Lewat usaha menjahit, Sukmariyah menyalakan api pemberdayaan masyarakat miskin. Ia mengajari, membimbing, dan membukakan peluang usaha. Kini, tak hanya konveksi, banyak lagi kegiatan yang membuat warga makin sejahtera.
Tinggal dalam
suasana kampung di Rancagede Kaler, Desa Munjul, Kacamatan Solear, Kabupaten
Tangerang, tak menghalangi hasrat Sukmariyah untuk beraktivitas. Sudah sejak
remaja ia dikenal sebagai sosok yang tak betah tinggal diam. Menurutnya,
badannya malah akan merasa sakit kalu dirinya tidak berbuat apa-apa. Sukmariyah
mengisahkan, sekian tahun silam semasa kuliah di Universitas Muhammadiyah Prof.
Dr. Hamka di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, ia juga mengajar mengaji di
sebuah TPA dekat tempat kostnya setiap Senin-Jumat malam.
Sabtu-Minggu
adalah jadwalnya pulang ke rumah di Rancagede dengan naik kereta. Bukannya beristirahat,
Sukmariyah menggunakan waktunya untuk mengajar pelajaran ekonomi di beberapa
tsanawiyah dan aliyah di sekitar desanya secara honorer sejak 1999. Per bulan,
ia hanya mendapatkan gaji Rp 18.000. Senin sampai Jumat, ia kembali ke kampus
untuk kuliah, dengan membawa bermacam-macam dagangan dari rumahnya,
sampai-sampai teman-temannya di kampus menjulukinya ‘Sinterklas’ karena tiap
kali datang ke kampus, ia selalu membawa tas plastik besar.
Persentuhannya
dengan anak-anak membuat Sukmariyah jadi paham persoalan mereka. Kenyataan
pahit yang dialami beberapa muridnya membuat ia terhenyak. Tahun 2000, salah
satu muridnya yang ketua kelas di tsanawiyah harus berhenti sekolah, hanya
karena alasan tak ada biaya untuk sekolah. Kala itu, pendidikan memang begitu
mahal untuk masyarakat desanya. Selain Sukmariyah, hanya ada satu orang lagi
yang bisa sekolah sampai SMA. Memang banyak warga miskin di desanya, dan juga
di sekitar tempat tinggalnya. Warga kebanyakan kerja serabutan. Lahan untuk
bertani tidak ada, mencari pekerjaan susah, pendidikan rendah, kemudian
ditambah lagi dengan banyaknya kasus pencurian di kampungnya.
Beberapa kali
bertemu kasus siswa putus sekolah, wanita bergelar sarjana ekonomi jurusan
manajemen ini, berpikir bahwa hal itu tidak bisa didiamkan. Merasa terpanggil,
tak hanya mendidik di sekolah, ia juga mencari cara agar pendapatan warga bisa
meningkat. Ia berpikir, bila kesejahteraan warga meningkat, tak ada lagi anak
putus sekolah. Saat itu, ia hanya bisa menjahit, hasil belajar pada salah satu
warga yang menjadi penjahit. Selama tiga bulan, tiap siang sepulang mengajar ia
langsung belajar menjahit. Malam setelah kursus, ia ikut mengambil jahitan
konveksi, agar semakin lancar menjahit. Dan setelah beberapa waktu, Sukmariyah
pun mulai mahir membuat celana berkaret, gamis dan sebagainya dengan menggunakan
mesin jahit milik neneknya.
Pada tahun
2000, Sukmariyah mendirikan usaha konveksi yang mengerjakan pembuatan celana karet,
gamis, kaus, sampai seragam sekolah. Tahun 2003, adik, keponakan, sepupu, tetangga,
dam teman-temannya minta diajari menjahit. Di sisi lain, usaha konveksi
perempuan yang lulus kuliah tahun 2003 ini terus membesar, hingga akhirnya
sekitar 20 ibu-ibu di lingkungannya tertarik untuk belajar menjahit. Remaja
putus sekolah pun ia ajak. Pada 2010 ibu tiga anak ini membuka kursus gratis
untuk mereka. Karena bila ada warga yang bisa menjahit baju, akan mudah diterima
bekerja di pabrik konveksi, tanpa perlu keahlian membuat pola.
