AGUSTINUS WIBOWO, Penulis Buku Petualangan



Pria asal Lumajang, Jawa Timur ini bukan penulis buku perjalanan biasa. Ia tidak menulis tempat-tempat wisata eksotis dunia, tapi lebih menyusuri kehidupan masyarakat di negara yang disinggahinya. Hasilnya, adalah buku-buku laris yang mampu menyentuh pembacanya.

Tiga buku yang sudah ditulis Agustinus, dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama adalah, Selimut Debu (2010) yang menceritakan perjalanannya di Afghanistan, Garis Batas (2011) tentang kunjungannya ke negara-negara Asia Tengah, dan Titik Nol (2013).
Bila mengulas balik kehidupannya, sebetulnya awalnya Agustinus termasuk anak rumahan yang takut keluar rumah. Semasa kecil, saat tinggal di Lumajang, Jawa Timur, ia memang lebih senang diam di rumah, bahkan sampai orang tuanya sering memaksanya untuk sekedar main ke luar rumah. Kalau pun terpaksa harus keluar rumah, untuk menempuh jarak dekat pun ia memilih naik becak.


Sejak kecil Agustinus juga mengaku sangat hobi baca buku, antara lain buku tentang biografi dan pengetahuan. Bahkan ketika kelas 1 SD saat umur 6 tahun, ia sudah bisa menghafal ibu kota seluruh negara di dunia. Dari situlah sebetulnya ia mulai tertarik dengan dunia luar, tapi sayangnya belum ditunjang dengan keberanian.


Titik balik sampai akhirnya ia bisa senang melakukan perjalanan terjadi saat memasuki masa kuliah. Saat itu, tahun 2001, ia terpaksa harus tinggal jauh dari orang tua karena berkuliah di Tsinghua University, Beijing, Cina, mengambil bidang komputer. Sebelumnya, ia telah belajar bahasa Mandarin terlebih dulu selama setahun. Kala itu, keadaan di Cina juga masih relatif terbelakang, bahkan masih ‘dibawah’ Indonesia.


Tinggal jauh dari orang tua membuat Agustinus harus mandiri. Di sana, di sela-sela waktu kuliah, bersama teman-teman kuliahnya ia mulai sering melakukan perjalanan ke beberapa tempat. Memang lebih mudah melakukan perjalanan di negara daratan seperti Cina, dibandingkan Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Untuk melakukan perjalanan, di sana cukup dengan menggunakan kereta api.


Ketika memasuki masa liburan panjang, bersama teman-teman kuliahnya Agustinus sempat melakukan perjalanan ke Gunung Huangshan, yang merupakan gunung paling megah di Cina. Setelah itu, mereka memutuskan untuk pulang secara berpencar. Agustinus pun akhirnya pulang sendiri ke Beijing.  Dan sejak itulah, ketertarikannya pada dunia travelling semakin tumbuh, karena sepanjang perjalanan banyak pemandangan menarik yang bisa ditemui.


Boleh dibilang, ia menjadi ketagihan travelling. Setiap ada kesempatan ia selalu meluangkan waktu untuk travelling, dan banyak sekali pengalaman menarik yang dialaminya. Misalnya, ia pernah naik kereta api dengan lama perjalanan hingga 71 jam. Kala itu ia melakukan perjalanan dari Beijing sampai ke perbatasan Cina-Pakistan. Menjadi perjalanan yang sangat seru, karena saat itu sedang musim liburan hingga kereta api sangat penuh. Banyak penumpang yang terpaksa harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Namun di situ, ia bisa bergantian tempat duduk dengan penumpang lain. Saat ia duduk, penumpang lain berdiri. Selama perjalanan ia pun banyak mengobrol dengan penumpang lain. Dari situlah, wawasannya semakin terbuka bahwa ternyata travelling tidak seseram yang dibayangkan sebelumnya.


Dalam setiap perjalanan yang dilakukan, ia selalu merasakan ada unsur petualangan, karena banyak hal tak terduga yang ia temui. Suatu kali di taun 2002, ia sempat pergi ke Mongolia bersama seorang temannya yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Hari pertama di Mongolia mereka sudah mengalami kejadian yang tidak nyaman. Ceritanya, ada teman dari Malaysia yang mereka kenal di perbatasan, memotret orang Mongol saat kereta api sedang berhenti. Rupangnya orang Mongol itu tidak suka, dan marah. Bahkan saking marahnya orang itu sampai naik ke kereta dan membanting semua barang-barang mereka. Belakangan ia paham, negara eks Uni Sovyet atau bekas komunis ternyata memang sangat sensitif terhadap kamera, lantaran dulu ketika ada orang difoto, kemudian keesokan harinya orang itu bisa hilang.


