Adalah Firmansyah atau yang akrab disapa Pepeng, yang selalu menyebut dirinya sebagai Pendongeng Kopi (Storyteller of Coffee). Tak salah rasanya, karena setiap pengunjung yang datang ke tempatnya untik menikmati kopi racikannya, akan seperti sedang mendengarkan dongeng tentang kopi. Maka tak heran, bila Pepeng kemudian menyebut tempatnya itu sebagai Klinik Kopi, bukan coffe shop atau warung kopi, seperti yang biasa terdengar.
Menempati
bangunan bergaya eco design di lahan
milik Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma, Gejayan, Yogyakarta,
Klinik Kopi mulai buka pukul 16.00 hingga pukul 22.00. Di dalamnya tidak ada
kursi atau perangkat canggih lain semisal wifi.
Merokok dan gula pun diharamkan masuk ke ruang praktik Pepeng. Bila ada pengunjung
yang nekat datang membawa gula, akan disuruh pulang, atau bahkan langsung diblacklist.
Kopi yang
disajikan pun hanya single origin,
tidak ada campuran susu, gula, krimer, dan sebagainya. Di ruangan yang terletak
di lantai dua itu hanya terdapat sebuah meja panjang dengan deretan
toples-toples berisi biji kopi dari berbagai daerah di Indonesia. Di meja itu
pula, Pepeng meracik kopi seraya bercerita tentang sejarah kopi dan ‘dongeng’
lain tentang kopi, dari cara memilih kopi yang baik hingga proses pengolahannya.
Tak ada aroma bisnis di Klinik Kopi, yang ada adalah upaya melestarikan
kopi-kopi Indonesia.
Pepeng mulai
mendalami per-kopian sejak tahun 2010. Sebelumnya, ia adalah pegawai kantoran
dengan gaji yang lumayan besar. Hobi traveling
membawanya menemukan banyak sekali daerah penghasil kopi di Indonesia dengan
kondisi petaninya yang masih ‘terjajah’. Bahkan, menurut cerita Pepeng, di satu
daerah di Bukit Tinggi, ada petani kopi di sana yang tidak pernah meminum kopi
dari bijinya, tapi mereka minum ‘kopi’ dari daunnya.
Bila habis
kembali dari traveling, Pepeng selalu
pulang dengan membawa biji kopi dari petani dan mengolahnya menjadi kopi seduh
yang nikmat. Setelah itu, teman-temannya yang sering datang ke rumahnya, suka
ikut ngopi bersamanya. Tak lupa mereka sering memfoto kegiatan ngopi bareng itu lalu diunggah ke media
sosial. Dari situlah, lama-kelamaan banyak yang bertanya soal kopi-kopi buatan
Pepeng. Ketika makin banyak teman yang datang ke rumahnya untuk menumpang ngopi, Pepeng pun mulai merasa sangat
terganggu. Pepeng menuturkan, pernah suatu hari, istri salah seorang temannya
yang sedang ngidam, datang pukul setengah satu pagi hanya untuk membaui bubuk
kopi hasil gilingannya.
Dari situlah,
Pepeng mulai serius membuka Klinik Kopi di tempat yang sekarang. Kini, ia
memiliki 6 petani binaan, antara lain di daerah Temanggung, Merapi, Gunung
Arjuno, Nusa Tenggara Barat, dan Bukit Tinggi. Nah, bagi pecinta kopi, raanya
wajib berkunjung ke Klinik Kopi. Namun sebaiknya membuat janji terlebih dahulu,
pasalnya, tak jarang Pepeng sedang ‘keluyuran’ ke kelompok petani binaannya,
atau sedang mencari perkebunan baru. Pada saat itulah, Klinik Kopi pasti tutup.
Komentar
Posting Komentar