IDONESIAN PEOPLE : SYLVIANA MURNI, Deputi Gubernur Bidang Budaya dan Pariwisata Provinsi DKI Jakarta yang Mantan None Jakarta




Lahir di Jakarta, 11 Oktober 1958, sejak kecil ibu dua anak ini dikenal mudah bergaul dan bersosialisasi. Di tengah kesibukannya, perempuan berdarah Betawi yang kini menjabat sebagai Deputi Gubernur Bidang Budaya dan Pariwisata Provinsi DKI Jakarta ini tak pernah lupa dengan perannya sebagai istri, ibu, dan nenek.

Sebagai Deputi Gubernur Bidang Budaya dan Pariwisata Provinsi DKI Jakarta, saat ini salah satu kesibukannya adalah sedang mencoba memikirkan bagaimana kota tua di kawasan Jakarta Barat bisa dijadikan cagar budaya sekaligus pelestariannya. Selain itu,  masih banyak hal lain yang juga patut diperhatikan. Jakarta memiliki banyak destinasi wisata yang dapat diunggulkan. Sebagai contoh, di Jakarta Utara saja ada 12 destinasi wisata. Semua ini perlu penggarapan yang betul-betul serius. Untuk itu, Sylviana sedang menjadwalkan rapat koordinasi dengan lima wilayah kota termasuk Kabupaten Pulau Seribu untuk memikirkan bagaimana mengangkat potensi wisatanya. Jakarta memang punya tempat-tempat yang potensial untuk dijadikan destinasi wisata. Dari situ akan diketahui pula apa yang perlu diperbaiki. Misalnya menyiapkan SDM, memperbaiki akses menuju tempat wisata, infrastrukturnya dan lain-lain. Selain itu, Sylviana juga berharap nantinya setiap warga dapat menjaga destinasi wisata yang notabene mempunyai nilai tambah bagi warga sekitar lokasi. Pasalnya, destinasi wisata tersebut tidak hanya bermanfaat bagi negara dan Jakarta saja, tapi juga bagi masyarakat sekitar.

Sejak kecil, Sylviana memang sudah bercita-cuta menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dan ia memulai kariernya dengan menjadi Staf BP-7 DKI Jakarta tahun 1985. Saat mendaftar untuk menjadi PNS, ia juga ikut antri dengan orang-orang lain dan juga mengikuti tes sesuai dengan aturan, walau banyak orang mengatakan, sebagai mantan None Jakarta, ia bisa masuk PNS dengan mudah tanpa ikut tes. Setelah lulus tes, ia kemudian ditempatkan sebagai Staf Penatar BP-7 DKI 1985-1987. Selama menjadi PNS sebanyak 3 kali ia mengalami naik pangkat secara istimewa, salah satunya karena jabatannya lebih tinggi dari pangkatnya.

Selain menjadi PNS, Sylviana juga bercita-cita ingin menjadi guru karena suka sekali belajar dan mengajari orang. Dan ternyata, saat ini ia bisa menjadi dosen dan guru besar. Ia mengajar di beberapa universitas swasta dan negeri. Saat itu jugalah, ia berpikir untungnya dengan menjadi PNS, ia bisa pulang lebih cepat hingga bisa mengatur waktu untuk keluarga dan mengajar. Sylviana bahkan tetap memilih menjadi PNS ketimbang menerima tawaran untu berpolitik. Memang ia pernah terpilih menjadi anggota DPRD DKI perode 1997-1999, sampai akhirnya terbit Peraturan Pemerintah (PP) yang mengharuskan PNS tidak memihak atau netral dari partai politik. Ia pun akhirnya dengan rela meninggalkan karier politiknya.

Selama kariernya, ia selalu menjadi wanita pertama yang duduk di berbagai posisi. Baru sekaranglah ia tercatat sebagai perempuan kedua yang menjabat sebagai Deputi Gubernur. Sisanya, ia selalu tercatat sebagai perempuan pertama. Dengan begitu, ia bisa membuktikan bahwa perempuan mampu memegang jabatan apa pun asal mendapat kepercayaan. Masalahnya selama ini adalah, perempuan kerap diragukan. Sylviana mengaku tidak pernah mempunyai target tertentu dalam kariernya. Semua yang ia dapatkan ini berjalan dengan sendirinya.

Sylviana adalah pemenang None Jakarta tahun 1981, walau sebenarnya dulu ia hampir tidak percaya juga bisa memenangi pemilihan itu karena tinggi badannya yang hanya 165 cm. Tapi kebetulan saat itu ia bisa menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh juri. Tidak mengherankan, karena bila peserta lain baru masuk kuliah, sementara dirinya saat itu sudah mau wisuda dan aktif di banyak organisasi.

