TRADISI : PERJUANGAN SENIMAN BETAWI DI TENGAH MODERNITAS KOTA




Kemajuan zaman berimbas terhadap eksistensi budaya Betawi. Beberapa seniman Betawi tak mau menyerah. Mereka terus berjuang dengan berbagai cara demi melestarikan kebudayaannya. Salah satunya dengan menarik minat generasi muda.

Seperti semboyan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, Betawi adalah contoh perpaduan antar etnis dan bangsa di masa lalu yang memiliki kebudayaan yang sangat beragam. Budaya Betawi yang unik dan indah itu ternyata juga dipengaruhi oleh berbagai suku bangsa seperti Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu, dan Tionghoa. Sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu, kebudayaan ini semakin terpinggirkan. Akibatnya, pentas kesenian Betawi hanya hidup di pinggiran Jakarta. Beruntung, beberapa tahun terakhir, berbagai kesenian Betawi mulai muncul ke permukaan. Bahkan, Pergub No 209 tahun 2012 menyebutkan baju sadariah bagi laki-laki dan kebaya krancang bagi perempuan menjadi pakaian dinas bagi PNS Pemprov DKI Jakarta setiap Jumat. Kembalinya kesenian dan kebudayaan Betawi di Jakarta ini pun mendapat apresiasi dari sejarawan berdarah Betawi, JJ Rizal.




Menurut Rizal, sudah terlalu lama budaya Betawi tidak mendapat tempat. Akibatnya banyak seniman Betawi yang menekuni profesi lain agar asap dapur bisa ngebul. Upaya bertahan hidup juga dilakukan oleh seniman Tanjidor. Di antaranya dengan munculnya variasi-variasi dalam kesenian Tanjidor. Misalnya Tanjikres yang berarti Tanjidor Orkes, Tanjinong atau Tanjidor Lenong, bahkan Tanjidor kini juga memainkan lagu dangdut. Selain harus bertahan dari gerusan zaman, keberlangsungan hidup seni dan budaya Betawi juga terancam akibat minimnya generasi muda untuk meneruskan warisan leluhur ini. Untuk itu, Rizal berharap pemerintah daerah turun tangan melakukan pendokumentasian. Tujuannya agar kebudayaan Betawi ini dapat lestari dan diteruskan kepada generasi selanjutnya. Salah satunya lagu-lagu yang dimainkan dalam Tanjidor. Para pemain Tanjidor sampai saat ini memainkan lagu tanpa catatan, hanya berdasarkan ingatan. Dulu, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pernah membuat dokumentasi kebudayaan Betawi. Sayangnya dokumentasi tersebut saat ini tekah hilang.

GRUP TANJIDOR TIGA SODARA





Salah satu seniman Betawi yang masih ada hingga saat ini adalah Said Neleng. Bersama grup Tanjidor bernama Tiga Sodara, Said sudah menekuni kesenian ini hampir seumur hidupnya. Menurutnya, ia udah bermain Tanjidor sejak tahun 60-an. Nama Tiga Sodara di grup-nya ini ia ambil dari jumlah saudara kandungnya, sebagai bentuk penghormatan kepada mereka. Diakui Said, menjadi seorang seniman tradisional memang tidak mudah. Tidak setiap saat ia menerima tawaran untuk bermain dalam sebuah acara atau pesta. Terkadang juga, ia sangat susah untuk mengajak temannya bermain Tanjidor, karena mereka sudah ada pekerjaan lain. Misalnya kerja di bengkel motor, dan lain-lain. Lagipula penghasilan dari bermain Tanjidor memang tidak menentu. Said pun tidak bisa memaksa mereka untuk bermain. Jadi bila ingin mengajak teman-temannya, ia harus memberitahukan sejak jauh-jauh hari agar semuanya bisa datang.

