WANITA DAN PROFESI : NI KADEK KRISTY HELLEN WINATASARI, Menggabungkan Ilmi Memasak Dengan Ilmu Psikologi




Di tangan master psikologi dan master cake decorating ini, memasak menjadi kegiatan menenangkan sekaligus menyenangkan. Berkat beragam teknik psikologi yang ia terapkan, ibu dua anak ini mampu membuat peserta kursus lebih fokus dan kreatif.

Awalnya, wanita yang biasa disapa Hellen ini, bercita-cita ingin menjadi dokter. Tapi sayangnya ia termasuk orang yang jijikan dan juga takut darah. Kemudian ia berpikir, ini berarti ia harus menyembuhkan dirinya dulu karena sadar, pasti ada problem pada dirinya kalau sampai begitu takutnya pada darah. Akhirnya Hellen pun memilih pendidikan psikologi di Universitas Padjajaran, Bandung. Saat kuliah ia sangat tertarik dengan transpersonal psikologi. Karena merasa ilmu itu melewati semua tahapan dan alat-alat ukur. Transpersonal tidak banyak mengunakan alat ukur dan justru lebih banyak bisa menyembuhkan orang. Saat masih kuliah pula, di tahun 1998, Hellen sempat menjadi trainer mindfullness melalui sebuah yayasan yang ia buat sendiri. Selain itu ia juga sempat menjadi presenter di TVRI Bandung.

Tahun 1999, setelah lulus S1 ia langsung melanjutkan ke S2, tapi tidak selesai karena harus mengikuti suami yang tugas ke Jakarta di tahun 2002. Di Jakata, Hellen sempat menjadi presenter sebuah tayangan infotaintment. Sampai kemudian, tahun 2004 Hellen pindah ke Malaysia karena suaminya dipindah ditugaskan ke sana. Suaminya yang bekerja di sebuah perusahaan oil and gas, memang membuatnya sering berpindah-pindah tempat tugas. Hellen dan suaminya memang berkomitmen bahwa mereka harus selalu tinggal bersama. Di sana mereka tinggal di kawasan Kuantan, Pahang. Lokasinya sangat indah, tapi jauh dari mana-mana. Mereka menempati sebuah rumah yang ada di dalam komplek perusahaan. Bila ingin berbelanja atau mengantar anak seolah, Hellen harus menyetir sendiri sejauh 60 kilometer. Karena tidak ada kesibukan, di sana Hellen menemukan waktu untuk melukis. Kebetulan ia memang suka melukis sejak dulu. Selain itu ia juga mengajar mindfulness kepada penghuni kompleks. Hellen mengibaratkan dirinya seperti tanaman lotus yang disukainya sejak kecil. Lotus adalah bunga yang cantik walau hidup di lumpur. Jadi prinsipnya di mana pun ia berada harus tetap bersikap positif dan produktif. Itu ia buktikan dengan tetap mengajar, melukis, dan melakukan beragam kegiatan positif lainnya.  

Hellen menceritakan, di Kuantan, bahkan untuk jajan pun susah. Jadi apabila ingin makan sesuatu harus membuat sendiri. Ia pun sempat merasakan kangen dengan masakan negeri sendiri. Karena terlalu lama tinggal di luar negeri, bila melihat sambal terasi saja rasanya sudah seperti melihat emas. Hal yang sama pun dirasakan oleh ibu-ibu lain yang ada di sana. Di dalam kompleks itu banyak ekspatriat dan mereka membentuk komunitas. Jadilah mereka belajar memasak bersama. Di situlah Hellen mendapatkan resep masakan Thailand, India, dan sebagainya. Belajar memasak membuatnya bisa membawa makanan yang bukan itu-itu saja setiap kali ada pertemuan seperti potluck party.

Sebenarnya perusahaan tempat suaminya bekerja memang memberikan beragam kursus, termasuk memasak. Namun kesempatan belajar memasak yang ia bayar sendiri itu baru muncul di tahun 2007 lalu, saat ia pindah ke Kuala Lumpur. Di Kuala Lumpur ia juga sempat bekerja di salah satu perusahaan Malaysia yang kebetulan membutuhkan seorang psikolog untuk memberikan terapi bagi kliennya. Perusahaan internasional itu bergerak di dunia kecantikan. Di sana Hellen memberikan terapi untuk memunculkan inner beauty mereka. Namun, setahun kemudian ia memutuskan berhenti bekerja karena kasihan dengan anaknya. Ia akhirnya memilih kembali megambil S2 di Universitas Malaya tahun 2009. Ia mengambil paket yang cepat karena khawatir kalau harus pindah rumah lagi sewaktu-waktu.

