Meski awalnya dicemooh, Uswatun Khasanah gigih mengajak warga desanya menanam terong belanda. Hasilnya, tak hanya usaha sirupnya berkembang, ia juga berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat Dieng dan menyadarkan warga akan konservasi. Ya, tak hanya di Medan, usaha sirup terong belanda kini juga tumbuh di Wonosobo. Pohon terong belanda yang oleh warga setempat dikenal dengan nama kemar Dieng, sekarang banyak tumbuh subur di sana. Tangan perkasa Uswatun menjadikan terong belanda menjadi salah satu produk unggulan daerahnya. Bahkan, mampu menambah penghasilan begitu banyak warga.
Uswatun
menceritakan, tanaman terong belanda atau kemar Dieng sebetulnya sejak dulu
sudah ada di desanya. Hanya saja, pada 2005 pohonnya sudah hampir punah, karena
banyak yang ditelantarkan dan ditebang. Di Dieng sendiri bahkan tinggal 2-3
pohon saja, dan ada 1 pohon lagi di kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Dalam kondisi seperti itu, Kelompok Kerja (pokja) III dari Kabupaten
Banjarnegara dan Wonosobo bekerja sama mengadakan pelatihan membuat sirup
kemar. Tiap desa dari Kecamatan Batur dan Kecamatan Kejajar (Kabupaten
Wonosobo) diminta mengirimkan tiga anggota PKK untuk dilatih. Namun sayangnya,
1-2 bulan setelah itu kegiatan tersebut vakum.
Hingga suatu
hari, Pokja III Kabupaten Wonosobo menghubungi kembali para anggota PKK
tersebut, mengatakan bahwa ada tamu dari pemprov yang menginginkan kemar. Tapi
karena sudah lama vakum, tak ada anggota PKK yang merespons permintaan itu.
Lalu Uswatun pun berinisiatif meminta kembali kepada Pokja III Kabuapten
Wonosobo untuk melatih lagi pembuatan sirup kemar di desanya yang ada di daerah
Dieng, yakni Desa Sikunang, Kecamatan Kejajar. Akhirnya, mereka pun dilatih
kembali. Namun, lagi-lagi setelah itu tidak ada kegiatan produksi.
Tapi Uswatun
terus berupaya tetap produksi, karena ia sudah berjanji akan berproduksi ketika
diberi bantuan peralatan dandang saat pelatihan. Bersama tiga teman lain, ia
pun mulai memproduksi sirup kemar di tahun 2007. Mereka mengerjakannya setelah
selesai bekerja di ladang. Jadi, terkadang pengerjaan proses berikutnya
menunggu teman lain pulang dari ladang. Waktu itu, produksi pertama sebanyak 20
botol saja bisa sampai pukul 23.00. Mereka menjualnya langsung lewat pameran di
alun-alun Wonosobo dengan harga Rp 10.000 per botol ukuran 630 ml. Di saat yang
bersamaan, mereka juga sempat meraih juara kedua sebagai produk unggulan
daerah.
Guna mendapatkan
bahan baku kemar yang dibutuhkan cukup banyak itu, Uswatun keliling dari satu
desa ke desa lain untuk mencari kemar. Ternyata memang sudah jarang orang yang
menanam. Dan bila bertemu pohon kemar, Uswatun selalu bilang kepada pemiliknya
untuk merawat. Bila sudah matang, buahnya akan ia beli dengan harga Rp 2000 per
kg. Dari satu pohon kemar itu sendiri, bisa dipanen 5-10 kg kemar. Saking
sulitnya mencari bahan baku, Uswatun pernah mencari dari kampung ke kampung
dengan ojek sampai habis ongkos Rp 100.000, tapi ia hanya berhasil mendapat 3
kg. Pernah juga ia meminta temannya untuk memanjat pohon kemar, sementara
dirinya yang menangkap buahnya dengan sarung dari bawah.
Saat itu, buah
kemar memang tidak ada sama sekali manfaatnya bagi masyarakat Dieng. Sering
dibuang begitu saja atau untuk mainan anak-anak. Jadi, memang tidak ada
harganya sama sekali. Itu sebabnya keberadaan pohon kemar tidak pernah dirawat.
