PEREMPUAN INSPIRASI : CATUR YUDHA HARIANI - PENGGIAT LINGKUNGAN, Mendidik Warga Perkampungan Tentang Pentingnya Mengelola Sampah Dengan Baik
Jejaknya
sebagai penggiat lingkungan tercetak kuat di Sanur. Bersama warga, ia ‘menyulap’
daerah yang semula penuh sampah menjadi kampung yang bersih dan bebas sampah.
Bisa dibilang, sebagian besar hidup ibu satu anak asal Trawas, Mojokerto, Jawa
Timur ini didedikasikan untuk kelestarian lingkungan. Melalui LSM Pusat
Pelatihan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali yang dipimpinnya, Catur Yudha Hariani
mendidik warga perkampungan di Sanur tentang pentingnya mengelola sampah dengan
baik. Kini, juga dengan dukungan masyarakat, perjuangan kerasnya telah berbuah
hasil.
Sehari-hari
Catur memang disibukkan sebagai penggiat lingkungan dari LSM PPLH Bali.
Kegiatannya adalah mendidik masyarakat berpartisipasi menjaga lingkungan.
Caranya dengan mendampingi masyarakat membuat berbagai macam kegiatan yang
berpijak pada hal-hal yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Misalnya
pendampingan pengelolaan sampah umum serta mengajar murid SD, SMP, dan SMA
tentang berbagai macam isu lingkungan.
Catur
melakukan pendampingan pada masyarakat di Sanur Kaja, Denpasar, Bali tentang
pengelolaan sampah umum. Dan sekarang pengelolaan sampah di kawasan ini sudah
sangat berkembang dengan baik, bahkan desa tersebut berhasil menjuarai tingkat
nasional. Sebelumnya, di tahun 1998, PPLH Bali melakukan pemetaan persoalan
kepada masyarakat Sanur. Sebanyak 350 warga mereka beri kertas kosong, kemudian
diminta untuk mengeluarkan pendapat, tentang apa saja yang menjadi persoalan
lingkungan saat itu. Dari sanalah, akhirnya diketahui bahwa persoalan utama
yang sangat besar adalah soal sampah. Baru kemudian menyusul persoalan pedagang
acung (asongan), anjing liar, dan seterusnya.
Karena yang
pertama adalah masalah sampah, Catur kemudian melakukan pendekatan kepada warga
terutama ibu-ibu arisan di Gang Mawar, Sanur Kaja. Mereka ia ajak untuk
mengelola sampah rumah tangga sehingga tidak berceceran di pinggir jalan. Namun
sayangnya usaha tersebut tidak bisa berjalan baik. Kondisinya saat itu memang parah,
banyak warga tidak mau membayar iuran sampah sehingga sampah-sampah itu dibuang
begitu saja di pinggir jalan. Akibatnya sampah pun berserakan sehingga anjing
liar juga jadi tambah banyak di sana. Barulah pada tahun 2002, upaya ini mulai
bisa berjalan. Ceritanya dimulai setelah terjadi peristiwa bom Bali, di mana
saat itu keadaan ekonomi Bali menjadi lesu. Sebagian besar bapak-bapak terkena
PHK dari tempatnya bekerja, termasuk warga di daerah tempat tinggal Catur, di
Jalan Mawar tersebut.
Karena para
lelaki banyak yang menjadi pengangguran, maka untuk urusan ekonomi, mereka
menggantungkan kepada para ibu. Dari sanalah, Catur mulai masuk lagi dengan
mencoba mengajak ibu-ibu untuk mengelola sampah rumah tangga. Ia menjelaskan
bahwa jika pengelolaan dilakukan dengan baik, maka mereka bisa mendapat keuntungan.
Pertama, kompos yang dihasilkan bisa dipakai untuk tanaman di rumah
masing-masing sehingga tanaman jadi subur. Termasuk menyuburkan tanaman toga di
rumah masing-masing warga. Sedangkan sampah yang nonorganik, misalnya kertas
dan plastik, bisa dijual dan hasilnya bisa dikumpulkan di kampung.
