Sudah sejak
tahun 2001, Zulminarni membidani lembaga pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga
(PEKKA) yang berfokus pada para janda. Sepanjang kiprahnya, sudah ribuan janda
di Nusantara menjadi binaannya. Mereka mencoba melepaskan diri dari belenggu
kemiskinan dan ketidakjelasan status hukum pernikahan. Hasil yang dicapai
Direktur Pemberdayaan PEKKA ini, telah melahirkan kepala desa dan perempuan
mandiri.
Latar belakang
Zulminarni sebetulnya adalah Sarjana Perikanan dari Institut Pertanian Bogor,
lulusan tahun 1985. Namun ketika lulus, ia mengaku sangat sulit mencari
pekerjaan. Meski beberapa kali sempat menerima panggilan tes bekerja, tapi ia
tidak pernah diterima. Akhirnya, sekitar tahun 1987, ia baru diterima bekerja
di LSM PPSW (Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita). Hingga tahun 1998 ia
dipercaya menjadi direktur di lembaga tersebut. Sejak bergelit di LSM wanita,
Zulminarni sadar telah menjadi bagian dari gerakan perempuan. Saat
berorganisasi di PPSW ia juga sering menemui persoalan ketidakadilan pada
wanita. Misalnya, saat peristiwa kerusuhan yang disertai pemerkosaan wanita
etnis Tionghoa, Mei 1998. Dari situ ia pun mendorong terbentuknya Komnas
Perempuan. Hingga suatu saat Sekjen Komnas Perempuan yang saat itu dipegang
oleh Kamala Candrakirana, memintanya untuk membantu mendokumentasikan kehidupan
janda di wilayah konflik Aceh.
Pada saat yang sama, ia juga diminta PPK (Program Pengembangan Kecamatan) untuk menjangkau janda miskin di wilayah PPK demi mendapat informasi apakah mereka benar-benar mendapat manfaat dari program yang diadakan di desa-desa. Zulminarni sadar, bantuan untuk janda ini tidak akan ada manfaatnya jika hanya diberikan dalam bentuk uang. Ia yakin persoalan mereka bukanlah sekedar uang. Lebih terasa lagi, ketika tengah fokus mengerjakan program tersebut sekitar tahun 1999, ia secara pribadi juga mengalami persoalan rumah tangga. Bahkan, ia harus bercerai dengan membawa 3 anak yang masih kecil-kecil. Sejak itu jalan hidupnya berubah. Ia bisa merasakan sendiri bahwa menjadi seorang janda itu sangat berat sekali. Apalagi ketika ada seorang teman yang bertanya, kenapa dirinya yang seorang aktivis perempuan, tapi malah bercerai ? Bercerai seperti menjadi aib bagi kehidupannya, tanpa orang mau memahami alasan mengapa ia bercerai. Itulah yang memotivasinya untuk lebih jauh mencermati program Komnas Perempuan dan PPK.
Ia mengatakan langsung kepada Komnas Perempuan, bersedia mengurus program ini asal harus diubah konsepnya. Dokumentasi akan menjadi support-nya untuk mengorganisir para janda. Selanjutnya, Zulminarni akan lebih mengembangkan kelompok swadaya yang dimulai dengan menabung dan bukan dengan memberikan uang. Komnas dan PPK pun menyetujui usulannya, sehingga program tersebut menjadi program pemberdayaan perempuan kepala keluarga atau PEKKA. Ada alasan khusus baginya untuk memimpin PEKKA. Ia melihat, masyarakat masih memberi stigma negatif pada janda. Seorang janda harus menerima tuduhan dirinya menjanda karena kesalahan yang diperbuatnya. Istilahnya, menjadi janda itu karena dia perempuan tidak benar. Selain itu, seorang janda yang menjadi kepala keluarga itu sangat berat sekali. Ia mesti mencari nafkah sekaligus memikirkan segala persoalan keluarga.
