PEREMPUAN DAN KISAH : LUCY NOVITA, Sukses Berkarier Di Dunia Periklanan Yang Lebih Didominasi Kaum Lelaki
Tayangan iklan sebuah produk di teve begitu memikat Lucy Novita, Creative Director Hakuhudo Indonesia, di masa remaja. Kala itu selepas SMA, ia membayangkan betapa asyik bekerja di dunia periklanan yang penuh warna kreativitas. Ia pun mencari informasi bidang studi yang cocok dengan minatnya. Lalu ia mendapat informasi berharga bahwa ada bidang studi baru di Jurusan Komunikasi, FISIP, UI, yaitu Advertising. Ia pun mantap masuk ke sana di tahun 1998. Setelah menjalani kuliah, Lucy semakin tertarik untuk menekuni dunia advertising, apalagi ia bisa bertemu dengan dosen-dosen yang semuanya adalah praktisi periklanan. Ia jadi paham, dunia advertising saat itu masih terbilang baru. Latar belakang para praktisi itu pun macam-macam dan waktu itu belum ada yang berlatar belakang bidang studi advertising.
Mempelajari
ilmu tentang periklanan, Lucy pun makin jatuh cinta. Ia memutuskan untuk terus
menggelutinya. Semasa kuliah, ia sudah memutuskan untuk magang di sebuah
perusahaan iklan. Ia bergabung dengan Euro RSCG sebagai seorang copy writer. Copy writer adalah penulis naskah iklan. Bekerja di divisi kreatif
dan bekerja sama dengan art director
yang bertugas di bidang visual. Setelah mendapat pengarahan tentang iklan yang
diinginkan klien, copy writer dan art director ini bersama-sama merumuskan
konsep. Copy writer menuliskan naskah
sesuai konsep, seperti membuat jargon atau membuat ungkapan yang mudah diingat
pemirsa. Menurut Lucy itu merupakan sebuah pekerjaan yang menantang.
Lucy sengaja
menekuni bidang copy writing karena
ia memang suka menulis. Tentu menulis untuk iklan dengan penulis buku sastra
atau cerpen sangat berbeda. Sebab, iklan
dibatasi waktu. Ada yang berdurasi 15 detik, 30 detik, dan biasanya paling lama
1 menit. Yang paling dasar adalah iklan berdurasi 30 detik. Kesulitannya adalah
bagaimana dalam waktu 30 detik bisa menggambarkan keseluruhan produk yang
diinginkan klien. Karena untuk klien, tiap detik memang ada harganya.
Setelah dua
bulan magang di tahun 2001 itu, Lucy tak menyangka bakal mendapat tawaran untuk
bergabung dengan kantornya. Tentu ia sangat senang sekali. Karena saat masih
junior dulu, ia merasa dunia advertising
seperti bermain-main. Ia hanya merasa senang jika klien setuju dengan materi
yang ditulisnya. Saat masuk ke proses syuting rasanya bahagia sekali.
Sebaliknya, Lucy bisa stress ketika ide kreatifnya dianggap jelek oleh
seniornya. Rasanya sakit hati sekali ketika idenya tidak diperhatikan. Apalagi
pernah ada senior yang menanggapi idenya sambil bermain games, dan mengatakan, bahwa games
yang sedang dimainkannya lebih menarik daripada ide yang disampaikan Lucy.
Namun, Lucy
tak pernah memendam lama rasa sakit hati itu. Ia pun terus belajar. Sampai
suatu ketika, ia menerima proyek pertama berupa membuat iklan Telkom. Mulai proses
awal, syuting, sampai akhirnya muncul di televisi, butuh waktu berbulan-bulan.
Dan rasanya bangga sekali ketika iklannya itu sudah benar-benar muncul. Lucy,
yang semakin tertarik membuat iklan untuk tayangan teve ini pun, jadi kian
menikmati pekerjaannya. Namun ia mengakui hambatan sempat datang dari
keluarganya. Keluarganya masih beranggapan kerja kantoran harus berbusana rapih
dan jam kerja yang pasti. Sebaliknya, Lucy kerap tampil dengan dandanan kasual.
Sudah begitu, ia juga kerap pulang sampai larut malam. Bahkan, bisa
berhari-hari tidak pulang karena urusan syuting, sampai-sampai orangtuanya
bertanya, apa yang dikerjakannya sampai sering pulang pagi ?
Tapi lama
kelamaan, orangtuanya memahami pilihannya. Lucy, yang setelah menyelesaikan
pendidikannya makin mantap bekerja di jalur iklan ini, pun berhasil meyakinkan
orangtuanya bahwa ia bisa bekerja dengan baik. Selanjutnya, ibu dua anak asal
Jakarta ini, bersama timnya, sering menggarap begitu banyak iklan produk. Mulai
produk kecantikan, kosmetika, susu, media elektronik dan banyak sekali lainnya.