Karena kuliah tidak menghasilkan uang, muncul keinginan untuk melakukan sesuatu yang menghasilkan uang. Walau gaji suaminya cukup, tapi ia memang suka sekali bekerja untuk menghasilkan uang. Setelah dipikir-pikir, mulai tahun 2010 ia pun membuat usaha katering rumahan. Ketika itu, ia memberi nama usahanya Hell’s Kitchen, diambil dari namanya sendiri. Hellen mengaku, dirinya kebetulan memang tidak suka menonton televisi, jadi tidak mengetahui kalau ada acara dengan nama serupa. Sampai kemudian ada yang memberitahunya dan ia pun segera mengganti namanya dengan Hellen Creation atau H Creation. Ia menerima pesanan mulai dari ibu-ibu pengajian, perusahaan tempat suaminya bekerja, sekolah anak-anaknya, dan lain-lain.

Di tahun 2011, Hellen mengambil kursus cake decorating untuk mendapatkan certified baking. Meskipun ia mengikuti kursus di Malaysia, tapi sertifikatnya berasal dari UK. Kursusnya terlihat berat, tapi karena ia suka menjalaninya jadi tidak terasa. Project-nya dalam sehari harus membuat satu cake dan bisa pulang sampai tengah malam. Semuanya ia lewati demi mendapatkan gelar master cake decorating. Ia menjelaskan, tidak gampang membuat satu cake setiap harinya. Terlebih yang masuk kelas itu biasanya profesional dan instruktur. Walau mengikuti kursus, usaha kateringnya masih terus berjalan. Pesanan tumpeng dan beragam makanan lain bisa ia buat. Acara arisan sampai wedding pun ia terima. Kebetulan para pelanggannya suka dengan hasil masakannya. Dan karena ia juga rajin mem-posting hasil masakannya di media sosial, semakin lama makin banyak orang yang memesa, juga dengan jumlah pesanan yang semakin besar, sampai ia kewalahan. Akhirnya Hellen pun dibantu 2 TKW dan 2 karyawan part time. Meski begitu, ia tetap saja masih kewalahan.

Di situlah ia merasa beruntung pernah belajar psikologi. Ilmu itu membantunya menyelesaikan semua pesanan sesuai target. Pernah dalam satu hari ia bisa menyelesaikan pesanan lima buah kue. Itu ia bisa kerjakan karena sebelum mengerjakan, ia menterapi dirinya sendiri dulu. Bila alam sadar yang bekerja pasti sudah hopeless dan bingung bagaimana cara mengerjakannya. Tetapi dengan melakukan relaksasi, trance, dan berkomunikasi dengan diri sendiri, ternyata bisa dan sudah ia buktikan sendiri. Hasilnya, tahun 2010 ada majalah Malaysia yang memintanya mengisi artikel dan membeli resepnya, terutama untuk resep-resep masakan Indonesia. Tahun 2011, sebuah publisher Malaysia menghubunginya untuk membuat buku. Tak sampai di situ, kesibukannya bertambah setelah tahun 2012 ia membuat kelas terapi psikologi. Alasannya karena ia merasa sayang bila ilmu psikologinya tidak digunakan sementara ia sudah berinvestasi di situ.

Lalu Juni 2013, suaminya dipindah tugaskan lagi ke Indonesia. Tapi saat itu Hellen tidak mau pindah dulu karena pesanan kue dan kelas kursus saat itu sedang banyak-banyaknya. Alasan lainnya, anak-anaknya juga belum dapat sekolah di Indonesia. Karena di Malaysia anaknya bersekolah di British School, maka ketika kembali ke Indonesia harus melanjutkan ke sekolah yang sama. Kasihan kalau harus meneruskan sekolahnya di sekolah lain. Hellen baru menyusul suaminya pindah ke Indonesia bulan Agustus 2014. Bahkan di hari kepindahannya itu, ia masih ada kelas kursus.

Setelah pindah, Hellen melihat bahwa Indonesia itu beda dengan Malaysia. Di sini banyak orang kreatif dan pebisnis makanan. Ia kemudian berpikir untuk membuat bisnis fondant dengan nama D’NKH (The Ni Ketut Helen) pada September 2014. Setelah launching, dalam 3 bulan hasilnya bagus dan banyak permintaan menjadi reseller. Caranya berpromosi melalui komunitas. Kebetulan juga ia mendapat banyak testimoni dari top baker Indonesia sehingga banyak yang percaya. Alasannya berbisnis fondant, karena di Indonesia banyak sekali yang suka membuat kue, tapi fondant yang berkualitas, murah, dan halal jarang bisa didapat. Fondant itu Hellen buat sendiri dibantu 5 asisten. Jumlah fondant yang ia hasilkan sendiri tergantung pesanan. Rata-rata dalam sehari ia bisa membuat fondant sampai 30 kilogram. Satu kilonya ia jual Rp 75.000 sampai Rp 125.000 tergantung warnanya. Bahannya langsung ia impor dari Malaysia. Dari segi harga lebih murah, karena ia titip pada temannya dan terjamin kehalalannya.


