REGIONAL TOURISM : GELIAT KAMPUNG BATIK DI PALBATU, JAKARTA SELATAN




Di kota metropolitan Jakarta, ternyata tumbuh sebuah perkampungan batik, yang dipelopori oleh beberapa pemuda. Hasilnya, sebuah kampung yang menjanjikan suasana kreatif.

Suatu hari di Rumah Batik Palbatu yang beralamat di Jalan Palbatu IV, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan, nampak seorang ibu yang sedang asyik membatik. Tangannya memainkan canting dan menggoreskannya ke kain putih. Ia membuat motif topeng Betawi dan kembang api, kedua corak yang diciptakan untuk menandai kekhasan batik Palbatu. Rumah Batik adalah tempat warga melakukan kegiatan untuk mengumandangkan batik di daerah itu. Selain menjadi tempat warga belajar membatik, di sana juga sekaligus menjadi gerai yang memajang batik karya warga Palbatu. Terlihat beragam kain batik dengan berbagai warna dan corak. Selain itu, juga dipajang batik dari berbagai daerah di Nusantara.


Aktivitas membatik di tengah metropolitan Jakarta ini terselenggara berkat gagasan Budi Dwi Haryanto dan dua temannya. Budi menceritakan, di tahun 2011 silam, dua temannya, Bimo dan Iwan mengajaknya untuk menggagas membuat kampung batik di Palbatu. Sebelumnya, tidak pernah ada aktivitas membatik di daerah itu. Mereka membayangkan, kelak nantinya kampung batik Palbatu bisa seperti kampung batik Laweyan di Solo. Budi yang sebelumnya membuka usaha pembuatan kartu undangan dengan ciri khas motif tradisional ini pun langsung tertarik. Kebetulan, di antara mereka bertiga, hanya dirinya yang warga asli Palbatu. Alasan memilih Palbatu karena suasana Palbatu pada saat itu masih sepi, seperti di perkampungan. Kebetulan, Budi sendiri pernah ke Laweyan, Solo. Dan ia bisa membayangkan, alangkah bagusnya bila Palbatu bisa seperti Laweyan. Menurut Budi, Laweyan adalah kampung yang eksotik, dengan adanya unsur tradisi dan kolonial di sana.

Setelah gagasan itu muncul, mereka pun segera memulainya. Langkah awal adalah dengan mengungkapkan ide ini kepada ketua lingkungan, mulai dari RT sampai kelurahan. Budi dan teman-temannya menggunakan momentum rencana kedatangan istri gubernur Jakarta waktu itu, Fauzi Bowo, pada acara PKK yang digelar di Kelurahan Menteng Dalam. Ia berpikir, untuk kegiatan tersebut pasti akan sering diadakan rapat di kantor kelurahan. Lalu, Budi pun datang secara baik-baik ke sana untuk mengungkapkan gagasannya, perihal ingin menjadikan Palbatu sebagai kampung batik. Ide Budi dan kawan-kawannya saat itu sempat menimbulkan pro dan kontra. Ada yang setuju, tapi banyak pula yang menolak. Yang keberatan karena mereka khawatir gagasan kampung batik itu nantinya akan menghancurkan tempat tinggal mereka dengan munculnya pencemaran limbah. Lalu ada juga yang keberatan karena berpikir jika kelak kampung mereka didatangi banyak tamu, akan mengganggu ketenangan lingkungan.

Budi Dwi Haryanto
Ada juga yang menganggap Budi dan teman-temannya adalah anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia sempat mendengar, sebelumnya pernah ada LSM yang datang ke sana untuk memanfaatkan masyarakat pada kegiatan proyek mereka. Intinya, warga keberatan karena khawatir suasana tempat tinggal mereka nantinya bakal tidak nyaman. Hal itu sempat membuat Budi terpukul karena belum apa-apa, gagasannya sudah mendapat penolakan. Namun, meski begitu ia tidak mau menyerah. Ia terus berusaha meyakinkan warga bahwa keberadaan kampung batik nantinya akan membantu para pengrajin batik. Budi dan teman-temannya juga ingin mengedukasi masyarakat dan kaum muda tentang batik. Misalnya saja, selama ini orang mendengar tentang batik Betawi, tapi tidak pernah tahu wujudnya. Meski tidak bermimpi Palbatu bisa menjadi kampung batik seperti di Laweyan, setidaknya akan banyak efek positif dengan adanya kampung batik di daerah Palbatu.

