INDONESIAN PEOPLE : RINA PRASARANI, Memilih Menjadi Tunanetra Yang Bahagia dan Mandiri




Kehilangan penglihatan akibat penyakit degeneratif tak membuat Rina Prasarani patah arang. Berkat kiprahnya, kegelapan yang dirasakan Rina sejak remaja justru memancarkan cahaya luar biasa. Ia bangkit dari keterpurukan dan mampu menginspirasi banyak orang. Ketika dilahirkan, Rina merasa penglihatannya normal-normal saja. Hanya saja memang saat ia masih kecil, belum bisa membandingkan penglihatannya dengan milik orang lain. Jadi, apa pun yang ia alami berkaitan dengan indera penglihatan, ia anggap orang lain juga mengalami.

Ketika siang hari, Rina bisa melihat wajah Ibu, Ayah, dan adiknya dengan jelas. Tapi ketika hari semakin gelap, daya lihatnya semakin meredup. Hingga lama-kelamaan, siang hari pun semuanya tampak buram. Bila ia menjatuhkan benda-benda kecil, seperti perangko misalnya, butuh usaha ekstra keras untuk menemukannya, sampai sang Ibu sering gemas melihatnya.

Saat ia masuk Sekolah Dasar, sekolahnya sempat mengadakan pemeriksaan mata gratis. Seluruh siswa diperiksa matanya menggunakan sebuah mesin. Namun saat gilirannya, baru sebentar diperiksa, petugasnya langsung memberikan surat rujukan agar ia diperiksa lebih lanjut ke Rumah Sakit Mata AINI. Yang sama sekali tak diduga, ternyata, adiknya, Jaka juga mendapatkan surat yang sama. Padahal, sebelumnya Ibunya pernah membawa mereka ke dokter mata. Oleh sang dokter, mereka berdua hanya dibuatkan kaca mata minus. Namun setelah ia ingat-ingat lagi, kaca mata minus yang diberikan dokter itu sama sekali tak membantu daya lihatnya. Tetap saja, semakin hari semakin sedikit yang bisa ia lihat dengan jelas. 

Kebetulan, di hari ia dan adiknya harus periksa ke Rumah Sakit AINI itu, sang ibu juga sedang menemani ayah mereka di RS Pertamina. Ayah mereka mengalami stroke yang membuatnya lemah dan tak berdaya. Jadilah, Rina dan Jaka pergi ke RS AINI hanya ditemani seorang kerabat. Di sana, mereka berdua didiagnosa menderita renitis pigmentosa, sebuah penyakit mata genetis dan degeneratif di mana seiring berjalannya waktu kondisi ini akan semakin memburuk. Yang membuat mereka sedih, penyakit ini ternyata tidak ada obatnya. Namun, Rina dan adiknya tak menunjukkan kesedihan mereka pada sang ibu. Mereka sadar keadaan kesehatan ayah mereka sudah cukup menguras tenaga dan pikiran si ibu. Apalagi selama bertahun-tahun terkena serangan stroke itu, telah membuat mental Ayah mereka sangat down. Maka bila ingin menambah beban pikiran ibu, itu adalah hal terakhir yang mereka lakukan.

Tidak ada yang pernah memberi tahu kalau penyakit yang ia derita akan berujung pada kebutaan. Rina menganalisa sendiri melalui rangkaian kejadian yang dialaminya. Setiap enam bulan sekali, ia dibawa ke dokter mata untuk melihat berapa persen sisa kemampuan penglihatannya. Dan setiap kali datang ke dokter, jumlah persentase itu semakin mengecil. Rina pun juga mulai membaca-baca literasi soal renitis pigmentosa. Dari berbagai hasil riset yang ia baca, ia tahu kalau kebutaan adalah ancaman nyata bagi penderita penyakit ini. Di saat bersamaan, ke empat indera Rina yang lain mulai menguat. Ia mulai menajamkan indera pendengaran, penciuman, dan perabaan.