Tapi, setelah mengikuti pameran di alun-alun itu, tujuh instansi dari Pemkab
Wonosobo langsung datang ke tempatnya untuk melihat. Waktu itu, Uswatun
mengajak aparat desa untuk ikut menemui. Tapi tidak semuanya mau datang. Malah,
ketika disuguhi sirup itu, ada aparat desa yang membuangnya langsung di depan
mata Uswatun. Uswatun jelas merasa kecewa tidak diakui di desanya sendiri,
padahal saat itu usahanya sudah mulai diekspos media. Bahkan, Uswatun menambahkan,
dulu ia juga kerap dihina orang, yang mempertanyakan berapa keuntungan yang
bisa peroleh dari usaha buah kemar ini ? Toh, pohonnya sudah banyak yang mati.
Ia memang menangis, tapi tetap tidak ingin berhenti meneruskan usahanya. Setiap
kali ingin berhenti, ia selalu ingat pada janji waktu diberi dandang.
Uswatun pun
terus berpikir bagaimana agar selalu bisa memproduksi sirup dengan komposisi
yang baik dan benar. Awalnya, sirup yang diproduksi, seminggu kemudian sudah
berjamur, jadi harus dibuang. Endapannya pun masih sebotol penuh. Akhirnya
Pokja III memintanya untuk membuat kelompok berisi 10 orang, yang oleh Pak
Camat diberi nama KUB (Kelompok Usaha Bersama) Maju Makmur. Di situ, Uswatun
ditunjuk menjadi ketuanya. Namun sayang, setelah anggotanya mencapai 20 orang,
KUB ini sempat vakum dan tinggal menyisakan 5 orang saja. Tapi tak lama
kemudian, anggotanya bisa bertambah kembali menjadi 20 orang, dan cukup lama eksis.
Lalu, sambil
mengurus merek dan izin usaha, Uswatun mencoba membuat inovasi berupa selai
kemar pada 2008. Ia pun juga rajin membawa produknya kemana-mana, dan mengikuti
pelatihan dari berbagai instansi, antara lain dari Dinas Koperasi dan UMKM,
Dinas Perdagangan, dan Dinas Pertanian. Tak hanya dirinya, anggota-anggota KUB
pun juga ia ikutkan secara bergantian. Kepada mereka Uswatun mengatakan,
daripada hanya mencangkul dan menyiangi kentang, lebih baik sesekali mengikuti
pelatihan. Pelatihan tersebut kadang dilaksanakan di luar kota. Untuk itu ia pun
bersedia menyiapkan kebutuhan mereka termasuk baju dan sepatu. Dan hampir semua
anggota KUB sangat senang mengikuti pelatihan, apalagi kalau di luar kota,
karena juga bisa merasakan tidur di hotel.
Tahun 2006,
Uswatun melakukan studi banding ke Medan, dan sepulang dari sana langsung
timbul semangat baru untuk mengembangkan usahanya. Uswatun melihat di Medan ada
perusahaan sirup terong belanda yang cukup besar. Ia merasa, Dieng pun juga
bisa seperti itu. Dari pohon terong belanda yang juga tumbuh di desanya, buahnya
bisa ia buat sirup, sementara bijinya ia jadikan bibit. Uswatun lalu
membagi-bagikan 12 ribu bibit pohon kemar kepada warga desa. Kala itu, banyak
yang menolak karena mereka sudah terbiasa menanam kentang. Meski menanam kentang
risikonya tinggi, dan untungnya sedikit karena biaya produksi yang juga tinggi,
tapi pemasarannya sudah jelas. Namun selain itu, tanaman kentang juga sulit ‘bersahabat’
dengan tanaman lain. Kentang akan cenderung rusak kalau lahan menanamnya dibuat
tumpangsari. Sementara kemar, bagus sebagai pohon konservasi, mudah
ditumpangsari, berbuah sepanjang tahun, dan tidak perlu dirawat.
