Sosok pahlawan bisa ditemui di mana saja, bahkan di tempat yang terpinggirkan sekalipun. Tanpa sorotan lampu dan pemberitaan di mana-mana, Muhammad Ali alias Ali Saga patut disebut sebagai pahlawan bagi para penyandang cacat yang kurang mampu. Pasalnya, keahlian ayah tiga anak ini dalam membuat kaki, tangan dan jari palsu dapat memberi mereka harapan dan semangat hidup baru.
Bila menyebut
Rumah Sakit Kusta Sitanala (RSK Sitanala) yang terletak di kawasan Tangerang,
Banten, tak semua orang mengenalnya. Walau pada medio November 1989 silam,
tokoh dunia Lady Diana pernah mengunjunginya, rumah sakit ini masih jauh dari
perhatian masyarakat. Tak heran, ketika mendengar kata kusta, yang masih
tersirat dalam benak adalah penyakit menular yang menakutkan. Akibatnya,
sebagian besar para mantan dan penderita penyakit ini menjadi sosok yang paling
ditakuti. Tak jarang pula, warga tidak lagi mau menerima mantan penderita kusta
untuk kembali hidup berdampingan, walau mereka sudah dinyatakan sembuh oleh
dokter.
Ali adalah salah
satu mantan penderita kusta yang kini tinggal tidak jauh dari RSK Sitanala.
Menurutnya, sebenarnya ada dua penyebab mengapa para mantan penderita kusta ini
tidak dapat diterima masyarakat kembali. Pertama, masyarakat takut tertular
melihat penampilan para mantan penderita kusta. Tak jarang mereka kehilangan
jari, tangan, atau kaki. Kedua, para penderita kusta memang tidak bisa tinggal
jauh dari rumah sakitnya, agar bisa mendapatkan perawatan yang maksimal.
Penderita kusta yang dirawat di RSK Sitanala sendiri datang dari seluruh
Indonesia. Karena kurangnya perhatian masyarakat maupun pemerintah, para penderita
dan mantan penderita kusta harus berjuang seorang diri demi menghidupi dirinya
dan keluarga. Memang, ada beberapa yayasan atau organisasi yang kerap datang
untuk memberikan bantuan. Namun jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Bahkan,
diakui Ali, ada pula yang datang ke RSK Sitanala yang justru lebih terkesan
memanfaatkan. Saat datang mereka membawa wartawan, dan minta diliput. Tapi
setelah wartawan itu pergi, tidak ada kelanjutannya lagi.
Dikisahkan Ali,
ia terkena penyakit kusta sejak usia 5 tahun. Karena itu, ia tidak dapat
melanjutkan pendidikannya. Karena sering diolok-olok temannya, ia bahkan harus
pindah sekolah sampai 4 kali hanya untuk sampai kelas 4 SD saja. Ali sendiri
tidak mengingat bagaimana awalnya ia bisa terkena penyakit itu. Hanya saja
kulit sekitar wajah, tangan, dan kakinya memerah. Ali bercerita, dulu di kampungnya
daerah Kemayoran, Jakarta Pusat, ia paling sering menang kala bermain cubit-cubitan
bersama teman kecilnya, karena tidak pernah merasa sakit saat dicubit. Ternyata
kusta membuat kulitnya jadi mati rasa. Menurut anak bungsu dari tiga bersaudara
ini, di antara keluarganya tidak ada yang menderita kusta. Itu sebabnya, tak
ada yang mengenali gejalanya. Awalnya, penyakit itu disangka panu. Tapi semakin
lama semakin lebar. Barulah di tahun 1984 ia mendapat kesempatan berobat di
sebuah rumah sakit di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Ternyata di situlah ia
dinyatakan menderita kusta dan mulai dirawat di RSK Sitanala tahun 1986.
Selama
menjalani perawatan, Ali meneruskan sekolahnya sampai tamat SMP. Tahun 1988,
Ali dinyatakan sembuh total. Beruntung tidak seperti penderita kusta lain, ia
tidak mengalami cacat fisik buntung. Menurutnya, pasien yang cacat fisik
seperti itu karena kulitnya sudah mati rasa. Contohnya mereka tidak tahu kalau
kaki mereka terkena paku. Sampai kemudian infeksi parah dan kakinya harus
diamputasi. Namun meski sudah sembuh, Ali enggan meninggalkan Sitanala. Ia
merasa sudah nyaman tinggal di kawasan RSK Sitanala. Banyak juga penderita
mantan kusta yang tinggal di situ. Mereka bersosialisasi dengan nyaman dan
baik. Bahkan selanjutnya ada yang sampai berumah tangga dan beranak pinak,
sehingga daerah di sekitar RSK Sitanala semakin lama semakin ramai.