Tahun 2007, Sukmariyah
fokus pada usaha konveksi. Selain rok, ia juga membuat kaus, celana karet,
mukena, dan seragam sekolah. Kini, ada sekitar 40 sekolah di Kabupaten
Tangerang yang ia pasok. Mendengar kiprahnya, Dinas Sosial Kabupaten Tangerang
memberikan bantuan mesin jahit untuk warga. Meski sibuk mengurus usaha,
Sukmariyah masih meluangkan waktu mengajar menjahit dengan empat mesin jahit bantuan
dari Dinas Sosial yang ia letakkan di rumahnya yang lain. Namun, karena makin
sibuk, ia akhirnya dibantu empat pegawainya, termasuk warga yang sudah pandai
untuk mengajar. Makin lama, permintaan mengajar menjahit datang dari berbagai pihak,
termasuk para santri di pesantren. Semuanya diberikan secara gratis. Yang sudah
bisa menjahit lalu ia minta untuk mengajar di lingkungannya masing-masing.
Dari situlah,
banyak warga di desanya yang akhirnya bekerja di bidang konveksi. Mereka tak
hanya bisa menjahit, ada pula yang bertugas memasang kancing, menggulung
benang, packing, dan sebagainya.
Biasanya, ia yang memotong kain berdasarkan pola, sehingga warga tinggal
menjahit saja. Jadi prosesnya seperti rekrutmen. Ia membagi-bagi order ke warga
yang mayoritas ibu-ibu rumah tanga sesuai keahliannya. Dari situ, mereka pun
sama-sama mendapat keuntungan. Sukmariyah pun tak lupa juga mengulurkan tangan
bagi warga yang tak punya mesin jahit. Untuk setiap rumah yang ia bina,
biasanya diberikan dua mesin jahit. Mesin itu lalu mereka cicil dengan potongan
upah dari order yang diterima. Ia juga memperbolehkan bila ada warga yang
mendapat order dari luar. Kini usaha konveksi Sukmariyah pun sudah sering
diminta mengerjakan pesanan dari berbagai kota di Indonesia.
Jaringan yang
dibuat Sukmariyah pun makin luas. Bila ada warga tak mampu atau anak putus
sekolah, Sukmariyah cepat turun tangan. Ia lalu mengirimkan warga tak mampu itu
ke berbagai lembaga sosial untuk mendapatkan kursus yang diinginkan.
Keterampilan warga pun kian lengkap. Tak lagi sekedar bisa menjahit baju, warga
juga sudah bisa membuat tas dan sepatu. Mereka pun mendapatkan penghasilan
secara kontinyu. Hasilnya, sekarang semua anak-anak di kampungnya sudah
mengenyam pendidikan di sekolah. Lingkungan juga aman dari pencurian sejak
masyarakat punya penghasilan dari hasil usaha rumahan. Penghasilan warga sudah
lumayan, hingga bisa membangun mushola secara swadaya. Satu keluarga yang
dibinanya, bahkan ada yang berpenghasilan
Rp 500.000 per minggu.
Langkah
Sukmariyah semakin panjang. Pemberdayaan yang ia lakukan berkembang tak hanya
di bidang jahit, melainkan juga budi daya lele, ayam petelur, bebek petelur,
dan lain-lain. Untuk bidang ini, yang terjun adalah para kepala keluarga.
Bidang budi daya lele dibina langsung oleh suami Sukmariyah, Riyadno, SE, yang
memang menjadi konsultan pertanian untuk
ratusan desa di Kabupaten Tangerang bersama timnya. Bidang budi daya bebek dan
ayam dibina oleh orang yang berbeda. Ada pula usaha keripik pisang, dan
sebagainya. Seiring waktu, masyarakat yang ikut bergabung makin banyak.
Sukmariyah sendiri kini mempunyai 5 grup yang mengerjakan pesanan konveksinya,
dengan anggota mencapai 8 orang per grup.
Semua usaha
itu dibagi menjadi kelompok usaha bersama (KuBe), berdasarkan spesialisasinya.
