Kawasan Kota Tua dan Pancoran Mas, Glodok, yang berlokasi di Jakarta Barat, adalah bagian penting dari sejarah Jakarta. Sejak zaman Hindia Belanda, daerah ini dikenal sebagai kawasan pecinan. Beberapa tahun terakhir, Kota Tua dengan sentralnya di halaman Museum Jakarta, menjadi salah satu tempat kunjungan wisata yang ramai, termasuk berburu kulinernya.
KARI LAM
Pencinta kuliner di Jakarta dan sekitarnya kerap berwisata menyusuri Jalan Pintu Besar Selatan II atau yang lebih dikenal sebagai Gang Gloria. Disebut Gloria karena dulu terdapat Toserba Gloria, salah satu mal tertua di Jakarta yang beberapa tahun lalu terbakar. Sejak dulu, kawasan ini sudah dikenal sebagai pusat kulinernya Kota Tua, yang sampai saat ini pun masih ramai dikunjungi. Di sepanjang jalan sempit itu, terdapat beragam makanan legendaris yang berusia sangat panjang. Salah satunya gerai makan Kari Lam, yang saat ini dikelola oleh pria bernama Saiful Alam. Saiful mengisahkan, ia ‘baru’ 20 tahun meneruskan usaha ayahnya ini, setelah sang ayah meninggal. Dulu, di tahun 70-an, Ayahnya mulai berjualan di area Gloria. Saat Saiful masih kecil, Ayahnya juga sudah berjualan kari di Medan. Dan ketika banyak warga Medan yang merantau ke Jakarta, ayah Saiful termasuk satu di antaranya. Memasuki masa remaja, Saiful sudah kerap membantu usaha orangtuanya ini, hingga ia pun paham bagaimana meracik menu kari yang rasanya istimewa. Menurut Saiful, bumbu kari Medan berbeda dengan kari Jakarta. Di Jakarta, kari memakai bumbu basah, sementara kari Medan memakai bumbu kering dan masih ditambah remah-rempah. Maka, tentu saja cita rasanya jadi berbeda.
Usaha yang dikembangkan ayahnya ini, menurut Saiful berhasil dengan baik. Banyak pelanggan datang. Apalagi lokasi berjualan dekat dengan kawasan perdagangan dan perkantoran. Saiful pun sama sekali tak mengubah racikan bumbu warisan leluhurnya. Karena menurutnya, Kari Lam kreasi ayahnya sudah punya banyak pelanggan dan rasanya sudah sangat pas. Hingga saat ini, Saiful pun masih turun tangan sendiri meracik kari untuk tamu yang datang. Saiful memberi dua pilihan rasa kepada pelanggannya, yaitu kari ayam dengan harga Rp 34.000 seporsi dan kari daging sapi seharga Rp 35.000. Pelanggan juga bisa memilih nasi atau bihun sebagai pelengkapnya. Semua bahan tadi sudah disiapkan Saiful di rumahnya yang tak begitu jauh dari kawasan Glodok sejak pagi. Dibantu tiga karyawan, Saiful mulai berjualan pukul 09.00 – 16.00. Di hari kerja, yang datang biasanya karyawan yang berkantor di sekitar Glodok. Tapi, di hari Sabtu dan Minggu, banyak pelanggan yang datang dari lokasi yang cukup jauh.
Saiful
mengakui, Kari Lam bisa makin dikenal masyarakat tak lepas dari jasa pembeli,
terutama anak-anak muda. Banyak pengunjung muda yang datang, sebelum menikmati
makanan kari, memotretnya dulu, lalu ditampilkan di media sosial. Ditambah lagi
dengan komentar karinya yang enak, dari situlah mengundang penasaran
teman-temannya yang kemudian tertarik untuk mencoba langsung. Selain itu,
banyak juga pelanggan Kari Lam yang berasal dari Medan. Rupanya mereka kangen
dengan menu khas daerah asalnya. Bahkan, ada pelanggan yang sudah makan di
tempat ini sejak umur 10 tahun. Awalnya pelanggan itu makan di warung yang
masih dikelola ayah Saiful. Kebetulan mereka pada akhirnya sama-sama pindah ke
Jakarta, dan sejak itu sampai sekarang pelanggan itu masih jadi pengunjung
setia Kari Lam.
Yang membanggakan Saiful, Kari Lam yang pada tahun 2014 sudah membuka cabang di kawasan Muara Karang ini, telah beberapa kali disambangi pemerhati kuliner Bondan Winarno. Bahkan, Kari Lam masuk dalam buku yang ditulis pakar kuliner itu. Saiful pun sampai hafal menu kesukaan Bondan Winarno, yakni kari ayam dengan favorit bagian paha ditambah dengan bihun.
