PROFIL : TRI HANDOKO, Dari Pedesaan Menyebarkan Virus Tari Ke Berbagai Kota




Pengalaman Tri Handoko sebagai penari tak diragukan lagi. Mengawali kariernya sebagai penari sejak SD, kini ia meneruskan mengelola sanggar warisan kakeknya. Ia pun terus menyebarkan ‘virus’ tarian pada ribuan orang di berbagai kota.

Tinggal di pelosok Kampung Warangan, Kecamatan Pakis, kawasan pegunungan di Kabupaten Magelang, Tri menjalani profesinya sebagai penari dalam teduh suasana pedesaan. Rumahnya yang berjarak sekitar 12 km dari Kota Magelang memang jauh dari keramaian. Dari jalan raya, rumah Tri berjarak 1 km, yang baru bisa dicapai setelah menempuh jalanan berkelok-kelok dan naik turun, menyusuri jurang berisi pohon bambu, jembatan, dan rumah penduduk. Namun, berkat tari, Tri kerap turun gunung untuk manggung ke berbagai kota, bahkan sampai Jakarta.

Gerak tari memang sudah diakrabi Tri sejak kecil lantaran pengaruh lingkungan. Tri menjelaskan, di kampungnya saja ada sekitar delapan ritual adat yang menggunakan tarian. Antara lain, nyadran kali (selamatan mata air), nyadran makam (ziarah makam menjelang Ramadhan), aum tandur (selamatan usai menanam padi), aum panen (selamatan panen padi), dan saparan. Dikisahkan Tri, tari telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia mulai menari sejak kelas 4 SD, ketika ditunjuk untuk mewakili sekolah mengikuti lomba tari antar SD se-Kabupaten Magelang. Padahal saat itu, ia belum bisa menari. Mungkin karena kakek dan ayahnya seorang penari, guru-gurunya berpikir ia pasti juga bisa menari.

Tak mau mengecewakan, Tri pun segera belajar tari pada ayahnya yang selain guru SD, memang juga mengajar tari di rumah. Saat itu ia belajar tari Wanara. Ia mengaku merasa susah-susah gampang untuk menyesuaikan gerakan saat awal belajar. Setelah 8-10 kali latihan, Tri pun mulai siap memasuki arena lomba. Hasilnya, Tri menggondol juara kedua. Sejak itulah, ia jatuh cinta pada tari dan rajin berlatih. Di rumahnya, ayahnya mengelola sanggar tari Wargo Budoyo, warisan dari kakek Tri, sedangkan ibunya bertani. Dari lima bersaudara, hanya Tri yang anak ketiga dan Eko Sunyoto, kakak sulungnya, yang menyukai tari.

Banyak tarian yang dipelajari dan dikuasai Tri. Mulai tari tradisional sampai kontemporer. Agar bisa menari tradisional, ia harus masuk sanggar. Meski gerakannya gemulai, ia tidak merasa malu. Tri sering membawakan tari yang diambil dari kisah wayang orang. Sampai lulus SMP, ia terus belajar tari dan diajak ayahnya pentas di mana-mana. Setelah ayahnya tiada, sanggar diteruskan oleh Eko. Sambil mengelola sanggar, Eko juga menimba ilmu di IKIP Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta). Semasa masih kuliah itu, salah satu dosennya sempat datang ke sanggar bersama seniman Tanto Mendut si penggagas Festival Lima Gunung. Tri dan teman-temannya sesama penari di kampung pun saat itu diminta menunjukkan tarian soreng dan warok. Ternyata penampilannya disukai Tanto Mendut. Sejak itu beliau sering datang ke sanggar dan menyemangati anak-anak yang sedang berlatih tari.

Sejak tahun 1999, Tri mulai mengajar tari di kampungnya. Di tahun yang sama, Tri bergabung dengan Tanto Mendut. Ia terlibat dalam gelar budaya Festival Lima Gunung. Bahkan Festival Lima Gunung perdana dan kedua digelar di kampung Tri pada 2001. Acara ini menarik banyak media untuk meliput. Sejak itu pula, sanggar yang kemudian beralih nama menjadi Sanggar Warangan Merbabu itu dikenal masyarakat. Undangan pentas pun mengalir deras. Mereka pentas di Solo, Yogyakarta, Semarang, Bogor, bahkan Jakarta. Tentu saja Tri senang hobinya bisa tersalurkan. Ia pun terus berkreasi menciptakan gerak tari baru.