Banyak cerita menarik dari sekian banyak jabatan yang pernah diembannya selama ini. Di antaranya pada 2013 lalu ia pernah menjadi Pelaksana tugas Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ketika itu ia dipanggil oleh Gubernur Jokowi, yang mengatakan bahwa kawasan sekitar Banjir Kanal Timur (BKT) perlu dirapihkan dan bersih dari sampah. Ia pun segera mencari tahu dulu ada berapa unit mobil patroli yang dimiliki Satpol PP. Lalu mobil-mobil tersebut ia perintahkan untuk berkeliling BKT selama 24 jam secara bergantian. Ia memerintahkan kepada para Satpol PP untuk mencatat apa saja yang terjadi di lokasi. Dan akhirnya, dengan melihat mobil Satpol PP yang terus mondar-mandir, orang pun jelas jadi kebingungan. Mereka akhirnya jadi takut untuk membuang sampah di sekitar BKT. Selain itu, ia juga ikut memantau dengan menggunakan sepeda motor. Pernah saat keliling di kawasan BKT itu, ia menemukan banyak tempat dijadikan lokasi pacaran anak muda. Sylviana tidak perlu mengusir orang-orang itu, ia cukup dekati mereka dan memfotonya. Lama kelamaan mereka pun gerah sendiri dan akhirnya pindah.





Menurut Sylviana, ide-ide yang muncul seperti itu merupakan karunia Tuhan. Ia mengaku, sejak kecil tidak pernah lupa mengerjakan shalat Dhuha dan Tahajud. Sholat Dhuha itu menurutnya bersifat meminta rezeki. Dan rezeki itu belum tentu berupa uang saja, tapi juga bisa berupa ide dan sahabat. Baginya, itu merupakan sebuah karunia. Ia yakin bahwa setiap masalah ada solusinya. Tinggal bagaimana kita mencari, lalu mengemasnya menjadi solusi yang terbaik. Untuk menemukan hal itu, tentu saja perlu exercise yang terus menerus.

Sylviana mengaku, cukup sulit juga menjadi pejabat perempuan di lingkungan yang kebanyakan laki-laki seperti di Satpol PP. Kultur budaya Indonesia memang tidak bisa menerima perempuan sebagai pemimpin. Namun, ketika ia ditempatkan di mana saja, ia selalu bekerja dengan total dan membiarkan waktu yang menentukan. Ia percaya bahwa skenario Tuhan itu adalah yang terbaik. Jadi ketika ia berada di posisi mana pun, itu berarti yang terbaik untuknya menurut Tuhan. Dan menurut Sylviana, seorang pemimpin itu tidak harus di belakang meja. Dalam bekerja, ia pun kerap turun ke lapangan. Bahkan saat dirinya menjadi Walikota, ia mengatakan kepada bawahannya, bahwa waktu kerja Lurah itu 70 persen berada di lapangan, dan 30 persennya baru menjalankan administrasi di kantor. Sementara kepada Camat, waktu kerja mereka 60 persen di lapangan dan 40 persen administratif. Ketika ia mengatakan seperti itu, tentu saja awalnya para Lurah dan Camat banyak yang kaget.

Totalitas dalam bekerja juga selalu ia tunjukkan. Ia pernah terpaksa harus berulang tahun di kantor karena bekerja sampai pagi. Sampai suaminya yang harus datang ke kantor membawakan makanan. Ia juga pernah keliling 11 pulau di Pulau Seribu sampai jam 3 pagi dengan kapal klotok. Di sini ia ingin membuktikan saja akan tanggung jawabnya, dan bukan sekedar banyak bicara. Jadi ia ingin antara dirinya dan bawahannya bisa sama-sama bekerja. Sylviana tidak ingin ada kesan bahwa seorang mantan None Jakarta kerjanya lambat dan hanya sibuk berdandan saja. Dengan segudang kesibukannya, sang suami pun sempat  menyindirnya, seolah-olah suaminya yang dirumah adalah suami ke empat. Suami pertamanya adalah telepon genggam, suami kedua laptop atau iPad, sementara suami ketiganya adalah buku. Tapi meskipun begitu, suaminya tidap pernah lupa untuk memberikan perhatian hingga hal-hal terkecil sekalipun, seperti mengingatkan supaya baterai HP-nya selalu terisi penuh, bahkan sampai membelikannya alat power bank.