GADO GADO DIREKSI
Masih di kawasan ini juga ada warung legendaris, namanya Gado Gado Direksi. Menurut Giok Lie si empunya warung, yang memberi nama Direksi adalah karyawan bank di sekitar warung. Pada tahun 70-an ketika warung gado-gado masih dikelola ibunya, setiap hari banyak karyawan bank yang makan siang di warung ini, termasuk pejabatnya. Mungkin dari situlah, pemberian nama Direksi berasal. Bumbu kacang Tuban yang langsung diulek itu rupanya membuat pelanggan ketagihan. Bumbu ini disiramkan ke aneka sayuran seperti kangkung, kol, tauge ditambah emping dan kerupuk. Bahkan, cerita Giok Lie, semasa Gus Dur menjadi presiden, beberapa kali ajudannya langsung datang ke warungnya memesan gado-gado. Bahkan pernah sampai membungkus untuk 20 porsi.
Giok Lie, anak ke-2 dari 5 bersaudara ini, memang sudah sejak remaja suka membantu ibunya. Seiring usia ibunya yang kian sepuh, sejak 1994 lalu, Giok Lie yang juga merupakan anak satu-satunya perempuan, langsung terjun melanjutkan usaha ibunya. Karena sudah terbiasa membantu orang tua, Giok Lie sama sekali tak kesulitan mengambil alih usaha. Dengan dibantu dua orang, setiap hari Giok Lie melayani pembeli yang datang. Bahkan ia sendiri yang masih mengulek bumbunya. Sebagian besar pembeli yang datang membeli untuk dibungkus. Bila dihitung perbandingannya bisa 80 persen. Mungkin karena warungnya tergolong sempit. Namun meskipun begitu, masih ada yang menikmati gado-gado di tempatnya, terutama komunitas yang ingin mencari sensasi makan di gang Gloria. Belakangan memang banyak tumbuh komunitas seperti itu. Mereka bisa datang bertiga atau berempat. Jadi boleh dibilang, pelanggan warung Gado Gado Direksi datang dari segala usia. Dari generasi sepuh sampai anak-anak muda.
Giok Lie membuka warungnya pada pukul 09.30 dan 16.30. Soal harga, Giok Lie mematok gado-gado dengan harga Rp 25.000 per porsi. Gado-gado lontong Rp 28.000, dan gado-gado nasi Rp 30.000. Bahkan banyak juga pelanggan yang datang khusus hanya memesan bumbu gado-gadonya saja. Misalnya pelanggan yang tugas di luar negeri. Ketika mereka liburan di Jakarta, sering menyempatkan waktu mampir ke warung gado-gado Giok Lie untuk membeli bumbu yang akan dibawa ke luar negeri. Untuk permintaan semacam itu, Giok Lie membuatnya menjadi bumbu padat. Ada pelanggan yang kemudian membawanya ke Amerika Serikat, Belanda, dan Hongkong. Giok Lie pun tak lupa menyampaikan bahwa bumbu gado-gado yang dibuatnya itu tidak memakai bahan pengawet, jadi diusahakan jangan terlalu lama menyimpannya. Sebenarnya, banyak yang mengajak Giok Lie bekerja sama membuka cabang. Namun, sampai sekarang Giok Lie belum mau menerima. Alasannya, ia ingin menjaga kualitas dengan memegang sendiri usahanya ini. Kalau ditangani orang lain, ia khawatir kualitasnya akan menurun, selain itu susah juga mengontrolnya.
RUJAK JUHI
Selemparan batu dari Gado Gado Direksi, ada penjual rujak juhi yang berdagang dengan gerobak. Juhi adalah sejenis cumi-cumi yang posturnya lebih besar. Salah satu penjual rujak juhi gerobak di kawasan itu adalah Endin. Setiap hari, tangan terampil Endin dengan sigap menyiapkan pesanan yang datang. Ia mengambil mi lalu menaruhnya di piring, kemudian melengkapinya dengan selada, kol, kentang, juhi, dan terakhir bahan-bahan itu diguyurkan dengan sambal kacang. Menikmati rujak juhi akan lebih nikmat lagi bila ditambah dengan emping dan kerupuk. Endin berjualan rujak juhi sejak 1994, saat harganya masih Rp 500 per porsi. Sementara sekarang harga satu porsinya sudah Rp 25.000.