Dalam
bersosialisasi, Ali banyak belajar mengenai hidup dari teman-teman di sekitar
tempat tinggalnya. Satu hal penting, ia harus punya keahlian untuk bertahan
hidup. Sebagai mantan penderita kusta mereka memang susah mendapat pekerjaan.
Apalagi pendidikannya juga hanya tamat SMP saja. Ali yang kebetulan memiliki
bakat dibidang seni patung dan lukis pun mulai rajin mengikuti beragam kursus
dan magang kepada beberapa seniman. Ia juga pernah menjadi pelukis potret di
pinggir jalan. Dari situlah, pergaulannya semakin luas dan kesempatan belajar
di bidang lain juga terbuka. Sampai kemudian ia diterima bekerja di beberapa
galeri, hingga kemudian bisa membuat galeri seni sendiri. Sayang, di tahun
1994, usaha galeri seninya lesu, bahkan sempat membuatnya depresi. Kemudian ia
banting setir dengan membuat lukisan poster untuk bioskop.
Bagai sebuah
roda yang berputar, kehidupan perekonomian Ali pun berubah menjadi lebih baik.
Sampai tahun 1998, ia diajak seorang temannya untuk masuk ke sebuah perusahaan advertising. Lalu tahun 2003, bersama
kawan-kawannya ia sudah bisa membuka perusahaan advertising sendiri. Namun ketika sedang bagus-bagusnya
perekonomian, pada bulan Agustus 2005 ia mengalami kecelakaan sepeda motor dan
harus masuk rumah sakit dalam waktu lama. Akibat kecelakaan itu pula, Ali harus
kembali dirawat di RSK Sitanala. Saat itu ia tinggal satu kamar dengan seorang
pasien perempuan yang harus menjalani amputasi pada kakinya. Setiap malam,
menurut Ali, ibu yang bernama Cumi itu terus menangis. Dia sedih karena
anak-anaknya seakan membuang dirinya dan meninggalkannya begitu saja di rumah
sakit.
Kepada Ali,
ibu itu bercerita harus diamputasi akibat terkena penyakit bernama Buerger.
Menurut ibu itu pula, sempat ada anaknya yang menjanjikan akan membelikan kaki
palsu. Tapi sampai 50 hari dirawat usai amputasi, anak-anaknya tidak ada yang
datang membesuk atau membelikan kaki palsu. Padahal dokter sudah membolehkannya
pulang. Saat itu, Ali bertanya-tanya, berapa sebenarnya harga kaki palsu sampai
si ibu itu ditinggalkan anaknya. Setelah ia mencari tahu, ternyata harga kaki
palsu di atas dengkul itu mencapai Rp 27 juta lebih. Dari situlah, tiba-tiba
Ali merasa tertantang. Mengapa diirnya yang bisa membuat patung tapi tidak bisa
membuat kaki palsu ? Ia bertekad, harus yakin pasti bisa membuat kaki palsu
yang bagus dan murah.
Setelah keluar
dari rumah sakit, Ali memenuhi janjinya. Ia mencari teman-temannya yang memakai
kaki palsu. Ia perhatikan, ternyata bahan pembuatnya sama seperti membuat
manekin. Ali pun langsung mulai mencoba membuat kaki palsu. Karena dasarnya
memang seniman, bentuk kaki palsu buatannya lebih bagus bahkan nampak seperti
asli. Namun menurut temannya, saat itu masih kurang nyaman untuk dipakai. Pria
berdarah Betawi ini pun semakin tertantang untuk membuat kaki palsu. Demi membiayai
‘penelitiannya’ ini, Ali memutuskan untuk menjual saham miliknya di perusahaan advertising yang sempat ia dirikan.
Memang jumlahnya tidak begitu besar, hanya sekitar Rp 30 juta. Ia lalu mulai
menerima servis kaki palsu, sekalian belajar bagaimana cara membuatnya. Setelah
itu ia mencari 10 orang pengguna kaki palsu untuk ia buatkan gratis.
