisa dijadikan sebagai sarana edukasi. Oleh karena itu, Kebun Herbal pun juga kerap didatangi masyarakat yang ingin mengenal dan belajar tentang tanaman herbal. Di kebun itu sudah disediakan tempat khusus untuk belajar, dan bukan hanya mendapatkan teori saja, tapi juga bisa langsung praktik di kebun. Selain itu, Kebun Herbal juga kerap menjadi tempat belajar mahasiswa yang ingin melakukan penelitian, dan terbuka juga bagi siswa yang ingin magang.



Tidak hanya mengembangkan obat herbal, Kebun Herbal juga berfungsi sebagai laboratorium untuk mengembangkan menu-menu herbal. Secara rutin, Santhi mengajak William Wongso, pakar kuliner terkenal Indonesia, untuk membuat menu-menu dari tumbuhan herbal yang ada di kebunnya. Salah satunya, nasi goreng dan sup pegagan. Daun pegagan sangat bagus untuk mengembangkan kecerdasan anak. Dengan dibuat sup dan nasi goreng tentu bisa membuat anak jadi lebih gampang mengkonsumsinya.



Santhi bersama William Wongso, dan pakar kuliner lain Bondan Winarno, juga telah mendirikan gerakan Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI). Visi dari gerakan ini adalah untuk melestarikan, mengembangkan, mendokumentasikan, dan menyebar luaskan kekayaan budaya kuliner tradisional Indonesia. Bagi mereka sudah saatnya bangsa Indonesia bangga dengan masakan sendiri dan bisa mengenalkannya ke dunia internasional. Hingga pada saatnya nanti, makin banyak masakan Indonesia yang juga menjadi menu-menu di penerbangan luar negeri maupun restoran mancanegara.



Selain itu ACMI yang didirikan pada bulan September tahun 2012 ini juga memiliki tujuan untuk menjaga tergerusnya resep-resep asli Indonesia dari serbuan makanan instan asal luar negeri. Di organisasi ini Santhi didapuk sebagai ketuanya.

ACMI punya serangkaian kegiatan rutin. Salah satunya menggelar potluck, yakni masing-masing anggota berkumpul dengan membawa makanan untuk disantap bersama-sama. Melalui kegiatan ini mereka bisa saling berbagi resep masakan yang dibawa. Antar anggota pun bisa saling bertanya. Biasanya tema makanan sudah ditentukan, misalnya makanan tradisional yang dibungkus daun.



Selain itu ada juga kegiatan lain yang juga seru, yakni mengajak anggotanya blusukan ke pasar-pasar tradisional. Dari situlah mereka bisa mengenal bahan-bahan makanan secara dekat. Dalam kegiatan itu, selalu saja ada kejutan disetiap pasar yang dikunjungi. Saat ini, ACMI memiliki anggota aktif lebih dari 50 orang, yang kebanyakan masih bertempat tinggal di Jabodetabek, dan berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pengusaha hingga ibu rumah tangga. Untuk berkomunikasi, mereka mempunyai website www.acmi-indonesia.org dan akun Twitter @acmiID.

Menurut Santhi, seharusnya masyarakat bisa melihat kuliner, bukan sekedar menikmati makanannya saja, tapi juga harus mengetahui sejarah dan sumbernya. Maka itu, ia menghimbau agar media maupun pelaku kuliner di Indonesia, jangan hanya menyuguhkan resep dan masakan saja, tapi juga bisa menjelaskan sumber dari bahan-bahan yang digunakan. Seperti sebuah restoran atau warung makan tradisional, seharusnya juga memungkinkan pembelinya bisa melihat ke dapur tempat mereka memasak. Apalagi jika mereka masih memasak secara tradisional. Hal-hal seperti itulah yang membuat kita tidak hanya sekedar menikmati masakannya saja, tapi bisa juga mendapatkan nilai plus dari masakan itu.

Santhi mengambil contoh pada kegiatan pembuatan tempe. Di sini terdapat sebuah proses dari kedelai hingga akhirnya menjadi tempe. Jadi masyaralat jangan hanya diberi tempe atau resepnya saja, tapi juga diberi edukasi tentang prosesnya. Dan media lah yang sangat berperan dalam hal pemberian edukasi ini.