Tidak lama kemudian, ia membuka kelas kursus memasak. Itu sebenarnya juga muncul akibat teman-temannya yang ada di sini ingin belajar darinya. Hanya saja, karena di Indonesia sudah banyak sekali kelas kursus, dan sangat banyaknya orang-orang yang kreatif dan cerdas, oleh karena itu ia berpikir untuk membuka kursus yang menggabungkan psikologi dengan memasak. Dalam satu kelas, ia mengajarkan apa yang selama ini ia lakukan. Sempat ia mencoba mengajar beberapa kelas dengan tidak memberikan ilmu self empowering, dan hasilnya justru melelahkan bagi semua orang, termasuk dirinya sebagai guru. Tapi ketika ia memberikan self empowering kepada semua peserta, kursus pun berjalan lancar. Jadi, sebelum memulai kursus, peserta dibawa ke alam yang sangat relaks dan diberikan sugesti positif bahwa mereka datang ke tempat kursus harus bisa fokus dan menganggap kelas yang diikutinya mudah. Hellen mengatakan, konsep teori ini sebenarnya simpel, karena manusia pada dasarnya memang mampu mencapai tingkat optimalnya. Sehingga dia akan bekerja lebih kreatif, cepat, dan efektif. Ke depannya, Hellen berencana untuk membuat kelas self empowering tersendiri. Selain itu ia juga ada rencana untuk membuat buku. Tapi sayang, ia mengaku tidak suka menulis. Beruntung, banyak orang yang menawarkan diri membantunya menulis buku secara gratis.

Bekerja di dunia yang lekat dengan dapur, Hellen sendiri mengaku awalnya ia tidak bisa memasak. Bahkan menyalakan kompor saja tidak tahu. Ia baru bisa memasak beragam makanan, ketika tinggal Malaysia. Karena saat di Indonesia ia memang tidak dilatih untuk terjun ke dapur. Bahkan, menurutnya imej orang ke dapur itu jelek bagi masyarakat yang tinggal di pulau Bali. Apalagi bila bekerja membuat kue, itu sangat direndahkan. Untungnya karena ia tinggal di luar pulau Bali, hal itu tidak jadi masalah, termasuk juga dengan keluarga besarnya. Kalaupun masih ada yang meremehkan pekerjaannya, ia tetap santai saja. Sejauh ini belum ada hambatan yang berarti dalam menjalankan usahanya, termasuk ketika ia harus mendapatkan label halal dari MUI. Karena ia lama tinggal di luar negeri, maka harus membuat KTP dan NPWP terlebih dahulu.

Karena ia bisa bekerja dari rumah, tentu saja ia jadi punya banyak waktu untuk keluarga. Beruntung, suami dan anak-anaknya tidak pernah komplain dengan kesibukannya. Mereka sangat mendukung langkahnya sehingga ia jadi lebih bebas dalam berkreasi. Ia tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk membantu pekerjaannya. Asalkan mereka tidak mengganggunya saat bekerja saja itu sudah lebih dari cukup. Untuk mengisi hari libur, bersama keluarganya bisanya ia melakukan traveling, seperti ke Bali, sekalian pulang ke kampung halamannya. Ia sangat senang ketika bisa menghabiskan waktu di Bali, karena setiap hari harus bertemu dengan suasana Jakarta yang selalu macet. Kegiatan yang paling sering ia lakukan bersama keluarga setiap hari Minggu adalah, pergi ke tempat ibadah sama-sama. Sisanya mereka membuat kegiatan sendiri di rumah. Anak-anaknya tidak suka pergi ke mal, karena sejak awal Hellen tidak pernah memberikan uang untuk shopping selain untuk membeli buku. Hellen sendiri tidak suka menonton televisi, bahkan ke bioskop saja mungkin baru dua kali dalam seumur hidupnya. Sementara anak-anaknya suka sekali menonton di bioskop. Karena ia dan suaminya tidak suka ke bioskop, maka ia memperbolehkan anak-anaknya pergi ke bioskop bersama teman-temannya.  

Komentar