Pengalaman menegangkan lainnya, sesampai di Lhasa, ibu kota Mongolia, ia dan temannya mengalami perampokan di sebuah taman yang sepi. Saat itu tubuhnya yang mungil dibekap dari belakang oleh orang Mongolia yang perawakannya tinggi besar. Ia pun hanya bisa pasrah sambil memejamkan mata, saat uangnya diambil. Ketika kembali membuka mata, perampoknya sudah kabur dan ia sudah dikelilingi polisi. Ternyata, saat ia dirampok, temannya segera berinisiatif mencari pertolongan.


Peristiwa itu nyaris saja membuat temannya menyerah. Baginya kejadian itu sudah terlalu seram. Tapi Agustinus berusaha meyakinkan, bahwa peristiwa seram sudah berlalu, dan tidak mungkin selama di Mongolia mereka terus kerampokan. Sayang sekali jika perjalanan tidak diteruskan.


Di tahun 2002, Mongolia memang masih negara yang seram, bahkan Agustinus mengibaratkannya seperti memasuki dunia lain. Ketika meninggalkan Lhasa, listrik sudah tidak ada. Di luar ibu kota nyaris tidak ditemui jalan beraspal. Namun tetap banyak juga pengalaman menyenangkan yang mereka temui. Dengan uang yang tersisa, mereka menikmati perjalanan di tengah padang rumput yang luas. Luas Mongolia yang hampir sama dengan Indonesia, tapi jumlah penduduknya hanya 2 juta orang, membuat mereka baru bisa bertemu dengan orang lain, setelah dua hari berkendara mobil. Di sana mereka pun juga sempat merasakan naik kereta api kelas kambing selama sekitar 30 jam, lalu berkemah di daerah pinggiran.




Perjalanan yang dilakukan Agustinus memang tidak seperti turis pada umumnya. Ia memang tidak cocok dengan perjalanan yang terlalu mulus dan mudah, seperti datang ke negara-negara tertentu hanya sekedar melihat destinasi wisatanya. Ia lebih suka perjalanan yang ada unsur petualangan, dan melihat kehidupan masyarakat di suatu negara yang asli dengan cara tinggal bersama.


Tahun 2003, Agustinus mencoba mencari petualangan baru dengan mengunjungi Afghanistan yang saat itu baru usai perang. Semula ia berpikir Afghanistan negara yang miskin. Kenyataannya negeri itu sangat indah dan banyak tempat bersejarah yang bisa dikunjungi. Saat datang ke sana, Agustinus sama sekaIi tidak mengenali bahasanya, juga tidak membawa peta, dan sangat minim informasi lainnya tentang negara tersebut. Namun, kendala bahasa dan semua keterbatasan itu baginya justru menjadi sebuah petualangan baru.


Selama 3 minggu berada di sana, banyak hal yang ia temui dan semakin memperkaya pengalamannya. Di sana ia selalu naik truk saat hendak pergi ke manapun karena kendaraan umum sangat terbatas. Ia pun sering tidur di warung-warung dan menetap di rumah penduduk. Hal seperti itu justru membuat Agustinus semakin jatuh cinta dengan Afghanistan. Di tahun 2006, ia pun datang lagi ke sana. Kali ini perjalanannya bukan lagi sebagai petualang. Tapi ia ingin memberikan sesuatu yang lebih berarti bagi masyarakat yang ia singgahi.


Pada kedatangannya yang kedua di Afghanistan ia bergabung dengan LSM setempat. Banyak kegiatan kemanusiaan yang ia lakukan. Misalnya, memberi informasi ke masyarakat tentang kesetaraan gender, bagaimana memberi pekerjaan kepada kaum perempuan, dan mengenalkan teknologi kepada masyarakat. Sebelumnya kaum perempuan di sana memang sama sekali tidak pernah keluar rumah dan tidak ada akses pendidikan.


Selain itu ia juga bekerja sebagai jurnalis foto di kantor berita Afghanistan dengan gaji lokal. Ia bekerja di medan perang dengan upah 400 dolar AS. Ia banyak memfoto peristiwa pengeboman, membuat berita soal kemiskinan, atau tempat pembuangan sampah. Tugasnya memang berat, bahkan sering sekali ia mendengar suara bom dari jarak dekat.


