PEREMPUAN INSPIRASI : CHOIRUL MAHPUDIAH, Aktivis Buruh Si Pelopor KAMPUNG KUE Di Surabaya




Dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja justru menjadi titik titik balik dalam hidup aktivitas buruh bernama Choirul Mahpuduah. Ia mempelopori ibu-ibu di kampungnya untuk membuat kue. Hasil perjuangan ibu dua anak ini pun sungguh dahsyat. Kini tempat tinggalnya menjadi kampung kue yang melibatkan puluhan warga dengan omzet puluhan juta per hari. Ia merintis kampung kue ini sejak tahun 2005. Namun, baru dicanangkan pada tahun 2010 lalu. Choirul sendiri mengaku sebenarnya ia bukanlah ahli di bidang kuliner. Bahkan tidak pandai memasak maupun membuat kue. Dulunya ia hanyalah seorang aktivis pergerakan buruh.

Choirul  bercerita, sekitar tahun 1990, ia adalah seorang karyawan di perusahaan yang memproduksi beraneka macam barang di Rungkut, Surbaya. Namun pada akhir tahun 1993, ia di-PHK secara sepihak oleh perusahaan. Pemecatan itu menurut Choirul, akibat sikapnya yang sangat vokal menuntut hak-hak buruh perempuan. Misalnya, menuntut soal cuti haid dan sebagainya. Selain itu, ia juga dianggap sebagai provokator teman-temannya setiap kali menggelar demo. Choirul mengaku, ia memang sangat getol berjuang menuntut hak di perusahaan. Tentu ia kecewa berat dengan pemecatan tersebut karena yang dituntutnya memang sudah sesuai peraturan. Lalu, di awal tahun 1994, bersama tiga orang temannya, ia mengajukan gugatan ke pengadilan. Karena tidak mempunyai uang, mereka pun mengajukan kepada hakim agar biaya gugatan ditanggung oleh negara. Semula hakim menolak, tetapi atas dukungan teman-teman di antaranya para wartawan, permintaan mereka agar bisa beracara di pengadilan secara gratis pun dikabulkan hakim.

Namun, meski biaya ditanggung negara, paling tidak ia harus mengerti tentang hukum perburuhan. Oleh karena itu, Choirul pun mulai mempelajarinya dari teman-teman wartawan, para aktivis, juga LBH. Tujuannya agar ia bisa beracara di pengadilan serta tahu hak-hak sebagai seorang buruh. Apalagi saat itu ia hanya sendirian, sementara pihak perusahaan yang digugatnya didampingi oleh 6 orang lawyer. Choirul bersyukur, gugatannya ternyata dimenangkan oleh hakim. Bahkan ketika pihak perusahaan mengajukan banding, hingga kasasi sampai Mahkamah Agung yang memakan waktu 10 tahun, posisinya tetap menang. Pemecatan itu dianggap tidak sah dan ia diminta bekerja lagi. Selain itu perusahaan juga diminta membayar kerugian kepadanya sebesar Rp 3 juta.

Tapi kenyataannya, meski putusan pengadilan memenangkannya, dengan berbagai dalih tetap saja ia tak bisa menjadi karyawan lagi. Uang kerugian pun keluar beberapa tahun kemudian sehingga nilainya menjadi kecil. Namun bagi Choirul itu tak masalah, yang penting perjuangannya tak sia-sia. Menurutnya, hal ini penting bagi pendidikan hukum teman-temanya yang masih berada di dalam pabrik agar tak segan untuk melawan kalau dianggap ada ketidak adilan. Beruntung, jaringannya dengan sesama aktivis sudah mulai luas. Sehingga, meski sudah tidak bekerja lagi, ia masih memiliki kesibukan. Bila ada kegiatan entah advokasi atau seminar, ia sering diminta datang untuk membantu. Dari situ, ia bisa mendapatkan uang saku, transpor, dan sebagainya.

