PROFIL : MENGENAL LEBIH DEKAT LIA RIDWAN KAMIL, Sang Ibu Bagi Warga Kota Bandung




Sempat keberatan sang suami menjadi walikota Bandung, kini Atalia mendukung penuh kiprah suaminya. Sebagai istri walikota, ia sangat aktif berinteraksi dan berkegiatan dengan masyarakat. Namun baginya, anak-anak dan suami adalah pengabdian utamanya.

Cantik, bertutur kata halus, hangat, dan berwawasan luas. Itulah gambaran tentang Atalia Praratya, istri walikota Bandung, Ridwan Kamil. Selama ini, publik lebih mengenal sang suami ketimbang ibu dua anak ini. Padahal, kegiatan Lia, sapaan akrabnya, sejak sebelum menjadi istri walikota juga padat. Dulu, Lia dikenal sebagai MC dan pembawa acara salah satu teve lokal di Bandung. Ia juga komisaris di PT Urbane Indonesia, perusahaan arsitektur yang didirikan suaminya, bahkan hingga sekarang. Sang suami, yang biasa disapa Kang Emil, menurutnya telah memberikan keleuasaan untuk berkiprah di luar rumah. Demikian pula sebaliknya, Lia mendukung karier suami, meski semula sempat tak setuju saat sang suami minta izin untuk maju dalam pencalonan walikota Bandung. Ia merasa nama sang suami di dunia arsitek sudah dikenal di Indonesia maupun mancanegara, termasuk Amerika, Singapura, Tiongkok, dan Timur Tengah. Secara finansial, hidupnya bersama suami dan kedua anak mereka, Emmeril Kahn Mumtadz dan Camillia Laetitia Azzahra juga berkecukupan.

Saat itu Lia berpikir, apa lagi yang dicari dalam hidup ? Karena baginya yang terpenting bisa hidup dengan tenang saja sudah cukup. Jadi mengapa sang suami harus masuk ke dunia politik ? Toh, kalau ingin memberi banyak manfaat pada masyarakat, tidak harus melalui jalur politik. Bersama suaminya, Lia memang sudah aktif berkegiatan di tengah-tengah masyarakat. Ia aktif dalam komunitas Cipta Dewi dan Bandung Berkebun, sedangkan sang suami terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi dan komunitas. Namun, saat itu Emil memberi Lia pemahaman bahwa sudah saatnya mereka tak hanya memikirkan diri sendiri.

Emil lantas mengajak istrinya ke berbagai wilayah di Bandung untuk langsung bertemu warga. Mendengar curhat dan melihat tangisan warga, hati Lia pun trenyuh. Saat itu ia baru tahu apa yang akan diperjuangkan suaminya. Sejak saat itu, dengan niat bismillah, ia pun langsung mendukung suaminya 100 persen. Setelah sekian lama menolak, hari itu ia memang menjadi orang terakhir yang memberi restu pada Emil untuk menjadi calon walikota, beberapa bulan sebelum kampanye dimulai. Lia mengizinkan suaminya sebagai bentuk pengabdian. Karena sang suami juga ingin mengabdi untuk masyarakat Bandung.



Lia pun membuktikan dukungannya. Saat kampanye, ia, suaminya, calon wakil walikota yang dipasangkan dengan Emil yaitu Oded Muhammad Danial, dan istrinya, Siti Muntamah, masing-masing berkampanye di empat tempat berbeda. Setelah sang suami jadi walikota, kegiatan Lia makin padat karena ia juga ikut mengabdikan hidupnya untuk warga. Sebagai istri walikota, selain menghadiri acara seremonial, Lia antara lain juga aktif sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Bandung dan Ketua Dekranasda Bandung. Bila dulu yang diurusnya hanya keluarga sendiri, saat ini tanggung jawabnya meliputi keluarga orang lain juga. Namun bagi Lia ini menjadi kebahagiaannya tersendiri karena bisa menyentuh warga secara langsung. Lia sendiri mengaku kurang suka dengan acara seremonial. Bila bertemu warga, biasanya ia minta agar tak sungkan berkeluh kesah padanya. Atau, Lia juga minta mereka mendoakan suaminya.

Kesibukannya terkadang membuat Lia lupa waktu. Dan bila ia sudah terlalu sibuk, Kang Emil biasanya akan mengingatkannya secara halus. Namun meski sibuk, Lia, yang telah rela melepaskan pekerjaannya sebagai MC dan pembawa acara teve ini, tetap berusaha fokus pada anak-anak. Kalau tak ada kegiatan yang sangat penting, ia memilih berada di rumah untuk menemani anak-anaknya belajar. Ia paham benar, kegiatan Kang Emil sangat padat. Di tengah kesibukan masing-masing, mereka juga menetapkan Minggu sore sampai malam sebagai jam keluarga. Menurut Lia itu adalah waktu Ayah dan anak. Biasanya mereka berenang, nonton di bioskop, atau makan bersama. Mereka pun juga mengusahakan bisa sholat Shubuh dan Maghrib berjamaah. 