Bapak lima anak yang tinggal di kawasan Jembatan Lima ini mengaku sudah sejak remaja berjualan makanan khas Betawi ini. Semula ia masih ikut orang lain berjualan, sampai kemudian mampu mandiri. Ia belajar sendiri bagaimana membuat bumbu kacang yang enak, juga bagaimana membuat juhi yang empuk. Caranya adalah, juhi dipanggang sampai matang, kemudian digepuk biar empuk. Menurut Endin, sejak dulu kawasan ini memang ramai dengan pedagang kuliner. Hingga begitu lamanya berjualan, masing-masing pedagang sudah punya pelanggan setia, termasuk ia sendiri dengan rujak juhinya. Dalam sehari Endin mampu meraih omzet Rp 1,5 juta. Khusus Sabtu-Minggu, dagangannya akan makin laris, karena pada saat itu pengunjung yang datang ke kawasan ini selalu ramai. Bahkan pembeli yang datang ke warung tak sekedar ingin makan karena lapar, tapi ada juga yang mencari nilai wisatanya. Maka tak heran, banyak yang jalan-jalan ke tempat ini sambil memotret-motret.
Hari biasa, Endin mulai berjualan pukul 10.00. Khusus hari Sabtu-Minggu ia mulai buka jam 08.00. Pada saat weekend itulah, pengunjungnya sudah ramai sejak pagi. Apalagi tak jauh dari tempatnya berjualan ada Pasar Pagi. Biasanya banyak orang yang berdatangan bahkan dari lokasi yang cukup jauh. Endin mengakui, pada hari Sabtu-Minggu bisa dipastikan ia tidak akan sempat untuk mengobrol dan tidak ada waktu untuk istirahat, karena terus sibuk melayani pembeli. Ia juga mengaku sering dapat pesanan untuk keperluan pesta. Untuk porsi satu gerobaknya senilai Rp 6 juta. Ada yang minta porsi lebih atau kurang. Semuanya tergantung keinginan pemesan. Endin merasa, usahanya ini bisa menghidupi keluarganya. Asalkan dilakukan dengan telaten, pasti akan membuahkan hasil yang baik.
ES SELENDANG MAYANG DAN ES POTONG
Bergeser ke kawasan Kota Tua, banyak pedagang yang menjajakan aneka kuliner. Untuk kelas kaki lima ada nasi pecel, soto, lontong sayur. Di kawasan ini juga ada beberapa kafe. Salah satu pedagang yang terlihat selalu sibuk melayani pembeli adalah Herman, yang menjual es selendang mayang. Ini merupakan minuman khas Betawi berupa kue lapis dengan paduan tiga warna : merah, putih, dan hijau. Selendang mayang terbuat dari sagu aren. Cara membuatnya sebenarnya gampang saja, seperti membuat hunkwe. Tapi yang sulit adalah bagaimana membuatnya menjadi tanak. Ini tentu saja butuh pengalaman. Kalau salah membuat, jadinya akan terlalu encer. Selendang mayang ini dalam penyajiannya diberikan santan, gula putih, dan dicampurkan dengan es. Sangat segar diminum saat cuaca panas.
Semula bapak tiga anak ini berjualan di kawasan Pesing, Jakarta Barat. Sekian tahun lalu, ia sesekali melewati kawasan Kota Tua. Tapi waktu itu suasananya masih sepi sekali, seperti kawasan bangunan gudang yang tidak ditempati. Baru mulai tahun 2010 kawasan Kota Tua makin ramai. Karena itulah, Herman memberanikan mangkal di tempat ini. Setiap hari ia membawa pikulannya mangkal tak jauh dari Museum Wayang. Buka sejak pukul 09.00, rata-rata dalam sehari Herman bisa menjual 100 gelas atau mangkuk dengan harga Rp 5000 per porsi. Tapi, khusus di hari Sabtu-Minggu, ia seperti mengalami masa panen. Kalau hari pada hari biasa ia hanya membawa satu tampah selendang mayang, di akhir pekan bisa menambah jadi dua tampah. Saat masa libur panjang, misalnya saat libur Lebaran, kawasan Kota Tua akan semakin ramai dengan wisatawan, termasuk pelancong dari luar kota. Banyak yang awalnya merasa aneh dengan es selendang mayang, namun setelah mencicipi banyak yang memuji kesegarannya. Herman mengaku, ia yang menyiapkan sendiri semua barang dagangannya.
Selain es selendang mayang, ada pula penjual es potong, yang juga merupakan jajanan khas Betawi. Salah satu penjual es potong di kawasan ini adalah Budi Hartono. Ia mengambil es jualannya itu dari seseorang yang dipanggilnya juragan, yang memang biasa memasok ke para pedagang keliling seperti dirinya. Pria asal Klaten ini menjual es potongnya dengan harga Rp 3000/potong. Banyak yang suka dengan es potong ini. Apalagi zaman sekarang memang sudah cukup susah mencari jenis jajanan ini. Maka, banyak yang menikmatinya untuk sekalian bernostalgia dengan masa kecil. Ada beberapa macam rasa es potong yang dijual Budi, seperti rasa kacang ijo, cokelat, dan durian. Menurut Budi, berjualan di kawasan Kota Tua hasilnya sangat lumayan. Apalagi pada saat liburan, kawasan ini sudah pasti ramai.
Komentar
Posting Komentar