Kesulitan
seperti itu juga Zulminarni alami. Di saat dirinya bercerai, ia juga tidak enak
dengan rekan-rekan sehingga harus mengundurkan diri dari pekerjaan. Dari
situlah ia semakin berempati dengan perempuan yang nasibnya lebih susah
darinya. Bisa dibayangkan, dirinya yang memiliki ijazah hingga S2, mempunyai
teman, punya jaringan, dan bisa mencari kerja saja, sangat susah sekali untuk
menjalani hidup. Maka mulailah ia memantapkan hatinya untuk mengorganisir
PEKKA. Bersama beberapa teman dari PPSW ia membentuk kelompok dan berkeliling
ke beberapa wilayah seperti Aceh, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara dan NTT. Mereka
mengumpulkan fakta, apa saja sebenarnya permasalahan perempuan kepala keluarga.
Ternyata, mereka menerima stigma negatif, juga menderita trauma dan kesedihan
akibat perceraian atau kehilangan suami.
Di sisi lain, mereka harus menjadi tulang punggung bagi keluarga yang
bergantung padanya. Zulminarni pun semakin yakin, proses pemberdayaan perempuan
adalah harus membuat solusi.
Tentu saja banyak pengalaman menarik saat menjalankan tugasnya itu. Misalnya, saat awal berkeliling, ia sempat berkunjung ke Aceh dan menggelar pertemuan dengan para janda. Di situ ada perangkat desa yang mendampinginya. Pada awal perkenalan, ia tak lupa menyebutkan statusnya yang juga seorang janda dan bercerai. Ia sengaja bercerita demikian agar para ibu tersebut juga mau bercerita nantinya. Namun, perangkat desa tersebut malah meragukannya, bagaimana mungkin ia bisa bekerja dengan perempuan yang ada di desa itu, kalau untuk mengurus suami saja ia tidak becus. Pernyataan itu sempat membuat Zulminarni marah. Namun kemudian ia berpikir bahwa reaksi perangkat desa tersebut adalah mewakili representasi masyarakat. Ia lalu berani mengatakan, bahwa apa yang diungkapkan perangkat desa tersebut sama sekali tidak relevan. Karena tidak selalu orang yang menjanda itu tidak becus mengurus suami.
Pengalaman
lainnya adalah, ketika ia pernah ke NTT dan meminta bantuan untuk mengumpulkan
para perempuan kepala keluarga. Tidak sampai satu jam, sudah berkumpul banyak
sekali janda yang membuatnya sangat kaget dan bertanya-tanya. Ternyata mereka
semua memang janda karena berbagai alasan. Ada yang suaminya bekerja 9 tahun di
Malaysia dan tidak pernah mengirim uang, juga alasan lain. Mereka hidup dalam
kondisi alam yang susah tapi mereka sanggup bertahan. Dari situ, pada tahun
2002 ia pun mulai menjalankan program yang sudah disusun bersama rekan-rekannya
mengenai pemberdayaan perempuan.
Zulminarni mengaku, saat merintis PEKKA awalnya ia sempat ditolak warga yang dikunjungi. Alasannya, karena PEKKA tidak memberikan uang. Biasanya, pemerintah yang datang ke mereka adalah untuk memberikan bantuan. Sedangkan PEKKA sifatnya hanya menemani, memberi penyadaran, memotivasi, dan melatih. Mereka selalu mengeluh tidak punya uang dan tidak menabung untuk membuat masa depan lebih baik. Hanya bertahan selama tiga bulan, satu persatu warga yang dibidik tak mau mengikuti programnya lagi. Kendala lainnya adalah, saat di Jawa Barat, sempat ada kelompok masyarakat yang menyebar isu, bahwa apa yang dilakukannya ini adalah ingin menjual para janda. Sampai-sampai ibu-ibu yang sudah bergabung dalam PEKKA pun membubarkan diri.