Akhirnya makin
lama kemar makin banyak dicari, baik buah segarnya maupun produknya.
Pengepulnya pun juga semakin banyak. Banyak penjual buah segar dari luar kota datang
ke Dieng, karena banyak permintaan dari hotel dan restoran. Bahkan konon ada
juga yang untuk digunakan sebagai pewarna alam pada batik. Harga kemar pun
makin tinggi di Dieng, bahkan bisa mencapai Rp 14.000 kg, sementara kentang
hanya Rp 10.000 per kg. Uswatun bersyukur usahanya juga mulai diliput media.
Setiap kali diliput media, ia selalu mengusahakan mempunyai buktinya. Bukan
bermaksud untuk pamer, melainkan agar bisa menjadi inspirasi masyarakat di
desanya. Warga pun jadi tahu, berkat menanam kemar, Uswatun bisa pergi
kemana-mana, bahkan tak jarang naik pesawat. Bagi warga desa, hal ini tentu
sangat menarik.
Pada 2009,
mereka yang semula menolak akhirnya mulai menanam tanpa ia suruh, bahkan kerap meminta
bibit kepadanya. Uswatun selalu mengatakan pada mereka, setidaknya tanam saja
di lahan yang miring, minimal agar tanahnya tidak longsor. Tidak perlu dari
biji, cukup menancapkan saja dahannya ke tanah juga sudah bisa tumbuh. Tak lupa
ia menjelaskan, bahwa kemar hanya bisa tumbuh di ketinggian 1400.1500 mdpl.
Kalaupun tidak laku, anggap saja pohonnya sebagai hiasan karena warna buahnya bagus.
Setelah sering
mengikuti pameran dan pelatihan di mana-mana, makin banyak permintaan buah
kemar maupun produk sirupnya. Selain itu, banyak pula kampus dari berbagai kota
dan instansi yang mendampingi usahanya, sehingga ia bisa meningkatkan alat
produksi. Saat ini ia sudah memiliki alat untuk melakukan pasteurisasi dengan
sinar ultra violet, sehingga produk sirup dan selai yang dihasilkan jadi lebih
awet, bahkan bisa tahan hingga setahun meski tanpa pengawet. Selain sirup dan
selai, kini olahan kemar juga ia buat dalam bentuk permen dan sambal. Hanya
saja untuk produk permen belum dikemas secara bagus, jadi belum bisa
dikembangkan. Sementara untuk produk Sambal Sikunir yang berbahan kemar telah
berhasil masuk nominasi 20 besar dalam lomba Sambal Anak Negeri yang diadakan
Bank Indonesia. Saat membuatnya, Uswatun mencampurkan paprika khas Dieng dengan
kemar. Jadi warna merahnya alami dan rasa pedasnya didapat dari paprika. Sambal
ini kini sudah masuk ke supermarket besar di Yogyakarta.
Selain itu
Uswatun juga berinovasi dengan membuat manisan carica, tapi dengan sirup
berwarna merah yang terbuat dari kemar. Ini tentu beda dari biasanya yang
warnanya kuning. Memang produk ini masih awal, namun sekarang sudah banyak yang
meniru. Uswatun pun berharap kelak produk dari usahanya ini bisa lebih diterima
hingga mampu menyerap banyak tenaga kerja. Bahkan ke depannya, ia juga
merencanakan ingin membuat bubuk minuman instan dari kemar.
Kini jumlah
pohon kemar di Dieng sudah tak terhitung. Butuh berton-ton buah kemar per
minggu pun bisa dipenuhi. Di Lembaga Masyarakat Desa Hutan di daerah Tambi saja
mungkin saat ini sudah ada 15 ribu pohon. Sekarang, di 16 desa di Kecamatan
Kejajar, semua kelompok tani menanamnya. Kemar juga banyak ditanam sebagai
pohon konservasi. Bila kita berjalan
naik ke Dieng dari arah kota Wonosobo, sepanjang jalan sudah banyak ditumbuhi
pohon kemar. Semuanya berawal dari 5 pohon yang hampir punah itu. Ibaratnya,
Uswatun kini mampu mendulang uang dari barang yang terbuang. Sekarang kemar
menjadi produk unggulan dari Kecamatan Kejajar sebagai hasil dari program One District One Product (ODOP).