Said mengaku, tidak mudah untuk mencari pemain Tanjidor saat ini. Sangat sulit juga mengajak anak muda untuk mau latihan bermain Tanjidor. Bahkan mengajak anaknya sendiri saja ia susah. Tapi, ia tidak pernah berhenti untuk coba mengajak anak dan cucu-cucunya untuk belajar dan bermain Tanjidor. Ia selalu mengatakan, siapa lagi yang akan melanjutkan kesenian ini selain keluarganya sendiri ? Beruntung, masih ada dirinya yang bisa mengajari. Seumpama ia sudah tidak ada, Said tidak tahu, siapa lagi yang mau mengajarkan ? Diceritakan Said, keahliannya dalam memainkan alat-alat musik didapat dari orang tuanya. Peralatan musik yang dimiliki juga merupakan peninggalan orangtua. Alat musik yang dimilikinya bahkan ada yang sudah berumur seratusan tahun. Contohnya Bass, yang di situ masih tertera nomor produksinya dan tahun pembuatannya, yakni 1894. Ibarat sangkar, menurut Said barang itu ada ‘isi’nya, jadi tidak bisa sembarangan dipakai. Ada ritual khusus sebelum dan sesudahnya.





Said yang menguasai semua alat musik yang digunakan dalam Tanjidor ini, berjanji untuk terus menekuni kesenian ini. Ia tidak akan menjual satu pun alat-alat musik itu. Meskipun kalau ia mau, pasti banyak yang bersedia membeli dengan harga yang mahal. Seperti gelombang, Said telah mengalami pasang surut kesenian Tanjidor. Dulu, ia cukup sering menerima tawaran main di mana-mana. Sampai kerepotan sendiri mengatur waktu, karena banyak yang berebutan mengajaknya bermain Tanjidor. Bahkan ada yang sampai rela memundurkan atau memajukan waktu pentas supaya ia bisa bermain di semua tempat.

Saat ini, ia hanya bermain di sekitar Tangerang dan Bekasi dengan bayaran yang beragam tergantung keinginan, mau Tanji saja atau Tanjidor. Said menjelaskan, kalau hanya Tanji saja itu pemainnya sekitar 10 orang dengan bayaran Rp 3 juta. Sementara Tanjidor pemainnya lengkap dengan bayaran Rp 15 juta. Memang cukup mahal, karena ia sangat susah mencari penyanyi perempuan yang bisa bernyanyi lagu Betawi, Sunda dan Dangdut. Paling sedikit ia harus membawa dua penyanyi sekali pentas. Itulah yang membuat harganya menjadi mahal. Dalam setahun, grup kesenian Said hanya ramai dipesan antara Juni-Juli hingga Agustus. Di bulan Agustus biasanya yang memesan untuk memeriahkan HUT RI di berbagai tempat. Kemudian bulan Juni-Juli, untuk merayakan HUT Jakarta. Saat HUT Jakarta itulah Said bisa bermain di beberapa tempat dalam satu hari. Misalnya di tempat wisata dan kantor-kantor pemerintahan.

SANGGAR SI PITUNG DI RAWA BELONG





Menjadi seniman kesenian tradisional diakui pula oleh H. Bachtiar bagai berjalan di sebuah lahan kosong. Selain itu, melestarikan seni budaya Betawi ibarat dirinya sedang kecemplung di dalam sumur dan membutuhkan tali. Lalu ketika ada orang lewat yang ingin menolong dirinya, tapi harus ditunda karena dana untuk membeli tali harus menunggu anggaran yang datangnya dari orang lain dulu. Tentu saja, kalau ia harus menunggu lama seperti itu, akan membuatnya keburu mati di dalam sumur. Tapi walau mengaku sulit, pemilik Sanggar Si Pitung di kawasan Rawa Belong ini, terus berupaya untuk menghidupkan kesenian Betawi. Bachtiar memang berjuang tanpa bantuan siapa-siapa, termasuk pemerintah. Beruntung, sebagian penghasilannya sebagai pengantar surat di sebuah perusahaan, bisa digunakan untuk mendanai kegiatan sanggarnya. Dan ia percaya, segala usaha yang dijalankan demi kebaikan, akan menghasilkan rezeki yang sesuai. Semuanya Bachtiar lakukan dengan ikhlas. Selama itu untuk memajukan kebudayaan Betawi, pria kelahiran Jakarta, 16 Maret 1971 ini, sudah cukup bahagia.

Bachtiar mulai berkecimpung dalam bidang seni sejak kecil. Lahir dari keluarga pecinta seni Betawi meyakinkan dirinya untuk melestarikan kebudayaan leluhurnya. Dimulai pada 5 Mei 1995 silam, ayah lima anak ini mendirikan Sanggar Si Pitung. Sebagai anak Betawi, ia merasa punya tanggung jawab moral bagaimana mempertahankan, melestarikan, dan mengembangkan budaya Betawi. Berbekal pelajaran akting yang diterimanya saat bergabung dengan sebuah sanggar teater, Bachtiar mulai menghidupkan kembali seni dan bidaya Betawi. Ia menggandeng anak-anak muda di sekitar tempat tinggalnya. Awalnya memang tidak mudah. Ia pun mencoba menerapkan konsep ikhlasnya Si Pitung yang tidak mengharapkan apa-apa demi membela rakyat.