Namun titik kritis
itu hanya terjadi pada tiga tahun pertama saja. Zulminarni sempat putus asa
melihat kegagalan PEKKA yang hampir mencapai 100 persen. Ibaratnya, dari 50
kelompok yang ia tumbuhkan, yang tersisa hanya 5 kelompok saja. Namun, 5 kelompok
inilah yang akhirnya ia tekuni dengan serius hingga terlihat perubahannya. Dari
yang tadinya tidak bisa baca tulis, tidak percaya diri, juga tidak bisa punya
uang sendiri, akhirnya mampu mandiri dengan segala daya upayanya. Melihat
keberhasilan itu, teman-temannya pun mulai tertarik. Hal ini dirasakan
Zulminarni setelah PEKKA menginjak tahun ke lima.
Menurut Zulminarni, proses pemberdayaan perempuan itu butuh waktu lama dan banyak investasi. Mulai SDM, pikiran, sampai pendanaan. Apalagi, ibu-ibu yang tergabung dalam PEKKA tidak punya waktu yang banyak, mengingat sehari-hari mereka harus bekerja dan banyak pula yang masih buta huruf. Zulminarni pun terpaksa menggunakan metode verbal untuk meyakinkan mereka. Ia sampaikan bahwa menjadi janda itu mempunyai peranan penting dan memiliki tanggung jawab besar pada keluarganya. Selain itu, sebagai kepala keluarga mereka juga punya martabat tinggi dan harus terus dihormati. Saat ini ia juga tengah mengembangkan pelatihan agar para ibu yang tergabung dalam PEKKA juga bisa menjadi paralegal dalam menyelesaikan masalah hukum terkait status janda dan akte kelahiran. Dan program lainnya akan terus dikembangkan sesuai kondisi yang ditemui.
Patokan keberhasilan usaha yang ditekuninya ini terletak pada perubahan. Dari yang tadinya tidak percaya diri hingga bisa bermasyarakat. Bahkan sudah ada 3 ibu anggota PEKKA yang berhasil menjadi kepala desa di NTT. Dan ini baru pertama kalinya dalam sejarah NTT, bahwa ada perempuan, apalagi janda yang menjadi kepala desa dan dipilih oleh masyarakat. Keberhasilan lainnya, banyak dari kelompok ibu PEKKA yang sekarang juga bisa membangun community centre. Mereka menjadi pengajar di masyarakat. Ada juga yang tadinya menjadi korban KDRT, sudah berhasil bangkit bahkan menjadi pendamping wanita korban KDRT. Selain NTT, daerah yang sangat berkembang dalam program PEKKA adalah NTB.
Dalam menjalani pekerjaannya yang seperti sekarang, Zulminarni memang tidak bisa sendirian. Harus ada support dari jaringan organisasi lain. PEKKA pun telah bekerja sama dengan LSM dari Afrika Selatan dan negara-negara Amerika Latin untuk pengembangan program. Maka tak mengherankan kalau dengan pekerjaannya ini ia jadi sering ke luar negeri. Biasanya karena diundang untuk menjadi narasumber atau menjadi fasilitator. Dan ia pun selalu tidak lupa membagikan pengalamannya selama berada di PEKKA. Pada awal Juni tahun 2014, ia sempat diundang oleh Asia Pacific Feminist Forum ke Thailand, untuk membahas status dan masalah perempuan. Ia juga sempat ke Myanmar untuk menjadi pembicara di depan aktivis perempuan yang menentang rencana pemerintah menerbitkan larangan pernikahan beda agama.
Zulminarni pun sudah menerima beberapa penghargaan dari usahanya ini. Antara lain ia pernah menerima penghargaan Saparinah Sadli tahun 2011. Sesuai nama besar tokoh Saparinah Sadli, ia dianggap menjadi salah satu tokoh perempuan yang dianggap berkontribusi terhadap kehidupan perempuan. Ia juga pernah mendapatkan penghargan Kartini Award, 100 perempuan berpengaruh di Indonesia, juga penghargaan Ernst and Young. Dan pada tanggal 16 Juni 2014, ia menerima penghargaan Lotus Leadership Awards di Amerika untuk Asia. Ia dianggap menjadi pemimpin yang memberi pengaruh kehidupan bagi masyarakat di Asia.
Komentar
Posting Komentar