Tri sering mengamati kesenian lain, mempelajari gerakan-gerakan tari modern, dan menonton film India. Lalu, ia mengkombinasikannya dengan gerakan tari tradisional. Tri sudah menciptakan tarian baru sejak 2001. Tujuannya juga agar gerakan penari di sanggarnya beda dari sanggar lain. Ketika kakaknya pindah ke daerah Borobudur, Magelang, pada 2003, ia pun meneruskan mengelola sanggar yang beranggotakan 80 orang itu. Dari 2004 hingga sekarang, ia juga diminta mengajar tari di luar kampung, mulai dari pelajar SD-SMA, orang dewasa, sampai lanjut usia. Bahkan, mengajar karyawan berbagai instansi seperti kepolisian, bank, kantor pemerintah, sampai ratusan karyawan sebuah department store lokal yang tersebar di lima kota di Jawa Tengah.

Hingga kini, Tri sudah mengajar ribuan orang. Di kampung-kampung saja, ia sudah mengajar 32 kelompok, dengan anggota masing-masing sekitar 50-an orang. Lalu, ada 12 sekolah di Magelang dan 4 sekolah di Kabupaten Magelang yang juga ia latih. Lima hari dalam seminggu ia mengajar tari. Dalam sehari, ia bisa mengajar di dua sekolah. Bahkan ia bisa mengajar sampai di Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Solo, Klaten, Wonogiri, Boyolali, dan Gunung Kidul. Tri sendiri kini memiliki dua sanggar. Selain Warangan Merbabu di kampungnya, juga ada Dom Sunthil (peniti) di Magelang. Tak heran, mudah baginya untuk mengumpulkan ribuan penari ketika ada undangan mendadak 1-2 hari sebelum pentas. Ia tinggal mengirim SMS sehari sebelumnya, para penari binaannya itu akan langsung datang keesokan harinya. Kalaupun tidak sempat latihan juga tidak masalah, karena mereka sudah tahu gerakan dasarnya, dan tinggal menyesuaikan gerakan dengan lagu. Tri cukup memberikan kode, para penarinya sudah tahu gerakan yang ia inginkan.

Tri menjelaskan, melatih anak kecil gampang-gampang susah. Karena terkadang mereka suka bermain saat diajari. Mengajar lansia juga sulit, karena gerakan mereka sudah kaku. Bagi Tri, menari seolah tak bisa dipisahkan dari hidupnya. Menari terus menerus sejak kecil tak membuatnya bosan atau lelah. Seminggu saja tak menari, baginya sudah sangat lama. Tri merasa beruntung setiap hari melatih tari dan bisa pentas setidaknya tiga kali seminggu. Menurut Tri, ia tak keberatan tariannya meski hanya ditonton sedikit orang. Pernah, Tri bersama 19 temannya diminta menari secara privat di hotel berbintang lima di daerah Borobudur. Bahkan, mereka sempat menari tanpa penonton ketika dua penonton itu ke toilet. Setelah 17 menit menari, pertunjukan mereka saat itu dibayar Rp 7 juta.

Tri bersama rekannya mengaku memang kerap diundang menari secara privat di hotel yang sering diinapi tokoh dan selebritas kelas dunia itu. Setiap malam tahun baru, ia dan teman-temannya dari Festival Lima Gunung biasanya diminta mengisi acara puncaknya. Honor dari menari itu bervariasi besarnya, tergantung pengundang. Kadang-kadang mereka hanya mendapatkan uang ganti bensin saja, tapi sering juga mendapat bayaran yang besar, bahkan pernah sampai Rp 300 juta. Bila menari di kampung-kampung, paling besar mereka menerima Rp 25.000-Rp 30.000 per orang. Tapi kalau sampai luar kota bisa Rp 200.000 – Rp 300.000 per orang. Bahkan mereka juga sering tidak dibayar kalau yang mengundang teman sendiri atau saat acara Festival Lima Gunung.



