Mengubah musibah menjadi anugerah bukanlah pekerjaan mudah. Namun, Sri Lestari, membuktikan itu tak mustahil dilakukan. Meski lumpuh karena paraplegia, semua aral berhasil ia lewati. Ia tak luruh dalam keputus asaan ataupun keterpurukan. Ia justru menjadikan keterbatasannya sebagai pelecut untuk mengabdikan diri bagi lingkungan, khususnya para penyandang paraplegia lain. Semuanya berawal pada 12 Februari 1997. Tak pernah sekalipun terlintas di benak Sri Lestari bakal mengalami kecelakaan yang mengubah total kehidupan dan nasibnya. Perempuan asal Solodiran, Manisrenggo, Klaten, ini mengalami kecelakaan lalu lintas saat mengantarkan temannya.
Tiga ruas
tulang punggungnya hancur. Beberapa kali tindakan operasi tak mampu menyelamatkannya
dari kelumpuhan. Sejak saat itu, perempuan kelahiran 10 Desember 1973 ini harus
menghadapi kenyataan lumpuh akibat paraplegia (penurunan fungsi motorik atau
fungsi sensorik dari gerak tubuh). Saat itu, Sri tak tahu pasti kondisi
tubuhnya yang lumpuh. Ia hanya memperoleh sedikit penjelasan bahwa ia harus
menjalani perawatan, yang dilanjutkan dengan rehabilitasi. Namun, orangtuanya
sepakat mencari solusi dengan pengobatan alternatif. Jadi, akhirnya saat itu ia
pun keluar dari rumah sakit.
Berbagai pengobatan
alternatif pun dijalani Sri, apalagi ia melihat semangat kedua orangtuanya,
Muji Raharjo dan Suminem, yang terus menyala untuk membebaskan putrinya dari
paraplegia. Meski tinggal di kampung yang akses jalannya sulit, setiap kali
mendengar ada pengobatan alternatif, dekat maupun jauh, langsung didatangi.
Kedua orangtuanya terus meyakinkan bahwa mereka bisa menjual segala yang
dimiliki asal Sri bisa sembuh. Karena mereka yakin setiap penyakit pasti ada
obatnya. Tapi sementara saat itu Sri sudah yakin, ia sebetulnya bukan sakit
tapi sarafnya memang sudah terputus. Meski saat itu Sri sendiri tidak tahu
persis akan kondisinya. Hanya keluarganya yang mengetahui.
Sri memiliki
banyak pengalaman tak enak saat harus berjuang dan menjalani pengobatan
alternatif. Beberapa kali ia harus pergi ke luar kota dan melihat orangtuanya
mengeluarkan banyak uang demi pengobatannya. Dari menyewa mobil, biaya makan di
perjalanan, sampai biaya pengobatan. Pernah juga ia dibawa beberapa kali untuk
dipijat. Meski lumpuh, tapi gerak refleks tubuh Sri masih cukup tinggi. Jadi
saat dicubit, tubuhnya masih bisa bergerak meski tanpa rasa. Pernah, seorang
ahli pengobatan alternatif marah saat Sri mengatakan bahwa ia tidak merasakan
perubahan apa-apa. Padahal, ahli pengobatan itu sempat melihat kakinya
merespons. Ia mengira Sri berbohong. Beberapa kali Sri juga mencoba pengobatan
alternatif tak jauh dari kediamannya. Kalau jaraknya dekat, ia dibawa dengan
motor dengan cara tubuhnya diikat pakai selendang agar tidak jatuh. Dari
berbagai macam pengobatan alternatif yang pernah dicobanya, ada salah satu
pengobatan yang sangat membekas dalam ingatan Sri. Yaitu saat ia berobat selama
8 bulan di Bojonegoro, Jawa Timur.
Selain biaya
yang cukup besar, akses kendaraan ke tempat pengobatan tersebut juga sangat
sulit karena berada di dalam hutan. Sri bahkan harus naik kursi yang diikat
bersama bambu dan dipanggul layaknya seorang puteri kerajaan, menyusuri ruas
jalan kecil dan menyeberangi sungai. Sayangnya, setelah 8 bulan berobat di
sana, hasilnya tak juga tampak. Putus asa dan rasa benci pada diri sendiri
sempat melanda Sri. Ia menganggap, dirinya hanya menjadi beban bagi kedua
orangtuanya. Berbagai pengobatan yang dijalaninya selama bertahun-tahun hanya
membuat kondisi ekonomi keluarganya semakin terpuruk. Apalagi orangtuanya
hanyalah petani. Sri sampai tidak tega, setiap kali habis panen, uangnya
langsung habis hanya untuk membayar hutang pengobatannya. Sri cukup terpukul,
hidupnya bukannya membahagiakan orangtuanya, tapi malah menjadi beban. Mau ke
mana-mana pun, ia harus digendong bapak, ibu, atau adik-adiknya.