Akhirnya Budi berhasil meyakinkan warga. Dari hasil diskusi dengan teman-temannya, ide mengerucut untuk membuah sebuah event dengan nama Kampung Batik Palbatu. Dalam event ini, mereka ingin mengundang para pengrajin batik dari berbagai daerah. Para pengrajin nantinya bisa memamerkan karyanya, sekaligus masyarakat sekitar bisa langsung belajar. Selain itu mereka juga berencana membuat pelatihan batik untuk warga. Akan tetapi, ide besar ini akhirnya terbentur dengan anggaran. Oleh karena itu, akhirnya mereka membuat proposal dan menyodorkannya ke beberapa pengusaha. Tidak tanggung-tangung, jumlah proposal yang disebar saat itu mencapai 100 proposal. Namun sayangnya tidak ada satupun yang memberikan jawaban. Mereka nyaris patah semangat.


Budi dan teman-temannya berusaha saling menguatkan hati. Mereka pun kembali bersemangat. Secara bergerilya mereka terus berusaha mencari sponsor. Berdasarkan hitungan mereka, setidaknya mereka memerlukan dana sekitar Rp 50 juta, untuk sekedar membuat sebuah acara yang bisa berjalan. Niat mereka hanyalah sekedar berbuat sesuatu yang dampak positifnya besar bagi lingkungan. Berkat gerilya tanpa kenal lelah, akhirnya terkumpul dana yang diperlukan. Mereka lalu memberi nama kegiatannya Festival Kampung Batik. Acara itu terselenggara tanggal 20-21 Mei 2011. Selama dua hari, acara diisi dengan pagelaran seni Betawi, pameran dan penjualan batik, serta kegiatan lainnya. Mereka menyelenggarakannya di sepanjang jalan Palbatu.



Kala itu, Budi berhasil mengundang 18 pengrajin batik dari berbagai daerah. Selain itu ia dan teman-temannya juga berhasil mengajak warga untuk berpartisipasi. Yang mereka undang adalah pengrajin kecil, bukan pengusaha besar. Para pengrajin itu mereka tampilkan di rumah warga. Misalnya saja teras rumah yang disulap menjadi show room. Ada pula yang menggelar batik di ruang tamu, juga memamerkan produknya di garasi rumah. Intinya, mereka menginginkan para pengrajin itu bisa memamerkan produknya. Suasana Palbatu pun menjadi meriah. Pengunjung yang datang membludak. Banyak warga yang datang antusias mengikuti pameran. Apalagi Budi dan temannya juga membuat gebrakan monumental yang kemudian tercatat di MURI. Yaitu, mereka mengajak warga untuk membatik di kain sepanjang 133,9 meter. Di situ warga bebas membuat corak batik apa saja. Acaranya memang sangat ramai sekali. Meskipun mereka sudah menyiapkan kantong-kantong parkir, sempat ada warga yang komplain karena akses jalan tertutup dan mereka tidak bisa lewat.