Awalnya
pemasaran sirup kemar ini dengan cara menitipkannya di sebuah toko oleh-oleh di
Wonosobo. Namun sekarang sudah ada di beberapa toko, restoran, bahkan Uswatun
juga kerap mengirimnya ke luar kota. Antara lain Indramayu, Solo, Semarang, dan
Yogyakarta. Setiap bulan, ia bisa memproduksi sirup sebanyak 500 botol ukuran
630 ml dengan harga Rp 25.000. Bahkan sekarang stok persediannya sering habis.
Untuk selai, per bulan ia bisa membuat 250 botol. Dan mungkin kelak produk
selai ini akan ia produksi secara curah untuk para penjual roti bakar dan dalam
kemasan kecil untuk dijual di warung-warung. Uswatun menambahkan, ia selalu
menggunakan gula asli yang sekaligus menjadi pengawet, karena ia memang tidak
menggunakan bahan pengawet buatan.
Karena
waktunya banyak terpakai untuk mengurusi kemar dan keluar kota, Uswatun mengaku
sempat dikomplain suami sejak memulai usahanya ini. Belum lagi usaha ini juga
memakan banyak modal, karena semua dananya masih berasal dari kantongnya
pribadi hingga sekarang. Padahal, waktu itu hasil usahanya belum terlihat.
Hutang pun berani Uswatun lakoni, misalnya untuk uang saku, bekal pelatihan,
atau mengikuti kegiatan di mana-mana. Beruntung, Uswatun juga mempunyai usaha
purwaceng yang setiap bulan dipasok ke pabrik jamu dan manisan carica. Hasilnya
bisa untuk menopang usaha sirup kemar. Bila usaha produk kemar ini harus
mendanai dirinya sendiri, sudah pasti tidak akan bisa berjalan. Namun, Uswatun
menegaskan, sampai sekarang ia tidak pernah minta uang kepada suaminya, Rohman,
karena dirinya memang rajin berjualan apa saja.
Uswatun memang
begitu semangat memperjuangkan usaha produk kemar, sampai berani melakukan
subsidi silang dengan usahanya yang lain. Dalam pikirannya, kalau orang punya
uang bisa menanam kentang. Tapi untuk yang tidak mampu, tentu saja tidak bisa.
Sementara dengan kemar, tinggal menancap dahannya saja sudah bisa tumbuh.
Harapannya sederhana, setidaknya usahanya ini bisa membantu siapa pun yang
menanamnya untuk menambah penghasilan. Atau istilahnya bisa untuk membeli
garam. Seapes-apesnya bagi yang tidak punya lahan saja, bisa menanam di
pinggiran rumah sebanyak 10 pohon. Bila dari 1 pohon bisa menghasilkan 5 kg,
jadi 10 pohon bisa mendapatkan 50 kg. Kalau per kilogramnya Rp 7000 saja,
hasilnya sudah bisa untuk uang saku sekolah anak atau menyumbang hajatan. Uswatun
tentu saja senang, banyak warga Kejajar yang sekarang sudah bisa merasakan
manfaat dari menanam kemar.
Dari usahanya
ini ia juga sempat menjuarai beberapa lomba. Misalnya juara lomba kompetisi
kemasan tingkat Wonosobo tahun 2008, lomba higienitas produk UMKM di Jakarta
tahun 2009, lomba wirausaha perempuan terbaik Jakarta 2013, nominator International
Women’s Council 2014, dan sebagainya. Ia memang pantas mendapatkan penghargaan
tersebut. Karena dari langkah tegarnya ini ia bisa membuat penghasilan warga
bertambah, dan semakin asrinya kawasan Dieng dengan ribuan tanaman terong belanda.
Berapa harga terong belanda
BalasHapusDi daerah aku bnyak yang tanam
Inbok email aku dunhil660@gmail.com