Tak heran jika kemudian Bachtiar menamakan sanggarnya sesuai nama pahlawan masyarakat Betawi itu. Pemilihan nama Pitung juga karena adanya simpang siur berita asal Pitung yang katanya berasal dari Marunda dan Depok. Padahal menurut Bachtiar, Pitung sejatinya adalah warga asli Rawa Belong. Berawal dari mengajarkan Lenong, seiring dengan waktu sanggar ini mulai melebarkan sayap. Selain Lenong, ia juga menyediakan prosesi Buka Palang Pintu, atraksi silat dan lain-lain. Bahkan sanggarnya pernah menjadi juara Lenong se-DKI tahun 1996, juara Lenong se-Kelurahan Jakarta Barat dan tiga kali berturut-turut menjadi juara se-Jabodetabek lomba Buka Palang Pintu di Kemang. Pada saat HUT Jakarta, orang-orang sering mencandainya kalau waktu itu adalah ‘lebarannya’ Sanggar Si Pitung, karena pada saat itulah ia banyak menerima order tampil.

Sanggar milik Bachtiar menawarkan berbagai prosesi dan kesenian Betawi. Mulai dari Gambang Kromong, Tanjidor, Samrah, Rebana ketimpring, Qasidah, Tari Betawi, Cindera mata Betawi, Ondel-ondel, Pelaminan Betawi. Selain itu, Bachtiar juga menyediakan macam-macam makanan Betawi seperti dodol, roti buaya, uli, geplak, asinan, kerak telor, bir peletok, dan lain-lain.





Menurut Bachtiar, masyarakat Betawi dikenal dengan kebiasaannya mengaji dan berlatih pencak silat. Pencak silat bahkan sangat kental terlihat dalam setiap kesenian Betawi, salah satunya dalam pentas lenong. Pencak silat diakui Bachtiar memiliki beragam aliran. Sejak kecil Bachtiar menekuni pencak silat bernama Cingkrik yang bisa dibilang asli milik Rawa Belong. Di Sanggar Si Pitung, Cingkrik diajarkan setiap malam Rabu dan Sabtu dan mengaji setiap malam Kamis. Walau kebanyakan pemain Lenong sanggar ini berusia anak-anak, kemampuan mereka menunjukkan seni bela diri tradisional tak bisa dianggap remeh. Hal ini tak lepas dari kedisiplinan yang diajarkan Bachtiar kepada anggota sanggarnya. Memang tidak mudah mengatur waktu latihan. Bachtiar selalu menekankan bahwa apa yang mereka lakukan adalah jihad. Jihad bukan selalu mengangkat senjata dan berperang, tapi bisa juga jihad dengan mempelajari seni budaya.





Melihat perkembangan budaya Betawi akhir-akhir ini, Bachtiar mengaku senang sekaligus sedih. Pasalnya, Bachtiar merasa program-program kesenian Betawi yang ada saat ini jauh dari pakem yang sudah ada.  Ia mendirikan sanggar ini karena ingin memberikan kontribusi bagi budaya Betawi.  Bachtiar ingin budaya Betawi jangan sekadar jadi komoditas orang-orang yang mencari keuntungan sesaat. Melalui sanggar inilah ia ingin meluruskannya. Bachtiar mengungkapkan, saat ini kesenian lenong yang ditayangkan di teve sudah diacak-acak demi kepentingan rating. Ia sebetulnya sudah menyurati pihak teve agar kembali meluruskan semuanya. Selain itu, kesenian Betawi juga sebetulnya sangat banyak. Ia berharap semuanya bisa diangkat ke permukaan. Karena banyak penggiat seni Betawi yang sekarang hanya menjadi penonton saja.

Sebagai penutup, Bachtiar membacakan pantun, “Dari Ciawi ke Cabang Bungin/ Ke Cipete lewat Semanggi/ Seni budaye Betawi kudu kite kembangin/ Kalo bukan kite, siape lagi.”

Komentar