Sylviana juga mengaku tidak pernah bosan dengan segala aktivitas yang dilakukannya. Ia selalu menikmati setiap kegiatannya. Menurutnya, sebagai manusia kita hanya perlu terus menerus menggali hal yang kita hadapi agar menjadi menarik. Misalnya saja, sejak dilantik menjadi Ketua Kwartir Daerah Pramuka Jakarta pada periode 2013-2018, ia terus menggali apa yang menarik dari Pramuka. Ia ingin menciptakan Pramuka yang modern sampai setiap orang tertarik ingin mengikuti Pramuka.





Namun, dengan segala kesibukannya itu, waktu untuk keluarga ia pastikan tetap ada. Intinya adalah, ia harus paham ‘How to manage the problem and how to manage the time ?’. Dan ia bersyukur, sejauh ini bisa menjalani karier dan keluarga secara bersama-sama. Keluarganya memiliki aturan, kalau sedang kumpul bersama, mereka sepakat tidak memegang telepon genggam. Sylviana tidak pernah merasa dia adalah seseorang yang sungguh hebat. Bahkan menurutnya sang suamilah yang hebat. Suaminya adalah motivatornya dan sumber inspirasi baginya. Sylviana memang masih menganut azas bahwa lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Dan haram hukumnya seorang perempuan keluar rumah tanpa izin suami. Hal itu sangat ia terapkan betul dalam keluarganya. Ia tidak akan melakukan apa pun tanpa seizin suaminya. Bahkan kalau suaminya memintanya berhenti kerja pun, ia akan lakukan hari itu juga. Beruntung, suaminya tidak sampai melakukan itu. Suaminya hanya mengatakan, bahwa dari pekerjaannya ini, ia tidak perlu berorientasi untuk mencari uang sebanyak-banyaknya. Karena tanggung jawab untuk memberikan nafkah tetap dipegang sang suami. Ia bekerja atas alasan profesional saja, sampai mencapai target di usia 50 tahun sudah menjadi guru besar. Suaminya memang memberikannya kesempatan untuk tetap bekerja, karena tahu akan potensi yang dimilikinya. Lagipula, saat ini anak-anaknya juga sudah besar.  Anak sulungnya sudah bergelar Master, dan yang kedua sudah menjadi dokter. Saat ini ia sudah dianugerahi empat cucu. Maka, di usianya yang sekarang ini, apa lagi yang bisa ia lakukan kecuali untuk mengabdi ?

Sylviana juga masih punya waktu untuk diri sendiri. Ia suka melakukan creambath dan masker sendiri di mobilnya. Bahkan mengecat rambut juga ia lakukan sendiri.  Jarang sekali ia pergi ke salon, paling hanya setahun sekali. Ia berpikir hanya dengan berwudhu lima kali dalam satu hari, sudah membuat mukanya bersih. Sementara agar terlihat selalu segar, ia juga selalu mencoba untuk membersihkan hatinya. Baginya, hidup ini sementara dan mati itu pasti. Dan keabadian itu adanya setelah mati. Untuk itu ia harus menyiapkan hal itu.

Sekolah adalah hobi utama Sylviana. Menurutnya ilmu itu sifatnya selalu baru. Ia pun terus belajar memenuhi semangat belajarnya yang memang tinggi. Selain itu Sylviana juga mengakui bahwa ia seorang yang sangat IT minded. Ia pun memiliki akun di berbagai media sosial, seperti Skype, Whatsapp, Instagram, Wechat, Kakao Talk, Line dan lain-lain. Di mobilnya, ia bisa melakukan komunikasi, membuat buku, membuat laporan, dan lain-lain. Dan ia bisa melakukan semua itu karena memang sudah terlatih sebagai faster learner.

Menengok ke belakang, kedua orangtuanya mendidiknya secara religius dan demokratis. Ketika ia kecil, ia dan saudara-saudaranya yang berjumlah 9 orang selalu menyelesaikan masalah di ‘meja demokrasi’ yang ada di rumahnya. Di meja itu mereka boleh berdebat dan bicara apa saja pada kedua orangtuanya. Dan segala keputusan yang dibuat di meja itu harus disetujui dan dijalankan. Hal serupa pun kini juga ia tanamkan kepada anak-anaknya. Ia menanamkan iman kepada anak-anaknya. Dan ia merasa bersyukur, anaknya yang sempat tinggal di Australia selama 7 tahun, tidak pernah sama sekali merokok, narkoba, dan berulah yang macam-macam. Ia selalu mengatakan kepada anak-anaknya, bahwa sebagai ibu ia memang tidak bisa melihat 24 jam dan mengikuti setiap langkah kaki anaknya. Tapi Tuhan maha melihat setiap gerak-gerik umatnya. Maka ketika anaknya berbuat benar itu adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk Ayah dan Ibunya.

Komentar