Apa yang
ditawarkan Catur itu ternyata bisa diterima oleh para ibu. Sejak itu, warga
bersedia melakukan swakelola sampah rumah tangga mereka. Sebagai depo sampah,
ada seorang warga yang bersedia meminjamkan tanah seluas sekitar 250 meter
persegi. Dan Catur juga bersyukur, ternyata aksi ibu-ibu tersebut berhasil,
bahkan mendapat apresiasi dengan menjuarai perlombaan Kampung Bersih tingkat
nasional dari Kementerian Lingkungan Hidup serta Desa Sadar Lingkungan tingkat
propinsi. Karena keberhasilan itu, desa adat kemudian memberikan tanah adat
seluas sekitar 670 meter untuk depo sampah yang baru. Bersamaan dengan itu,
warga yang ikut juga berkembang menjadi 6 banjar (sekitar 6 Rukun Warga).
Bahkan kini pengelolaan kompos itu sudah menjadi percontohan dari berbagai
daerah yang ingin mengetahui dan belajar tentang pengelolaan sampah secara
mandiri. Di sana, pengolahan sampahnya tidak lagi manual tetapi sudah
menggunakan mesin bantuan dari pemerintah. Ke depan, depo sampah di Sanur
tersebut akan menjadi laboratorium pengolahan sampah. Jadi, semua orang termasuk
anak-anak bisa datang ke sana untuk belajar sekaligus melakukan penelitian.
Catur juga
memiliki tim serta relawan di berbagai tempat. Secara rutin, ia mengisi mata
pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah dampingan di Badung dan Denpasar.
Sebelumnya bersama rekan tim dan relawan ia sudah membuat modul muatan lokal
tentang lingkungan, mulai dari soal makanan sehat, pertanian, kelautan,
mangrove, terumbu karang dan masih banyak lagi. Bahkan untuk anak sekolah
dasar, saat memberikan materi tentang makanan sehat, murid-murid tersebut tidak
sekedar ia ceritakan saja, tapi sekaligus ia ajak jalan-jalan ke pasar
tradisional. Kepada para murid itu, ia menjelaskan bahwa makanan yang mereka makan
di rumah itu sebelum sampai di meja makan, prosesnya dengan lebih dulu melalui transaksi di pasar
tersebut. Selain itu ia juga mengajarkan kepada mereka untuk mencintai pasar
tradisional, tidak hanya mal. Ia menjelaskan bahwa pasar tradisional itu justru
milik bersama, sedangkan mal milik perorangan.
Karena dirinya
aktif mengisi di sekolah-sekolah, saat ini Catur pun juga dipercaya oleh Kementerian
Lingkungan Hidup untuk memverifikasi sekolah-sekolah di Bali. Saat ini
Kementerian Lingkungan Hidup setiap tahunnya mengadakan lomba sekolah Adiwiyata,
yaitu yang berwawasan lingkungan, dari SD sampai SMA. Dan untuk wilayah Bali,
kebetulan PPLH yang diminta menjadi anggota untuk melakukan verifikasi, untuk
menentukan mana saja sekolah yang layak diberi penghargaan Adiwiyata.
Sejak tahun
1990 setamas SMA, Catur memang sudah terjun di bidang lingkungan, dengan
bergabung pada PPLH Seloliman. Ceritanya, saat itu di Trawas, Mojokerto yang
tidak jauh dari rumahnya, baru saja didirikan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup
(PPLH) Seloliman. Yang menjadi pelindungnya saat itu adalah para tokoh di
berbagai lintas bidang ilmu. Salah satunya Prof. Siti Sundari Rangkuti dari
Unair, sedangkan ketuanya Drh. Suryo Wardoyo (alm) serta arsitek dari Jerman
bernama Hans Ulrich Fuhrke. Sementara yang meresmikan saat itu adalah Pangeran
Bernard dari Belanda, demikian pula foundingnya WWF dari Belanda pula. Karena
PPLH Seloliman berada di tepi hutan, maka isu utama yang dikembangkan adalah
soal pengelolaan kehutanan, pertanian, air, dan sebagainya. Isu lingkungan yang
lain juga dibahas, tapi yang utama tetap soal pertanian. Tujuan utamanya tentu
untuk mendidik masyarakat dari berbagai bidang untuk sadar lingkungan.