Langkah awal sudah diayunkan. Tahun berikutnya, Budi kembali membuat event besar yang melibatkan warga sekitar. Ia dan kawan-kawannya ingin mengajak warga di lingkungan Palbatu untuk semakin mengenal batik. Mereka membuat sanggar batik yang lokasinya berada di sebuah gang kecil. Kebetulan, di sana ada lahan kosong yang bisa dimanfaatkan. Warga pun terlihat sangat antusias. Di sanalah, warga bisa belajar membatik, mulai dari anak-anak sampai ibu-ibu. Setelah warga mengenal batik, Budi dan kawannya membuat acara Jakarta Batik Carnival. Budi melihat, banyak kota lain yang sanggup membuat acara seperti itu. Lalu kenapa mereka tidak ? Ternyata, ketika ia menawarkan gagasan acara itu ke berbagai institusi yang memiliki program CSR, tetap saja tidak ada yang berminat untuk mensponsori. Tapi baginya itu bukanlah penghalang, dan ia tetap berusaha agar acara tersebut bisa berjalan.



Sampai akhirnya, Budi berhasil menggandeng sponsor sebuah pabrik cat. Ia juga berhasil mengajak masyarakat untuk mengecat lingkungannya dengan corak batik. Tembok-tembok di kampung, termasuk rumah warga mendapat sentuhan baru dengan pengecatan motif batik. Suasana kampung pun jadi benar-benar semarak. Dengan demikian, mereka terkesan punya kontribusi besar terhadap lingkungan. Seperti tahun sebelumnya, mereka juga membuat acara fashion show, dan masih melibatkan para pengrajin. Setelah itu sanggar batik yang mereka dirikan makin banyak peminatnya. Semula mereka mengundang pengajar batik dari luar, sampai akhinya bisa dilepas sendiri.  Banyak anggota ibu-ibu PKK yang semakin terampil membatik. Sekarang, Rumah Batik juga menyelenggarakan kursus, yang ternyata juga banyak peminatnya. Kalau dihitung-hitung, sudah ribuan orang belajar membatik di tempat ini. Sering pula ibu-ibu pengrajin yang ada di tempat ini diundang ke berbagai tempat. Mulai mengajar di sekolah-sekolah, sampai kelompok ibu-ibu. Dari sini mereka pun bisa mendapat penghasilan tambahan.

Selain itu para pengrajin juga mencoba membuat motif batik khas Palbatu. Maka terciptalah corak topeng Betawi dan kembang api. Mereka memang ingin mencoba mencari identitas sendiri. Bahkan cara membatik pun mereka sesuaikan dengan kondisi setempat. Misalnya saja cara pewarnaan. Mereka tidak mungkin membuat dengan tehnik mencelup seperti yang ada di sentra batik di Jawa. Sebab, tehnik celup menimbulkan limbah. Mereka tidak tahu mau dibuang kemana air limbah itu. Dari proses belajar dengan para pengrajin di berbagai daerah, akhirnya tehnik pewarnaan di sini adalah dengan tehnik kuas atau semacam mengecat. Jadi, kain putih itu mereka warnai seperti mengecat. Dengan demikian, tidak menimbulkan limbah. Mereka pun bisa terhindar dari protres warga.

Diakui Budi, dilihat dari skala produksi, hasil batik Palbatu memang belum begitu besar. Namun setidaknya sekarang sudah tumbuh 5 gerai yang digerakkan ibu-ibu setempat. Salah satunya ada yang sudah besar, yakni Gerai Batik Prasadi, yang dimiliki Bu Sri. Sebelumnya, beliau memang sudah memiliki usaha distribusi batik dari berbagai daerah, misalnya saja menjual batik Pekalongan dan Cirebon. Produk batik yang dijual, selain batik Palbatu adalah batik produksi pengrajin dari berbagai daerah. Saat ini, setidaknya kampung batik Palbatu sudah menggeliat dan Budi berharap kedepannya batik Palbatu semakin berkembang.