Bersama William Wongso, Santhi juga sedang mengembangkan program guide kuliner, yang bertujuan untuk mengangkat potensi kuliner di suatu daerah. Seperti kita ketahui, daya tarik wisata sekarang ini bukan hanya sekedar obyek wisata saja, tapi juga kulinernya. Sayangnya, kebanyakan orang hanya menikmati kelezatan kulinernya belaka, tanpa tahu ada apa di balik makanan itu.




Oleh karena itulah, Santhi kini sedang membangun jaringan guide kuliner di berbagai daerah, yang nantinya mereka akan mendampingi para tamu yang ingin menikmati kuliner khas sambil menerangkan sejarahnya. Bahkan sebelum tamu menikmati kulinernya, mereka juga bisa mengajak para tamunya untuk masuk ke dapur hingga mengetahui proses pembuatannya. Dengan demikian, kunjungan mereka ke suatu daerah tidak hanya sekedar menikmati menu khas daerahnya saja, tapi juga bisa membawa pulang ‘oleh-oleh’ pengetahuan seputar kuliner.

Untuk mejadi guide kuliner, syaratnya tentu saja harus memahami dan mempunyai akses ke pelaku kuliner di daerahnya. Diharapkan dengan konsep guide kuliner ini, bisa membuat usaha kuliner daerah makin bergairah.

Saat ini, Santhi pun juga sedang melakukan penelitian tentang bumbu-bumbu masakan dan peralatan dapur yang dipakai sejak zaman nenek moyang. Ia meyakini, nenek moyang kita dulunya pasti sudah memasak dengan banyak bumbu dan alat-alat daur yang dipakai. Bagaimana mereka memasak dan apa saja yang dimasak, semua kegiatan di dapur itu tentu menarik untuk diketahui.

Santhi memiliki latar belakang pendidikan lulusan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Ia lalu melanjutkan program S2 di bidang ilmu dan teknologi makanan di Curtin University, Perth, Australia. Ia juga mendalami food science and technology, lalu bekerja di bidang penelitian dan pengembangan pangan. Salah satu hasil kreasi Santhi adalah permen kenyal warna-warni yang saat ini banyak dijual di pasaran. Selain itu Santhi juga dikenal sebagai auditor food safety untuk industri hotel dan catering.

Ia juga telah menulis buku berjudul, ‘Teh dan Teh Herbal : Sebuah Warisan Budaya’. Buku yang mengupas segala hal tentang teh itu awalnya ingin ia persembankan sebagai kado ulang tahun pernikahan kedua orang tuanya, Suwarno Serad dan Hertuti. Keluarganya memang mempunyai kebiasaan minum teh di pagi dan sore hari. Buku ini hadir dengan isi dan kemasan yang menarik, karena semua foto dalam buku itu adalah hasil karyanya sendiri.



Santhi memang sempat mempelajari fotografi saat masih kuliah di Universitas Diponegoro. Meski awalnya hanya sekedar hobi, ternyata kegiatan itu masih terus juga dilakoninya sampai sekarang. Saat blusukan ke pasar tradisional pun ia tak lupa menenteng kamera.

Bukan hanya memiliki keahlian fotografi saja. Santhi juga punya keahlian lain, yakni membaca tulisan tangan atau graphology. Bahkan untuk keahliannya ini, ia harus belajar khusus dan mendapatkan sertifikat. Tah heran, wanita yang selalu tampil energik ini kerap juga diminta ‘meramal’ teman atau kerabatnya.

Santhi juga aktif di Ikatan Insinyur Indonesia dan Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia. Selain itu wanita cantik ini juga termasuk dalam Kelompok Kerja Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam Pengembangan Wisata Kuliner Indonesia 2012-2014, yang bertugas memberi masukan mengenai sejumlah ide untuk pengembangan kuliner Indonesia. Dan yang selalu rutin dilakukannya adalah, berkicau di Twitter tentang kuliner Nusantara.


Komentar