Tiga tahun di Afghanistan, telah membuka mata Agustinus tentang negeri itu. Ia pun jadi ingin ikut menyuarakan suara warga Afghanistan, misalnya tentang perdamaian. Mereka juga ingin bisa sekolah tanpa rasa takut. Di sana rasa aman memang menjadi sesuatu yang mahal, karena bom bisa terjadi di mana pun dan bisa jatuh kapan pun.


Perjalanan lain yang memberikan kesan mendalam adalah, saat ia mengunjungi Kashmir yang baru saja terkena gempa. Selama 1,5 bulan ia menjadi relawan dan tinggal di perkemahan bersama korban gempa, yang lebih suka disebut survivor. Dari situ ia banyak belajar bagaimana caranya bangkit dari keterpurukan dan soal arti kehidupan.


Dari Kashmir ia melanjutkan perjalanan menuju ke daerah gurun di selatan Pakistan yang selama 4 tahun tidak pernah turun hujan. Kekeringan terjadi luar biasa di sana. Penduduk setempat harus berjalan kaki 2-3 jam di atas pasir, hanya untuk mendapatkan setetes air. Di sana ia pun bergabung dengan sebuah LSM untuk ikut serta dalam program pengadaan air bersih.


Cobaan sempat dialami Agustinus, saat ia sempat terserang hepatitis. Ketika bertamu ke rumah penduduk, tiba-tiba saja ia jatuh tersungkur. Matanya sudah berubah berwarna kuning. Namun oleh penduduk di sana ia dirawat dengan baik. Dengan ramah mereka mejelaskan, bahwa “Rumahku, adalah rumahmu”. Bahkan ia juga sempat dicarikan rumah sakit terbaik di kota.


Tentu saja ia sangat berterima kasih dan mengatakan tidak akan mampu membalas kebaikan warga di sana. Namun, mereka menyampaikan bahwa dalam hidup ini tidak penting berapa yang kita kumpulkan, tapi berapa banyak yang bisa kita bagikan. Juga, bagaimana membuat hidup kita berarti bagi banyak orang. Sungguh sebuah ungkapan dan kebaikan yang membuat ia memetik banyak pelajaran.


Untuk melakukan perjalanan memang membutuhkan biaya. Oleh karena itu, sebelum ingin melakukan perjalanan, Agustinus selalu mencari pekerjaan untuk mengumpulkan uang. Tamat kuliah ia sempat bekerja di Cina sebagai penyiar radio dan menulis artikel di beberapa media.


Agustinus memang suka menulis. Ia memiliki blog yang isinya mengupas tentang kisah perjalanannya. Sampai akhirnya, sebuah media besar nasional tertarik dan ingin memuatnya secara berseri di tahun 2008-2009. Bahkan di media itu ia dibuatkan kolom khusus, bernama 'rubrik petualang'. Oleh karena peminat tulisannya banyak, penerbit Gramedia Pustaka Utama pun tertarik menerbitkannya. Ia sangat bersyukur, buku-buku karyanya akhirnya diminati masyarakat. Semua bukunya sudah beberapa kali mengalami cetak ulang. Bahkan ada rencana bukunya akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris.


Setiap penulis pada dasarnya memiliki gaya bertutur yang berlainan. Agustinus pun memiliki ciri tersendiri dalam karya tulisnya. Ia selalu menulis dengan kedalaman cerita, bergaya jurnalisme sastrawi, atau menulis nonfiksi dengan cara sastra. Ia mendapatkan kedalaman cerita dengan cara berkomunikasi dan menyelami kehidupan masyarakat yang ia temui.


Baginya, mustahil kita bisa mengenali suatu tempat jika kita tidak berkomunikasi dengan warganya, tidak hidup bersama mereka, tidak merasakan sendiri perjuangan dan penderitaan mereka. Oleh karena itu, ia pun tak lupa pula untuk mempelajari bahasa di negeri yang ia kunjungi.


Rencana selanjutnya, tentu saja ia ingin tetap melakukan perjalanan dan menuliskannya. Karena ia sudah menetapkan bahwa hidupnya adalah perjalanan. Selain menulis buku, ia juga masih sibuk sebagai penulis lepas untuk beberapa media, baik di dalam maupun luar negeri. Penghasilan yang didapatkannya dari pekerjaan itu mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Sebagai gambaran, satu artikelnya yang dimuat di media Cina, honornya bisa mencapai Rp 10 juta.  



Komentar