Sehari-hari, urusannya berkutat dengan kaki, khususnya kaki anak-anak. Kliniknya di sebuah rumah sakit di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara nyaris tak pernah sepi pasien yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia dan juga luar negeri, seperti Nigeria, Spanyol, Hongkong, Singapura, dan lain-lain.
Namun, siapa
sangka pilihannya menggeluti masalah kesehatan kaki anak sebetulnya hanya
kebetulan. Dokter kelahiran 10 Mei ini sedikit pun tak pernah berniat menjadi
dokter. Cita-citanya dulu adalah menjadi seorang insinyur Teknik Sipil, yang
bisa membangun gedung. Bahkan, lulus dari SMA ia sempat ikut bimbingan belajar
khusus untuk memasuki jurusan Teknik Sipil.
Tapi saat mendaftar
di jurusan Teknik Sipil ia gagal diterima. Akhirnya, oleh ayah dari salah satu
temannya ia dibelikan formulir untuk masuk Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya,
Jakarta. Meidy pun mengikuti tes masuk pada jurusan itu dengan terpaksa. Bahkan
ia mengaku, saat itu asal jawab saja dalam mengerjakan soal-soal. Siapa sangka,
justru di jurusan itu ia diterima. Meski dalam hati kesal, namun akhirnya
orangtuanya tetap membiayainya untuk kuliah di Fakultas Kedokteran, karena
memang ia sudah tidak diterima di tempat lain.
Meidy pun
sempat mencoba lagi mendaftar kuliah Teknik Sipil di gelombang kedua.
Sebetulnya di kesempatan ini ia berhasil diterima. Tapi karena biaya kuliahnya cukup
mahal dan ia juga sudah terlanjur bayar kuliah di Fakultas Kedokteran, terpaksa
kesempatan itu tidak diambilnya. Saat itu ia masih berpikir, di tahun depan
bisa mendaftar lagi di Teknik Sipil yang ada di universitas negeri agar
biayanya lebih murah. Tapi ternyata, ketika mencoba tes di tahun berikutnya, ia
kembali menghadapi kegagalan. Setelah tiga kali gagal itulah, akhirnya ia pasrah
untuk tetap menjalani kuliah di Fakultas Kedokteran dengan penuh keterpaksaan.
Meidy punya
alasan mengapa ia tidak tertarik pada ilmu kedokteran. Ia mengaku sebenarnya
takut melihat darah dan melihat orang sakit. Namun, ia bersyukur meski demikian
bisa lulus tepat waktu. Prinsipnya, ‘Do
the best for today’, kerjakan yang terbaik dan harus bisa melewati
semuanya. Karena kalau ia tidak bisa melewatinya, berarti ia harus menjalani
masa kuliah yang makin lama, padahal ia tidak menyukai ilmunya. Setelah lulus, Meidy
lalu mengambil ujian S1 di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kemudian setelah
itu ia berencana menikah. Calon suami yang merupakan teman satu kampusnya
kebetulan saat itu sudah lebih dulu bertugas sebagai dokter di Ambon. Agar bisa
mendapatkan penugasan satu kota, sebelum menikah ia mengajukan surat ke Departemen
Kesehatan supaya bisa diberangkatkan pula ke sana.
Setelah
menikah, Meidy pun langsung ikut suaminya ke Ambon, dan berdinas di Departemen
Anak Rumah Sakit Umum Ambon. Hanya saja, ternyata di sana ia mengaku tidak
betah tinggal di kota yang tidak terlalu luas itu. Apalagi, saat minggu pertama
bertugas di Ambon, ia harus mengotopsi mayat korban tenggelam. Lokasi TKP-nya
cukup jauh, ia harus berjalan kaki memakai lentera melewati jalan setapak, dan
hanya ditemani satu orang mantri. Tidak tahan dengan kondisi seperti itu, Meidy
pun sempat menangis dan ingin kembali ke Jakarta. Tapi ketua IDI (Ikatan Dokter
Indonesia) setempat memintanya tetap bertahan di Ambon selama 2 tahun. Dan
ternyata, setelah 2 tahun mengemban tugas di sana, Meidy justru merasa sedih
saat harus meninggalkan pasien anak-anaknya yang sudah terlanjur dekat.
Sepulangnya
dari Ambon, Meidy hamil. Karena sebelumnya sempat mengalami keguguran, di
kehamilannya yang kedua ini ia tidak diperbolehkan bekerja dulu. Barulah
setelah anaknya lahir dan sudah agak besar, ia kembali bekerja di bagian Unit
Gawat Darurat RS St Carolus, Jakarta Pusat. Namun tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya
selalu siap dibutuhkan selama 24 jam, membuatnya tidak bisa fokus mendampingi
anaknya di rumah. Akhirnya, setelah setahun bekerja di sana, Meidy mengambil
spesialisasi Rehabilitasi Medik. Alasannya mengambil sepesialisasi itu memang
sederhana, yakni akar bisa punya lebih banyak waktu menjaga anaknya di rumah,
dan kelak tidak harus bertugas selama 24 jam di RS. Karena bila bekerja di
Rehabilitasi Medik ia hanya bekerja sampai sore saja, jadi masih punya waktu
untuk bertemu anak-anaknya.