Sulung dari
empat bersaudara ini pun mengaku lelah menjalani berbagai pengobatan tanpa
hasil. Namun, meski tak berdaya, Sri bertekad, setidaknya bisa meringankan
beban kedua orangtuanya. Sampai suatu hari ada tetangga yang menyarankannya
belajar membuat handycraft. Kebetulan
ada guru yang bisa mengajarkan merajut dan membuat kristik. Sri pun akhirnya
berkenalan dengan Puji, seorang guru SLB di Manisrenggo. Dialah yang mengajari
Sri tanpa minta bayaran sama sekali. Seiring berjalannya waktu, Sri pun mulai
sibuk membuat berbagai kerajinan seperti mote, rajut, hingga kristik. Kadang
ada tetangga yang melihat dan membelinya, kadang ada juga keluarga yang membeli
tapi membayarnya dengan baju. Yang pasti, saat itu Sri berpikir ia harus mulai
bangkit dan mau bekerja karena sudah punya keterampilan.
Sri juga
mendengar informasi tentang Jaka Ahmad, sesama difabel yang memiliki jaringan
yang luas. Waktu itu Sri sama sekali tidak mengetahui dunia luar, karena tidak
punya banyak teman. Ia lalu menyampaikan kepada Jaka bahwa dirinya ingin
melakukan kegiatan lain, lebih dari sekedar membuat handycraft. Gayung pun bersambut. Lewat Jaka, Sri bertemu dengan
Bagyo, Kepala Sekolah Yayasan Asuhan Anak-Anak Tuna Netra (YAAT), yang kemudian
menawarinya menjadi relawan. Sri pun akhirnya menjadi relawan yang bertugas
memasukkan data ke program Job Acces With
Speech (JAWS), sebuah perangkat lunak yang membantu tuna netra untuk
menggunakan komputer.
Sejak mulai
bekerja sebagai relawan tahun 2007 itulah, Sri pun makin yakin bahwa ia bisa
maju. Dari Bagyo, Sri mendapat informasi tentang tawaran menerima kursi roda
dari Wheel For Humanity, sebuah organisasi internasional yang mengadvokasi hak
penyandang disabilitas di negara-negara berkembang. Tak berapa lama, Sri
diundang untuk menghadiri penyerahan kursi roda dari Wheel For Humanity, yang
bekerja sama dengan Pusat Pengembangan dan Latihan Rehabilitasi Bersumberdaya
Masyarakat (PPRBM) Solo. Sayangnya, Sri tak bisa bertemu dengan perwakilan dari
Wheel For Humanity. Namun, di benak Sri, suatu hari ia ingin bisa menyampaikan
rasa terima kasihnya langsung kepada Wheel For Humanity.
Di acara
tersebut, Sri berkenalan dengan Ninik, salah satu relawan Griya Manunggal,
Yogyakarta, dan diajak untuk bergabung. Sayangnya, Sri tak bisa menerima
kesempatan tersebut karena lokasi yang jauh dan belum memiliki kendaraan
sendiri. Melihat semangat Sri yang besar, Ninik pun memberinya informasi bahwa
ada orang yang bisa membuat kendaraan roda dua yang dimodifikasi bagi para
difabel seperti dirinya. Tapi ternyata, bentuk sepeda motor itu besar, bukan
jenis sepeda motor bebek. Namun, Sri malah dapat informasi lain bahwa di
Yayasan Carina Klaten. Ada sepeda motor modif roda tiga. Kedua orangtua Sri pun
ikut termotivasi dan mengizinkan apabila memang ada alat transportasi yang bisa
digunakan Sri.
Sri kemudian
datang ke Yayasan Carina Klaten dan melihat sepeda motor roda tiga tersebut. Dan
ia sungguh bahagia ketika akhirnya diperbolehkan membawa pulang sepeda motor
tersebut setelah sebelumnya diajari. Sri bisa memiliki sepeda motor itu dengan
subsidi 50%. Setelah mempunyai motor modif, Sri pun berniat berbagi dengan
sesama penderita paraplegia. Hidupnya jadi lebih bersemangat karena kemana-mana
ia tidak perlu lagi minta antar jemput adiknya. Ia bisa mandiri dan aktif
sebagai relawan. Sri juga punya keinginan membantu teman-teman sesama penyandang
paraplegia agar bisa mendapatkan kursi roda gratis seperti dirinya.