Demi menghidupi
keluarganya, Ali bercerita, saat itu istrinya sampai harus berjualan gado-gado
untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Beruntung Ali memiliki sosok istri yang
tegar, pengertian, dan tidak banyak menuntut. Saat itu Ali memang tidak
mempunyai pemasukan sama sekali. Semua kaki palsu yang ia buat diberikannya gratis
pada yang membutuhkan, sementara ia juga harus membeli bahan dan peralatannya.
Awalnya Ali juga tidak ada niat untuk menjadikan keahliannya membuat kaki palsu
ini menjadi sebuah usaha atau bisnis. Ia hanya ingin sekedar bisa membuat saja.
Setelah itu, ia kembali bekerja menjadi
karyawan di perusahaan advertising
yang didirikannya. Saat ia sedang bekerja, ada saja orang yang datang ke
rumahnya minta dibuatkan kaki palsu. Ali pun tak bisa menolak dan hanya mematok
harga sekedar untuk membeli bahan saja. Dan kalau ada sisa lebih bahan, ia selalu
buatkan kaki palsu yang akan diberikan gratis untuk mereka yang membutuhkan.
Walau tak
menghasilkan uang, tapi Ali menemukan kebahagiaan bisa membantu mereka yang
membutuhkan kaki palsu. Ali bercerita pengalamannya yang pernah dapat panggilan
untuk membuat kaki palsu. Ternyata orang yang memesan itu tinggal di gubuk
kecil dan sudah tidak bisa beraktivitas. Ali lalu membuatkan kaki palsu
untuknya secara gratis. Dan setelah mendapatkan kaki palsu, orang itu hingga
sekarang sudah bisa berjualan tahu keliling dengan menggunakan sepeda motor.
Mengetahui hal itu, tentu siapa yang tidak bahagia ? yang tadinya tidak bisa
berbuat apa-apa, sekarang sudah aktif.
Seiring
banyaknya pesanan kaki palsu, Ali memutuskan untuk berhenti bekerja di
perusahaan advertising. Memang secara
finansial pendapatannya tidak tentu hasilnya. Tapi ia merasa lebih puas dapat
membantu banyak orang. Bila dibandingkan penghasilannya bekerja di perusahaan advertising, hasil kerja membuat kaki
palsu memang tidak ada apa-apanya. Kalau pun ada keuntungan, ia selalu
membagikannya kepada yang membutuhkan. Bila ada yang datang ke tempatnya minta
dibuatkan kaki palsu tapi tidak memiliki uang, Ali pun tak bisa menolak dan
bersedia membantunya. Baginya, yang memesan kaki palsu padanya, mau bayar atau
tidak membayar tetap ia syukuri. Hanya saja Ali memang harus melihat dahulu
apakah ada bahannya atau tidak. Kalau tidak ada bahannya, terpaksa harus tunggu
sampai ada. Biasanya, ketika ia mendapat pesanan, ia selalu sisihkan bahan
untuk mereka yang tidak mampu membayar. Ali percaya, bahwa yang namanya rezeki
itu pasti sudah diatur Tuhan.
Ali berharap
tempat pembuatan kaki, tangan dan jari palsu buatannya ini akan terus tetap
ada. Kalau saja sampai tutup, maka bagaimana nanti nasibnya kalau tiba-tiba ada
orang yang datang minta dibuatkan ? Kaki, tangan, dan jari palsu tidak
dibutuhkan oleh orang-orang saat mereka sehat, tapi dibutuhkan ketika terkena
musibah. Kaki, tangan, dan jari yang ia buat ini tidak kalah dengan produk
impor dengan harga yang jauh lebih murah. Ali juga berharap semua yang ia
lakukan ini dapat memperbaiki hidup orang cacat, sekaligus memberdayakan para
mantan penderita kusta.
Ali menghimbau
agar masyarakat tidak takut bergaul dengan mantan penderita kusta. Kusta memang
penyakit menular, tetapi sangat sulit ditularkan, karena tidak semua orang bisa
tertular. Ali membuktikan pada anak-anak dari orangtua yang penderita kusta di
sekitar tempat tinggalnya. Mereka tidak ada yang tertular dan tumbuh dengan
sehat, bahkan sebagian sudah menjadi sarjana. Dari sebuah tempat yang relatif
terisolasi, Ali pun akan terus semangat membuat kaki palsu, demi memberi harapan
baru bagi mereka yang menderita cacat fisik. Ia pun juga menebar semangat untuk
terus berbagi.
Komentar
Posting Komentar