Lulus SMA, Rina masuk ke Sekolah Tinggi Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI). Namun di tengah perkuliahan, ia harus menyerah. Pasalnya, banyak pelajaran di STEKPI yang berurusan dengan statistik dan grafik, yang otomatis tak cukup kuat untuk ditangkap matanya. Lantas, karena tak mau berdiam diri saja di rumah, Rina lalu menyibukkan diri dengan kegiatan organisasi. Salah satu organisasi yang pertama kali ia datangi adalah Yayasan Mitra Netra, yang bertempat di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Melalui Mitra Netra, ia juga diberi kesempatan untuk masuk dunia kerja layaknya orang normal. Tahun 2004, hotel Gran Melia Jakarta mengadakan program community involvement sebagai bagian dari CSR (Corporate Social Responsibility) mereka. Melalui program ini, mereka ingin merekrut penyandang disabilitas tunanetra sebagai karyawan. Ada tiga orang yang diusulkan Yayasan Mitra Netra untuk mengikuti program ini, salah satunya adalah Rina. Setelah melalui serangkaian tes, akhirnya ia pun diterima menjadi petugas customer service.

Tentu tidak mudah bekerja di lingkungan yang menuntut para pekerjanya harus cepat dan tanggap. Di hotel, setiap waktu adalah rush hour. Bila ada tamu yang komplain, Rina harus dengan cepat menangani. Menurutnya, disabilitas yang ia miliki tak bisa jadi alasan untuk berlambat-lambat. Rina pun juga sempat mengalami penolakan saat awal-awal bekerja disana. Kalau tidak benar-benar kuat, mungkin enam bulan pertama ia sudah akan mengajukan surat pengunduran diri. Rina sadar, dunia luar memang keras. Mereka, kaum disabilitas harus bisa berkompetisi dengan mereka yang tak punya kekurangan fisik. Kalau orang lain bisa pindah pekerjaan dengan mudah, lain halnya dengan kaum tunanetra. Salah-salah kalau ingin keluar, mereka malah dibilang tidak bersyukur. Padahal menurut Rina, kalau masalah bersyukur, kaumnya sudah tidak perlu diajari lagi.

Selain bekerja di Gran Melia, Rina juga kemudian aktif di berbagai organisasi lain. Antara lain Himpunan Wanita Tunanetra Indonesia, Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI), dan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Ia pun kerap mewakili Pertuni di sidang-sidang umum World Blind Union (WBU) di seluruh dunia. November 2012, Rina terpilih menjadi Sekjen WBU periode 2012-2016. Tadinya, tak pernah terlintas dalam pikirannya bisa menjadi pengurus WBU, sebuah organisasi tingkat dunia. Namun, dengan dukungan dari banyak orang, termasuk pendiri Pertuni, Ibu Ariani, Rina mau mencalonkan diri. Saat sidang umum WBU di Bangkok, Thailand, akhir tahun 2012 itu lah namanya muncul sebagai Sekjen.

Sebenarnya tugasnya sebagai Sekjen WBU tidak terlalu berat. Karena kini WBU sudah punya kantor cabang untuk wilayah Asia, hingga Rina tak perlu terlalu banyak bepergian. Apalagi kini ada teknologi Skype dan email. Kebanyakan tugasnya hanyalah me-review kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh WBU. Selain itu, pekerjaan di Pertuni juga masih banyak. Advokasi adalah tugas yang tak akan pernah berhenti. Tugas Pertuni adalah senantiasa mengingatkan pemerintah agar memenuhi hak-hak para penyandang disabilitas, seperti fasilitas umum misalnya.

Yang juga harus terus diperjuangkan, menurut Rina adalah sektor pendidikan. Baik itu pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi. Bisa dibayangkan, sudah berpuluh tahun negara Indonesia merdeka namun jumlah anak disabilitas yang mengenyam bangku sekolah hanya 15 persen saja. Ini tentu saja fakta yang sangat menyedihkan. Beberapa tahun lalu pernah ada kasus Ujian Nasional yang tak dibuat dalam huruf braille. Miris sekali saat seorang pejabat pemerintah malah mengatakan, bahwa semua anak harus diperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan. Karena menurut Rina, kaum tunanetra bukannya ingin dibeda-bedakan, tapi hanya ingin diperlakukan adil. Dan adil tidak mesti diperlakukan sama, tapi harus setara.

Paradigma semacam ini yang membuat image penyandang disabilitas semakin jelek. Diharapkan nantinya jangan sampai anak yang lahir dengan disabilitas mengalami kekerasan budaya. Mereka dianggap aib, kutukan, bahkan hukuman dari Tuhan. Karena memang masih banyak keluarga yang tidak memberdayakan angota keluarga yang penyandang cacat. Mereka disuruh diam saja di rumah sehingga tidak bisa mandiri dan berguna bagi masyarakat. Padahal agar seorang penyandang disabilitas bisa berbaur dalam masyarakat, harus ada tiga faktor yang saling berkesinambungan, yakni faktor disabilitas yang diderita, sikap si penyandang, dan stigma masyarakat.