Sebagai syarat
kelulusan spesialisasi Rehabilitasi Medik, ia harus mengambil sebuah riset.
Saat itu risetnya tentang kelainan lutut anak dengan judul “Variasi Sudut Lutut
Pada Usia Pertumbuhan”. Ia sengaja mengambil riset itu karena berpikir di situ ia
hanya berhubungan dengan anak yang sehat, bukan anak yang sakit. Setelah lulus
spesialis Rehabilitasi Medik, ia pun lebih fokus ke rehabilitasi kaki anak.
Pertama kali ia praktik di RS Siloam, Karawaci, Tangerang. Kemudian, agar bisa
lebih dekat dengan anak, ia lalu pindah ke klinik yang ada di dekat rumahnya.
Dan barulah, sejak tahun 2002 ia mulai praktik di sebuah Rumah Sakit di daerah
Kelapa Gading. Setelah praktik sesuai dengan spesialisasinya inilah, ia semakin
banyak belajar untuk mendalami terus ilmunya.
Praktik di bagian
rehabilitasi kaki anak, awalnya ia sama sekali tidak berpikir akan memiliki
banyak pasien. Apalagi umumnya orang memang belum terlalu peduli dengan masalah
kaki. Rehabilitasi kaki pun sebetulnya juga termasuk kebutuhan sekunder. Karena
selagi orang itu sehat dan masih bisa berjalan, itu sudah cukup. Umumnya para
dokter pun enggan praktik di bagian khusus kelainan kaki anak karena khawatir
tidak ada pasiennya. Sementara bagi Meidy, justru itulah yang dicarinya,
praktik di bagian yang tidak terlalu banyak pasiennya. Dan ternyata pula, di
bagian ini, justru ia bisa mempraktikkan ilmu tehnik sipil. Misalnya mengukur
sudut tungkai anak, dan sebagainya. Meidy pun merasa bekerja seperti insinyur,
karena di sini ia tidak memegang stetoskop. Dan sekarang ia baru bisa merasa
senang menjalani pekerjaanya, ditambah lagi pasien yang ditanganinya juga dalam
kondisi sehat.
Ruangan tempat
praktiknya pun ia desain tidak seperti ruangan lain di rumah sakit, tentunya sudah
seizin pemilik RS. Kliniknya pun juga tidak berada di lantai atas. Dalam
bekerja, Meidy juga tidak memakai baju khas dokter yang berwarna putih. Semua
tugas di kliniknya ia kerjakan sendiri, misalnya mencetak kaki untuk pasien.
Pasien yang datang juga selalu ia jelaskan, tentang bagaimana sebenarnya anak
yang tumbuh dengan kaki normal, sehingga sepulang dari kliniknya, para pasien tersebut
sudah mengerti planning teratment
yang harus dijalani.
Sebagian besar
pasiennya memang anak sehat yang ingin memiliki kaki yang bagus. Ada juga yang
kakinya salah bentuk, seperti menyerupai hurif X atau O, cara berjalannya masuk
ke dalam atau keluar, atau bentuk kaki yang flat,-bisa berjalan tapi tidak enak
untuk dilihat. Kebanyakan pula pasiennya adalah perempuan, karena ini juga
menyangkut urusan kosmetik. Rasanya, sia-sia bila wajah cantik tapi cara
berjalannya tidak bagus. Treatment yang
dilakukan adalah bisa dengan membuatkan kaki yang sesuai kebutuhan, seperti
memakai insole sepatu khusus, ankle foot arthosis, dan sebagainya. Sementara
untuk yang kakinya berbentuk O, bisa ditarik setiap harinya agar jangan sampai
dioperasi.
Meidy mengaku,
tidak punya resep khusus untuk sukses. Ia menjalani saja semua aktivitasnya
dengan senang, tidak terlalu muluk-muluk, dan selalu berusaha mengerjakan yang
terbaik. Banyak yang menilai sosoknya adalah orang yang perfeksionis dan
detail. Kini kedua anaknya, Kevin Triangto dan Ivan Triangto, juga masuk kuliah
di kedokteran. Dan itu merupakan pilihan mereka sendiri, bukan atas paksaan
dirinya maupun sang suami. Sementara sang suami pun terus men-support pekerjaannya. Misalnya, bila ada
sesuatu yang baru berkaitan dengan bidangnya, ia akan diberi tahu.
Meidy juga
belum memiliki rencana khusus apapun terhadap kliniknya. Meski yang menawari
untuk membuka franchise banyak, tapi
ia masih belum tahu apakah bisa mengembangkannya. Kini di tengah kesibukannya,
ia masih mempunyai waktu untuk suaminya, seperti makan siang bersama setiap
hari Rabu. Ia juga masih bisa berkumpul dengan teman-teman SMA-nya. Di akhir
pekan, waktunya dikhususkan buat keluarga, atau mengerjakan hobinya mengurusi
taman di rumahnya.
Komentar
Posting Komentar