Selama berkiprah di dunia pergerakan itu, Choirul tinggal di kos sederhana di kawasan padat penduduk di Rungkut Lor Gang 2, Surabaya. Saat itu kampung tempat tinggalnya isinya adalah pekerja kasar kelas menengah ke bawah. Suatu hari, ia melihat ada 5 ibu-ibu yang membuat kue dan menjualnya sendiri. Namun sepertinya selama puluhan tahun berjualan penghasilan mereka tidak ada peningkatan. Lalu, iseng-iseng Choirul memanggil para ibu-ibu setempat untuk mengajaknya berdiskusi kecil-kecilan perihal apa saja yang kira-kira bisa dikembangkan di kampung. Menurutnya, kampung yang sebagian besar penghuninya kaum pendatang ini memiliki potensi untuk berkembang.

Dari diskusi kecil-kecilan tersebut mengerucut pada kesimpulan bahwa ada tiga hal yang bisa dikembangkan warga. Yaitu menjahit, membuat kue, dan membuat sabun cair. Akhirnya, bersama dengan 9 ibu Choirul pun mulai menerima jahitan dengan membuat celana pendek. Sayang, seiring berjalannya waktu, usaha tersebut tidak bisa berjalan. Setelah melakukan evaluasi, Choirul pun meminta para ibu tersebut untuk berangsur ke pilihan kedua, yakni membuat kue. Dengan kemampuan pas-pasan, ia memberanikan diri mengumpulkan ibu-ibu di pos kamling kemudian unjuk kebolehan mengadakan demo masak. Pertama kalinya, ia membuat jajanan sederhana, yaitu cara membuat tahu crispy. Untuk memulai usaha ini rasanya tidak memerlukan modal besar. Modalnya hanya kompor, wajan, minyak, dan adonan tepung bumbu. Yang terpenting adalah, bagaimana supaya ibu-ibu tersebut mau berusaha.

Ternyata semua ibu-ibu yang datang menanggapinya dengan senang. Menurut mereka, tahu goreng sudah biasa. Namun, begitu diolah sedikit menjadi crispy, rasanya sudah berbeda dan lebih menarik. Meski sederhana, uji coba tahu crispy tersebut sukses dan membuat ibu-ibu antusias. Sejak itu tumbuh keinginan mereka untuk memproduksi makanan. Melihat ibu-ibu semakin antusias, Choirul pun tambah semangat. Para ibu tersebut mulai saling menunjukkan keterampilannya. Dari sana pula mereka jadi makin paham, kue adalah termasuk kebutuhan pokok bagi warga pendatang. Mereka yang akan berangkat kerja ke pabrik, kalau tidak sempat sarapan nasi pasti akan makan kue untuk pengganjal perut. Para ibu itu mulai rajin membuat kue untuk dijual di depan rumahnya. Hasil berjualan kue itu pun laku keras mengingat di tempat mereka merupakan kawasan industri.

Melihat itu, Choirul mulai berancang-ancang soal permodalan. Ia berpikir, di kampungnya itu sebagian besar warganya adalah kalangan menengah ke bawah. Meski modal usaha terbilang kecil, tetap saja ibu-ibu tersebut kerap kesulitan mencari modal. Pastinya, mereka akan mencari pinjaman untuk modal usaha, entah untuk membeli wajan, panci, dan sebagainya. Akhirnya, bersama dua ibu di kampung, Choirul patungan masing-masing Rp 50.000 untuk modal bila ada orang yang ingin meminjam. Ternyata benar saja, hanya beberapa saat kemudian ada seorang ibu yang ingin meminjam uang Rp 100.000 untuk membeli wajan. Tentu saja dengan senang hati Choirul mau membantunya. Setelah uang dikembalikan, giliran ibu-ibu yang lain meminjamnya. Dan pada akhirnya, saat ini di tempat mereka sudah terbentuk koperasi yang memiliki modal usaha Rp 20 juta lebih.

Awalnya, variasi kue yang dibuat memang belum terlalu banyak. Namun pada tahun 2008 sejak berdirinya taman bacaan di sana, variasi kue pun makin berkembang. Ceritanya bermula, ketika Choirul diperkenalkan seorang teman pada pengelola perpustakaan keliling milik salah satu perusahaan besar di Surabaya. Si pengurus tersebut ingin bisa berkontribusi memberikan pendidikan kepada ibu-ibu melalui buku bacaan. Tentu saja tawaran itu ia sambut dengan gembira. Selain meminta buku bacaan untuk anak-anak, ia juga minta koleksi buku tentang masak-memasak dan membuat kue. Dan benar saja, perpustakaan yang datang di hari-hari tertentu itu, selalu diserbu ibu-ibu. Semua buku tentang resep kue dilahap habis dan langsung dipraktikkan.