Kalau interaksi ketiga faktor ini sudah baik, niscaya disabilitas kita akan semakin rendah. Misalnya seperti, bila ada penderita tunanetra yang mau belajar mandiri, lalu mereka bisa dibantu dengan adanya buku-buku dengan huruf braille atau software khusus. Masyarakat dan keluarga juga mendukung dengan sikap yang positif. Itu baru ideal. Rina dan sang adik, Jaka, beruntung karena dalam hidup mereka ketiga faktor tadi berjalan dengan selaras. Rina pun bisa menjadi tunanetra yang mandiri. Demikian pula dengan Jaka, yang juga aktif dalam berbagai organisasi dan gerakan kemasyarakatan. Memang, kalau untuk pergi ke tempat baru atau melakukan sesuatu yang baru, seorang penyandang tunanetra butuh bantuan orang lain. Tapi menurut Rina, rasanya orang yang normal pun juga seperti itu.

Namun setidaknya setiap penyandang tunanetra menguasai yang namanya Orientasi dan Mobilitas. Banyak teknik yang bisa dipelajarai dalam Orientasi dan Mobilitas, seperti cara menggunakan tongkat, bagaimana mengandalkan suara agar tak menabrak saat berjalan, atau membedakan cahaya seperti gelap dan terang. Kalau sudah terbiasa, lama-lama pekerjaan sehari-hari pun bisa dilakukan dengan mandiri. Setiap hari, misalnya, Rina bisa menuju tempat kerja dengan menumpang bus Trans Jakarta. Jika berada di rumah atau kantor Pertuni, ia tidak usah memakai tongkat karena sudah hafal di mana letak perabotan. Rina juga menghafalkan berapa langkah yang dibutuhkan dari kursi untuk mencapai pintu, dan lain-lain.

Dirinya yang juga dituntut tampil rapi dan cantik saat bekerja di hotel juga bisa dandan sendiri. Rina membuat teori, berapa sapuan bedak padat dan berapa sapuan untuk bedak tabur. Ia juga bisa memakai perona pipi sendiri dengan hasil yang rapi. Dengan teknologi yang canggih, Rina memang jadi terbantu dalam melakukan pekerjaannya. Bahkan ia bisa saling berkirim SMS atau meng-update status di Facebook. Ini karena di handphone Symbian miliknya telah dipasangi software bernama Talks. Sementara bagi yang memiliki Android, tinggal menginstal aplikasi Talk Back atau Voice Over di iPhone. Fungsinya sama, ia membacakan SMS atau menu lain di telepon genggam dengan pengeras suara. Untuk fungsi yang sama di komputer, Rina menggunakan software JAWS (Job Access With Speech).

Suami Rina, Permas Alamsyah, juga seorang tunanetra mandiri yang bekerja sebagai drummer profesional. Mereka bertemu di sebuah acara organisasi dan dari pernikahan keduanya, mereka sudah dikaruniai 5 orang anak, Aldri Rizki Pratama Putra, Gadis Marizka Permata Belasari, Indri Alfia Salsyabila, Farhan Putra Alamsyah, dan Melrizky Putra Alamsyah. Indri dan Melrizky adalah juga penyandang tunanetra. Sementara si bungsu Melrizky juga didiagnosa memiliki spektrum autisme. Namun seperti yang ia sebutkan tadi, Rina beruntung karena interaksi ketunanetraan dirinya dengan lingkungan lebih baik dari kebanyakan penyandang tunanetra yang ia kenal. Bahkan sang Ibu pun tidak pernah melarang ia merawat sendiri anak-anaknya. Karena banyak teman tunanetra yang Rina kenal, tidak diperbolehkan membesarkan anak mereka sendiri.

Dalam mengasuh kelima anaknya pun, ia selalu berusaha adil. Ia dan suami mencoba memperlihatkan, meskipun mereka berdua adalah tunanetra, mereka tetap menjalankan fungsi sebagai orangtua seperti orangtua lain pada umumnya. Baginya, hidup adalah sebuah pilihan. Ada istilah ‘Life is a choice, you wanna be happy or you wanna be grumpy’. Dan Rina sadar, happy atau grumpy, ia tetaplah tunanetra. Jadi, akhirnya ia memilih menjadi tunanetra yang happy. Begitulah ia menjalani hidupnya.  

Komentar