Dan pada
akhirnya, PPLH Seloliman berkembang menjadi sebuah lembaga yang maju. Tanah
garapan seluas sekitar 2 hektar yang dulu tandus kemudian menjadi sangat subur,
masyarakat diajari mengelola secara organik. Ada pula penginapan, cafe dan sebagainya, yang semuanya itu
juga melibatkan masyarakat sekitar. Setelah berkembang dengan baik, maka di
tahun 1996 PPLH Seloliman mengembangkan sayap ke daerah Pontondo, Kabupaten
Takalar, Makassar. Catur yang saat itu masih di bagian administrasi dan keuangan,
bersama teman-temannya lalu ditugaskan ke sana untuk membantu sistem seperti
yang di Seloliman. Karena kawasan di Takalar itu adalah laut dan nelayan, maka
isu yang digarap di sana adalah soal laut pula. Dan bekat perjuangan keras,
PPLH Takalar kini juga sudah berkembang baik.
Pada tahun
1997, Menteri Lingkungan Hidup saat itu Sarwono Kusumaatmaja, datang ke
Seloliman. Pak Sarwono kagum dengan pola pendidikan yang diterapkan. Menurut
sang menteri, lembaga seperti PPLH Seloliman ini sangat penting untuk mengubah
perilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Dari sanalah, Pak Suryo dan
Pak Ulrich berangkat ke Sanur, Bali yang kemudian dijadikan sebagai kawasan
pengembangan. Di sana isu lingkungannya sangat kuat, mulai dari persoalan sampah,
pedagang acung (pedagang keliling), sampai masalah anjing liar. Lalu di tahun
1997 itu juga berdirilah PPLH Bali di Sanur. Saat itu ketuanya tetap Pak Suryo
dan Pak Ulrich, sementara Catur hanya bertugas sebagai pelaksana harian saja.
Karena saat itu belum memiliki lahan, terpaksa mereka menyewa sebuah hotel
kelas melati 20 kamar. Selain sebagai kantor, hotel tersebut juga mereka kelola
dan disewakan untuk umum. Keuntungannya dipakai sebagai modal menjalankan roda
ekonomi lembaga. Dan semuaya bisa berjalan dengan baik. Banyak rekan-rekan LSM
dari daerah atau Bali sendiri bila ingin mengadakan acara di Bali memilih tempat
mereka. Namun, setelah sekian tahun mengelola, pada akhirnya mereka haus menyerahkan
kembali hotel tersebut kepada pemiliknya. Pasalnya setelah terjadi peristiwa
bom Bali, saat itu Bali sangat sepi dan jarang ada tamu yang datang. Maka
daripada merugi, lebih baik dikembalikan saja. Dan pada tahun 2002 Catur pun
ditunjuk untuk menjadi Direktur PPLH Bali.
Catur memang
nampak begitu getol mengabdikan diri di lembaga PPLH ini. Semua itu semata-mata
sebagai panggilan jiwanya, bukan karena materi. Ia masih ingat pesan mendiang
Pak Suryo, yang mengatakan, bila ingin mencari uang tempatnya bukan di lembaga
ini. Tapi bila ingin memberikan sesuatu demi lingkungan, maka benar di sinilah
tempatnya. Kata-kata itu sampai saat ini masih terus ia pegang. Lagipula, Catur
berpikir bahwa bukan alam yang tergantung kepada manusia, tetapi manusialah
yang tergantung kepada alam. Jadi, kalau bukan kita yang melestarikan alam,
lalu siapa lagi ? Dan Catur akan terus berjuang untuk lingkungan sampai kapan
pun sepanjang ia masih mampu.
Komentar
Posting Komentar