Namun yang menarik, Tri dan sanggarnya tidak pernah sepi menerima undangan manggung. Misalnya, menerima undangan untuk acara peresmian Jambore Pramuka tingkat nasional, pertandingan olahraga tingkat nasional, kirab budaya di Jakarta, manggung secara privat, dan sebagainya. Tri sendiri juga pernah berkolaborasi menari dengan penari India di Jakarta, dan bersama teman-temannya kerap menjadi penari latar penyanyi dan grup band terkenal seperti D’Massiv, Ungu, Iwan Fals, Slank, dan Changcuters. Baik bersama personil Festival Lima Gunung maupun sanggarnya, Tri memang langganan diundang ke Jakarta, dan bisa menginap di hotel berbintang lima.

Meski di desa dan kecamatan tempat Tri tinggal juga ada sanggar lain, tapi menurut Tri sanggarnya lah yang keseniannya paling komplet. Bila sanggar lain biasanya hanya memiliki satu atau dua jenis kesenian saja, sementara sanggarnya punya 10 jenis, yaitu warok, soreng, grasak, musik orkestra trunthung (dengan rebana kecil), wayang, dan sebagainya. Tak heran, di rumah Tri bertebaran lemari dan rak berisi alat musik dan kostum panggung milik sanggar. Saking banyaknya, ia sudah tak ingat jumlahnya. Belum lagi, tiga lemari kostum miliknya pribadi dan beberapa lemari berisi alat musik.

Soal riasan, Tri dan teman-temannya sesama penari terbiasa merias diri sendiri. Di sanggarnya, setelah bisa menari, anggotanya juga harus belajar merias, kecuali yang masih SD. Jenis riasan disesuaikan dengan tarian yang akan dibawakan. Tri dan teman-temannya merias menggunakan pidih (krim hitam yang digunakan untuk merias dahi pengantin).

Saat senggang, ada saja yang dilakukan Tri. Bermacam-macam instalasi hasil karyanya menghiasi halaman rumahnya. Sementara, di dinding rumah banyak dipajang lukisan, topeng, dan kuluk buatannya. Kuluk buatannya ini bahkan banyak dipesan grup kesenian lain. Pernah ia mendapat pesanan 60 kuluk untuk Batavia Dance. Pernah juga ada turis dari Inggris membeli empat kuluk buatannya untuk dipajang di museum yang ada di sana.

Menariknya, teman-teman penari berasal dari berbagai kalangan. Usai dari sanggar,  mereka kembali ke kegiatannya semula, seperti sekolah atau bekerja. Mereka ada yang bekerja di pabrik, bertani, mencari rumput, dan sebagainya. Pekerjaan fisik yang dilakukan sehari-hari para penari itu membuat mereka tak perlu lagi latihan fisik.



Kini, Tri adalah penari, pelatih, koreografer, dan penata musik tari. Harapannya sangat sederhana, bisa terus menari sampai kapan pun, meski ia sadar penghasilannya sebagai penari mengalami pasang surut. Ia pun menginginkan, supaya makin banyak warga desanya yang bisa menari, agar kegiatan mereka tidak mengarah ke hal-hal yang negatif. Tri mencontohkan, dulu anak-anak muda di desanya banyak yang suka mabuk, tapi setelah mereka belajar menari, kebiasaan itu jadi berhenti.

Penampilan Tri dan kawan-kawannya memang pernah ditonton orang asing termasuk para peneliti. Tri berharap tarian Indonesia dikenal lebih luas lagi di luar negeri. Sebenarnya, ia dan teman-teman penggiat Festival Lima Gunung pernah tiga kali diundang untuk pentas di luar negeri, yaitu di Thailand, Selandia Baru, dan Inggris. Sayangnya, dana yang diberikan pengundang terbatas. Sempat mereka meminta bantuan tambahan dana ke pemerintah, tapi tidak disetujui. Akhirnya mereka pun gagal berangkat.

Tri, yang juga ayah dua anak ini, yakin tarian akan terus dipelajari banyak orang. Apalagi menurutnya, sejak beberapa tahun belakangan sekolah di Magelang dan Kabupaten Magelang diwajibkan punya kesenian tradisional. Anak bungsu Tri sendiri kini belajar mendalang. Kedua anaknya tinggal di Cilacap bersama kakeknya, sementara sang istri kini sedang merantau ke Hongkong, bekerja sebagai pagawai apotek.

Komentar