Tempat pertama
yang ia kunjungi setelah bisa mengendarai motor modif adalah kampung
paraplegia, tempat teman-teman korban gempa Yogya 2006. Saat ke sana, Sri
dikawal keponakannya. Sri merasa senang sekali bisa berada di sana karena bisa
bertukar cerita sambil saling menguatkan. Baginya itu sangat luar biasa. Sri
pun juga akhirnya berhasil mendapatkan nomor kontak Wheel For Humanity dan
bertemu perwakilannya di Indonesia. Bahkan ia langsung ditawari menjadi tenaga
lapangan untuk mendata anak-anak cerebal
palsy di Yogya. Jadi pada tahun 2009 itu, ia memantau daerah Sleman selama
tiga bulan, mencari 3 anak cerebal palsy
di setiap kecamatan. Sri juga tercatat pernah menjadi relawan di Caritas/Karina
KAS (Keuskupan Agung Semarang) Solo sejak Desember 2008. Di sinilah, Sri
bermimpi melakukan petualangan dengan sepeda motor modifnya dan berbagi cerita
dengan para penderita paraplegia di seluruh pelosok tanah air.
Bulan November
2008, United Cerebal Palsy Roda Untuk Kemanusiaan (UCP RUK) Yogyakarta,
Indonesia resmi dibentuk. Sri pun bergabung dan bekerja sebagai relawan yang
berkantor di Trihonggo, Yogyakarta. Ia langsung mendapatkan tugas mendata para
penyandang paraplegia yang butuh kursi roda. Sejak tahun 2010, Sri diangkat
sebagai staf dan hingga kini aktif bekerja mewujudkan mimpinya lewat UCP RUK.
Keinginan Sri untuk berbagi dengan para penyandang paraplegia di seluruh tanah
air akhirnya terwujud. Dua tahun berturut-turut, 2013 dan 2014, dengan
mengendarai motor modifnya, Sri melakukan touring
ke seluruh wilayah Indonesia, berbagi dan mensosialisasikan aksebilitas bagi
teman-teman difabel.
Beruntung,
satu per satu mimpinya bisa terwujud. Semuanya memang butuh proses, kerja
keras, dan semangat. Sri bisa berbagi dan bertemu teman-teman paraplegia di
pelosok dan menyemangati mereka. Sebisa mungkin sepeda motornya ia bawa. Ia
merasa puas bila melihat semangat di wajah para penyandang paraplegia saat
melihatnya membawa sepeda motor. Perjalanan touring
pertama Sri adalah dari Jakarta hingga Denpasar, bulan Mei tahun 2013.
Perjalanan sejauh 1.200 km, dan singgah di 21 kota di pulau Jawa dan Bali itu
banyak memberinya pengalaman tak terlupakan. Ia menyebut perjalanan itu sebagai
perjalanan tanpa batas. Di temani adik laki-lakinya, Kabul Santoso dan Peter
Wall, warga negara Kanada yang mendokumentasikan perjalanannya, Sri berkeliling
memberikan motivasi kepada teman-teman difabel, paraplegia dan keluarganya.
Perjalanan
panjang kedua Sri dilakukan tahun 2014. Ia melakukan perjalanan lintas
Sumatera, dimulai dari Aceh dan berakhir di Jakarta. Awalnya, banyak yang
mengkhawatirkan keselamatannya. Tapi ternyata, meski di sana banyak becak motor,
tetapi orang-orang tetap kagum melihat motor yang dikendarai Sri. Bahkan ada
yang menyebutnya Lady Bikers. Paling
tidak, masyarakat awam tahu misi yang ia bawa. Teman-teman komunitas motor yang
mengikuti kegiatannya akhirnya juga melihat bahwa aksebilitas itu penting bagi
teman-teman difabel sepertinya. Misalnya, ketika hendak ke kamar mandi, akses
dan ruangan yang dibutuhkan seperti apa. Sri bangga akhirnya dapat mewujudkan
keinginannya berbagi dengan sesama penderita paraplegia di tanah air. Terlebih,
Sri kini juga mendapat kepercayaan dari UCP RUK sebagai tim advokasi.
Pekerjaan yang
kini dilakoninya memang sesuai dengan apa yang Sri inginkan. Sebenarnya masih
ada lagi satu keinginannya, yakni menulis buku. Saat ini Sri sudah memiliki
rekaman video, tapi ia sadar tidak semua daerah bisa mengakses video. Sementara
kalau buku bisa dibaca dan diperoleh di mana saja. Sri ingin membagikan
pengalamannya agar para penyandang paraplegia bisa mandiri dan sehat. Melalui
buku, tak ada lagi batasan jarak ataupun akses. Ia berharap, mimpinya untuk
membuat buku ini bisa segera terwujud.
Komentar
Posting Komentar