CERITA PARA WARGA


Salah satu warga asli Palbatu yang sudah pintar membatik adalah Yuyun, yang sekarang juga menjadi koordinator Rumah Batik. Yuyun mengisahkan, dulu tak ada satu pun warga yang bisa membatik, termasuk dirinya. Namun ketika ada kegiatan membatik di Palbatu, ia langsung tertarik untuk mencoba belajar, dan ternyata sangat menyenangkan. Awalnya, Yuyun hanya membatik di sapu tangan, membuat syal, sampai akhirnya bisa membatik di satu helain kain utuh. Salah satu pengurus PKK tingkat RW ini sudah mulai belajar membatik tahun 2011. Awalnya Yuyun juga menggerakkan 45 ibu-ibu anggota PKK untuk ikut belajar membatik. Namun, dari proses seleksi alam, akhirnya hanya ada 10 ibu-ibu yang bertahan, bahkan berkembang menggeluti usaha batik seperti dirinya.

Dikisahkan Yuyun, awalnya sang pengajar adalah pengrajin dari luar daerah. Tapi setelah semuanya bisa membatik sendiri, mereka pun dilepas. Sekarang, Yuyun bahkan sudah menjadi pengajar. Ia mempersilahkan siapa saja yang mau belajar membatik bisa datang ke Rumah Batik. Untuk warga sekitar tidak dipungut biaya. Berawal dari ibu rumah tangga, kini Yuyun sudah menjadi pengrajin batik. Sering juga ia diundang mengajar ke berbagai tempat. Yuyun juga sudah mulai memproduksi batik. Hasil karyanya dipajang di Rumah Batik. Tiap hari ia mencoba terus memproduksi. Yuyun bersyukur, saat ini ia sudah bisa mendapat tambahan penghasilan. Ke depannya ia ingin lebih konsentrasi dan tekun lagi. Bila ada pesanan, ia pun bisa mengerahkan ibu-ibu PKK untuk membuatnya.

Seperti Yuyun, warga lainnya Erna, juga sudah mulai pandai membatik. Awalnya Erna sudah berusaha di bidang batik. Sejak tahun 2000 ia berjualan batik dengan mengambilnya dari berbagai daerah. Erna menjual kain dan busana siap pakai. Dan ketika ada Rumah Batik, ia pun tertarik ikut. Erna berpikir, rasanya aneh kalau ia yang berjualan batik tapi tidak tahu cara membuatnya. Tentu saja akan lebih menyenangkan kalau berjualan sekaligus paham soal batik. Sebelumnya, Erna mengaku ia menjual batik mulai dari harga ratusan ribu sampai jutaan rupiah untuk jenis batik tulis. Tapi ia tidak paham, mengapa harga batik bisa semahal itu. Bahkan, ketika ditanyakan istilah batik sarimbit saja, ia tidak tahu. Setelah belajar membatik, barulah ia tahu, harga batik tulis mahal karena proses pengerjaannya memang rumit dan kainnya pun harus yang berkualitas. Erna juga jadi mengerti bahwa batik sarimbit adalah batik seragam yang dipakai oleh satu keluarga. 


Sekarang Erna sudah mahir membatik. Bahkan ia sudah mencoba membuat desain sendiri dan memproduksi batik siap pakai. Ia bekerja sama dengan penjahit. Meski ia masih menjual batik dari berbagai daerah, tapi sekarang ia melengkapinya dengan karya sendiri. Ternyata, respons pelanggan dengan batik karyanya cukup bagus. Batik kreasinya pun ada peminatnya.

Erna yang juga membuat batik untuk limited edition ini, mengakui pemasarannya masih terbatas. Ia hanya mempromosikan batiknya lewat situs online. Selain itu ia juga bekerja sama dengan rekannya mengikuti pameran di berbagai acara. Ciri khas busana batik yang ia buat adalah berukuran besar. Dari pengalamannya selama ini, ternyata pakaian dengan ukuran besar banyak juga diminati masyarakat. Karena Erna, yang juga bertubuh besar ini menyadari, banyak ibu-ibu berpostur besar yang juga tetap ingin tampil cantik. Baik Yuyun, maupun Erna dan ibu-ibu lainnya yang ada di Palbatu pun menginginkan, usaha mereka bisa terus melaju, dan mereka bisa terus mengembangkan batik Palbatu.

Komentar

Posting Komentar