Mulanya, Lia mengira menjadi istri walikota bisa dilakukan cukup dengan duduk manis saja. Tapi ternyata, ia malah merasa jadi sibuk sekali. Dalam sehari saja ia bisa menghadiri tujuh agenda. Ia selalu pergi pagi dan pulang sore, bahkan nyaris tak mengenal hari libur. Ia mengaku sempat kaget dengan perubahan itu, dan sering merasa sangat capek. Namun, karena sejak awal sudah diniati untuk lebih bermanfaat bagi banyak orang, ia ikhlas menjalaninya. Seperti sang suami, Lia juga aktif di media sosial dan memanfaatkannya untuk mengetahui persoalan masyarakat. Keluhan maupun sapaan warga lewat akun Twitter miliknya maupun e-mail, ia balas dengan senang hati. Biasanya warga sering curhat mengenai berbagai hal, mulai dari masalah perkotaan, bahkan sampai masalah putus cinta. Lia pun saat itu berusaha memposisikan dirinya sebagai ibu bagi warga kota Bandung. Jadi tidak boleh ada jarak dengan warga.



Keluhan para warga itu jadi membuatnya makin paham persoalan masyarakat. Namun, makin banyak tahu ia jadi semakin galau. Ternyata masalah perkotaan yang ditemuinya banyak sekali, dan sering membuatnya bingung, apa yang bisa segera dilakukan. Menjadi istri walikota pun tak membuat Lia berlebihan. Ia tetap tampil sederhana. Apalagi, ia memang tak suka berbelanja. Hanya saja, Lia yang dulu terkesan cuek, kini harus berbusana rapih meski tetap kasual. Ia memang lebih senang mengenakan celana panjang dan pakaian kasual saat mendatangi warga. Dan ia juga relatif lebih banyak menjahitkan baju karena kebutuhan. Karena seringnya menghadiri berbagai acara, tidak mungkin ia mengenakan pakaian yang itu-itu saja.

Ada lagi perbedaan Lia yang dulu dengan sekarang. Kini ia rajin berdandan, suatu hal yang dulu jarang ia lakukan. Menurut Lia, suaminya senang kalau ia berdandan, karena suaminya memiliki sifat visual, sesuai dengan latar belakangnya yang seorang arsitek. Kang Emil juga rajin mengingatkan Lia bila tubuhnya mulai melar. Jadi, suaminya bisa seperti alarm untuknya. Lia bersyukur, semua kegiatannya dulu, termasuk kursus public speaking, kecantikan, dan menari, kini ternyata berguna. Tidak ada yang sia-sia. Itulah yang juga sering ia katakan kepada anak-anak muda, tidak ada yang merasa sia-sia, sepanjang yang mereka lakukan adalah hal positif. Menjadi istri walikota, Lia pun juga rela menurunkan ego dan menghapus mimpinya untuk menjadi seorang diplomat dan entertainer

Padahal, lulusan Hubungan Internasional di Universitas Parahyangan ini sudah sempat ‘dipesan’ untuk bekerja di konsulat Indonesia di Afrika Selatan setelah lulus. Namun, ia tak menyambutnya karena memilih menikah. Sang suami memang memintanya agar mereka bisa menjadi tim yang kompak. Bersama suami, Lia rela merintis kehidupan dari nol. Lia masih ingat saat menemani suaminya merintis karier di New York. Saat pertama kali pindah ke sana, mereka hanya memiliki satu buah panci untuk memasak. Saat itu, mereka tinggal di lingkungan rumah mahasiswa, di mana pergantian penghuni terbilang cepat. Biasanya, penghuni yang pindah akan meletakkan barang yang dibuang di depan rumah. Tiap malam, Lia dan Kang Emil rajin berkeliling, memulung barang yang bisa ia bawa ke rumah. Bahkan, mereka pernah mengangkut sofa milik bekas penghuni.

Saat senggang, Lia senang memasak makanan kegemaran Emil. Menurut Lia, suaminya tidak pernah repot dengan urusan makanan. Kang Emil paling suka dengan ceplok telur dan tahu goreng. Namun, Lia tetap senang memasak menu lain seperti sayur, lauk dan ikan. Hubungan Lia dan Emil terbilang romantis dan harmonis. Meski Emil diakuinya bukan tipe orang yang mudah mengungkapkan secara langsung perasaan sayangnya. Lia menceritakan, dulu waktu proses pendekatan, perjalanan perkenalan antara Lia dan Emil digambarkan lewat komik. Dan ungkapan sayang seperti inilah yang terus dijaga Kang Emil sampai sekarang.



Di tengak kesibukannya, menurut Lia, Emil merasa bahwa keluarga adalah sumber energinya. Tak heran, mereka sekeluarga selalu mempraktekkan program berpelukan 20 detik tiap hari di rumah. Jadi, ketika sedang galau, biasanya sang suami akan pulang ke rumah untuk memeluk anak-anaknya, lalu berangkat lagi dengan semangat baru. Menurut Kang Emil, memang ada penelitannya, bahwa energi positif itu akan hadir ketika merasa bersama dengan orang yang kita sayangi. Kegiatan berpelukan ini, menurut Lia, sudah dipraktikkan sejak Emil menjadi walikota. Lia pun mengaku, akan siap untuk selalu menjadi supporter utama suaminya.  

Komentar

Posting Komentar