Pada tahun 2010, mereka lalu membentuk komunitas Gerakan Sukses, singkatan dari
Sahabat Usaha Kecil Segera Sejahtera. Tiap bulan mereka berkumpul untuk berbagi
permasalahan dan mencari solusinya. Sukmariyah tak menyangka makin banyak yang
melirik komunitasnya ini. Komunitas dari berbagai wilayah sekitar juga ikut
bergabung dengan potensi daerah masing-masing. Di daerah Munjul yang memiliki
potensi jahit, maka digenjot untuk terlibat dalam usaha konveksi. Lalu di
daerah Tapos lebih banyak usaha lele. Kelak ia berharap bisa one village one product (satu desa satu
produk).
Kini, ada 800
orang dari 29 kecamatan di Kabupaten Tangerang yang bergabung di komunitas ini.
Tak sedikit pihak yang membantu, termasuk pemerintah, pengusaha, dan perguruan
tinggi. Bentuknya tak selalu berupa uang, melainkan juga pelatihan, pemberian
pesanan, hingga menjadi ‘bapak angkat’ dan sebagainya. Sukmariyah sendiri tak
sungkan berkeliling mencari ‘bapak angkat’ yang sudah punya usaha di bidang
yang sama, untuk menyalurkan hasil produksi atau memberikan order. Karena akan
percuma saja bila warga tidak diberikan order atau hasil produksinya tidak ada
yang menampung. Oleh karena itulah, ia sengaja menyiapkannya dari hulu ke
hilir.
Langkah
Sukmariyah makin lengkap. Bersama 19 rekannya ia mendirikan koperasi syariah
Baitul Maal Wa Tamwil Mitra Mandiri Sejahtera tahun 2010. Tujuannya, untuk
mewadahi anggota kelompok yang membutuhkan modal usaha. Bila ada warga yang
ingin punya mesin jahit sendiri, koperasi bisa membelikannya. Lalu cicilannya
dipotong dari upah. Misal, upah per minggu Rp 600.000, boleh dicicil Rp 50.000,
jadi cicilan per bulan Rp 200.000. Dikatakan Sukmariyah, koperasi memang belum
bisa memberikan pinjaman dalam jumlah besar, hanya sampai batas Rp 500.000
saja. Bila ada anggota yang membutuhkan pinjaman di atas itu bisa mendatangi
bank yang juga sudah bekerja sama dengan koperasinya. Kini anggota koperasinya
sudah berjumlah 200 orang yang setiap bulan rutin membayar iuran.
Sukmariyah
berencana, nantinya seluruh anggota komunitas akan dikumpulkan dan diimbau
untuk menjadi anggota koperasi. Selain itu, pihaknya juga akan mengembangkan
pemasaran bagi UKM di bawah komunitasnya. Kiprah pemberdayaan yang dilakukan
Sukmariyah pun telah terdengar sampai pemerintah pusat. Ia sempat diundang oleh
Sekretariat Kabinet menjadi narasumber dalam Focus Discussion Group (FDG) untuk program pengentasan kemiskinan.
Tak hanya itu, ia juga sering diundang menjadi pembicara di berbagai forum.
Antara lain pengajian berskala nasional dan acara pertemuan seluruh kepala
dinas sosial tingkat provinsi seluruh daerah di Indonesia. Banyak pula yang
melakukan penelitian di tempatnya untuk tesis.
Sejumlah
penghargaan pun berhasil Sukmariyah raih. Di antaranya juara favorit Danamon
Social Entrepreneur Awards 2013. Ia juga meraih penghargaan sebagai pelopor
pengentasan fakir miskin dari Bupati Tangerang dan KuBe Terbaik se-provinsi.
Beruntung, Sukmariyah mempunyai suami yang mendukung kegiatannya. Karena
kegiatan yang dilakukannya ini memang sangat butuh pengertian yang luar biasa
dari keluarga, karena ia tidak mendapatkan gaji. Meski langkahnya sudah
sedemikian jauh dalam memberdayakan masyarakat, Sukmariyah ingin terus bisa
menyalakan lilin yang cahayanya mampu menerangi masyarakat.
Komentar
Posting Komentar