Dengan mendapat ilmu baru, para ibu pun makin berlomba-lomba bereksperimen membuat kue sesuai yang disukai. Lalu mereka juga beramai-ramai mencicipi sambil mengevaluasi, apakah rasanya sudah enak atau belum. Sejak itu, suasana kampung menjadi bergairah dan menyenangkan. Para warga seolah menemukan harapan baru untuk menambah penghasilan. Taman bacaan mereka pun makin berkembang setelah ditangani Pemkot Surabaya. Bangunan pos kamling lalu dijadikan perpustakaan dengan nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Pemkot langsung mensuplai 600 jenis buku. Tentu saja para ibu makin bergembira. Setiap ada waktu luang, mereka berkumpul di TBM untuk membaca buku resep masakan. Walikota Surabaya, Ibu Risma pun ikut memberikan buku sekaligus satu petugas untuk melayani warga di TBM. Bahkan, TBM itu juga dipasang internet agar warga bisa browsing resep di internet.


Kampung mereka pun akhirnya makin dikenal luas. Banyak warga luar kampung yang membeli kue di sana. Warga pun tidak perlu lagi berjualan ke luar kampung. Para penjual kue keliling akan datang ke tempat mereka untuk kulakan. Roda perekonomian di kampung mereka pun benar-benar hidup. Sejak jam satu dini hari, ibu-ibu sudah bangun untuk menyiapkan kue. Mulai pukul 04.00, kampung pun mulai berjubel puluhan penjual kue keliling untuk kulakan. Akhirnya, di tahun 2010, Choirul mempunyai ide untuk menyebut tempatnya sebagai kampung kue. Tujuannya agar kampungnya makin lebih dikenal di mana-mana. Sejak itu, bersama warga, mereka sepakat menggunakan nama tesebut. Choirul mengajari para ibu, agar ketika berkenalan dengan siapa pun jangan sampai lupa memberi embel-embel berasal dari “Kampung Kue Rungkut Lor Gang 2”. Sebutan itu pun menjadikan kampung kue semakin terkenal.


Sekarang, jumlah warga yang menjadi produsen kue sudah 65 orang. Bahkan sekarang wilayah kampung kue tidak hanya di gang dua saja, tapi sudah menular ke gang-gang yang lain. Perputaran uang per hari mencapai sekitar Rp 25 juta. Variasi kue produksi mereka sekitar 70-an. Antara lain onde-onde, lemper, terang bulan, perut ayam, tiwul, ketan, lapis, putri ayu, roti kukus, dan bermacam-macam kue kering sampai nasi kuning kotakan. Harganya terbilang murah, mulai Rp 1000 sampai Rp 3000. Selain itu, para ibu juga sering menerima pesanan kue untuk acara hajatan. Satu kotak terdiri dari beberapa kue. Kadang mereka dapat pesanan sampai ribuan kotak. Yang lebih menyenangkan, ibu-ibu tersebut kerap pula diundang untuk memberi pelatihan di tempat lain. Honor dari memberikan kursus tersebut, kemudian dimasukkan ke kas.


Bahkan suami Choirul, Riyadi, yang menikahinya di tahun 2001, dan dulunya sama-sama bekerja dipabrik, karena melihat hasil dari usaha kue lebih menjanjikan, pun akhirnya memilih keluar dari perusahaannya untuk membantu memproduksi kue. Meski sibuk mengurusi pengrajin kue, kegiatan Choirul di bidang sosial pun masih terus berjalan. Saat ini ia telah diangkat sebagai ketua serikat pekerja rumahan. Serikat pekerja rumahan sendiri terbagi dua. Pertama, para pekerja yang memang mengerjakan pekerjaan di rumah dalam hal ini adalah pengrajin kue di kampungnya. Kedua, para buruh perusahaan yang mengerjakan pekerjaan tidak di tempat kerja, tapi di rumah masing-masing.

Komentar