Banyak
pengalaman menarik selama Lucy bekerja. Suatu kali, ia pernah mengikuti tim
untuk syuting sebuah produk kecantikan di kawasan Puncak. Kala itu,
sutradaranya berasal dari luar negeri. Namun ternyata, jalan menuju Puncak
tengah macet total. Dari Jakarta sampai di sana, butuh waktu sekitar enam jam.
Rencana awal, mereka ingin syuting di kawasan hutan bambu. Tapi begitu sampai
di sana sudah sore, mereka tidak bisa menemukan lokasinya. Akhirnya, mereka pun
terpaksa men-set ruangan untuk membuat replika hutan bambu.
Pernah pula ia
mengikuti syuting di Bangkok untuk iklan produk kecantikan. Kala itu, hampir
semua iklan produk beauty dibuatnya
memang di Thailand. Karena wanita-wanita disana sangat memperhatikan
kecantikan. Selain itu, hasil membuat iklan di Thailand juga jauh lebih bagus
ketimbang di Indonesia. Mereka juga menggunakan model dari Thailand, karena
kebetulan kulit orang Thailand juga lebih bersih dari kulit orang Indoensia.
Untuk produk kecantikam, kualitas kulit model memang sangat penting. Tidak
kalah penting, sebelum membuat iklan produk, Lucy juga harus mendasarkannya
kepada riset. Dan berdasarkan riset, wanita Indonesia senang sekali dengan
model yang berdarah blasteran atau indo. Dan di Thailand orang seperti itu
mudah sekali ditemui.
Karier Lucy
terbilang lancar. Jabatannya terus mendaki, sampai sekarang ia menjadi creative director. Ia membawahi sekian
karyawan di tempatnya. Ia pun harus mampu mencari solusi ketika ide rekannya
buntu. Dalam dunia advertising, kerja
tim itu memang sangat penting. Berkat kerja tim pula, Lucy mampu menghasilkan
karya iklan yang bagus. Ditambahkan Lucy, di dunia advertising itu, yang menarik adalah ketika ditantang membuat iklan
untuk kepentingan penghargaan. Dalam dunia advertising
memang ada event penghargaan setiap
tahunnya, mulai tingkat lokal dan internasional. Dan Lucy bersyukur, sejak
tahun 2001 sampai sekarang, hampir setiap tahun ia selalu menapat penghargaan.
Ia pertama kali memenangkannya lewat iklan Telkomsel.
Di tahun 2003,
ia menjadi finalis Daun Muda Awards, Citra Pariwara. Ini merupakan kompetisi
para keratif untuk usia di bawah 28 tahun. Pemenangnya akan dikirim untuk ajang
regional. Walau tidak sampai dikirim ke luar negeri, tapi dengan bisa menjadi
finalis saja ia sudah senang sekali. Puncak prestasi diraih Lucy dan timnya
ketika tahun 2013 ia berhasil menggondol Gold Press Lotus, di Cannes. Perancis.
Prestasi ini sangat membanggakannya, apalagi Cannes ini adalah ibarat ‘Piala
Oscar’-nya insan periklanan dunia. Dan sepanjang sejarahnya, baru dua kali
Indonesia meraih penghargaan gold.
Awalnya Lucy sama sekali tidak tau, bahwa impact-nya
sedemikian besar. Ternyata, dari situ ia menerima banyak sekali e-mail yang
berisi permintaan wawancara dari banyak negara.
Berkat
prestasinya, Lucy beberapa kali diundang menjadi juri Citra Pariwara. Bahkan ia
juga menjadi juri untuk kompetisi regional di Pattaya, Thailand. Ia bangga
menjadi bagian dari sedikit kaum perempuan yang menjadi juri di ajang itu.
Memang, dunia advertising lebih
banyak didominasi lelaki. Dulu, saat pertama kali bekerja, dalam satu ruangan,
hanya Lucy sendiri yang perempuan. Sampai sekarang pun perempuan masih jadi
minoritas. Tapi justru dari situlah ia jadi semakin terpacu untuk membuat karya
yang bagus.
Lucy, yang
kini juga senang bisa berbagi ilmu kepada mahasiswa periklanan, mengaku tak
akan pernah berhenti belajar. Disebutkan, advertising
sifatnya industri muda. Jadi cepat berubah sesuai tren. Itu berhubungan pula
dengan teknologi dan media. Oleh karena itu pulalah, istri dari Prasmono Donny
ini akan terus mempelajarinya.
Komentar
Posting Komentar