WANITA DAN PROFESI : ASTER DAMAYANTI PURNAMASARI, - Instruktur Pilot Dan Kru Pesawat Perempuan Pertama Di Indonesia
Hidup pas-pasan di negeri kangguru dilakoni sulung dari empat bersaudara kelahiran Pekanbaru, 18 Oktober 1976 ini demi mengejar cita-cita menjadi pilot. Ketika mimpinya terwujud, penyakit fibromyalgia membuatnya tak lagi dapat menerbangkan pesawat. Meski begitu, ibu satu anak ini tidak meninggalkan dunia penerbangan yang dicintainya. Ia kini menjadi perempuan pertama yang menjadi instruktur bagi pilot dan flight attendant.
Ketika masih
kecil, Aster kerap mengikuti ayahnya bepergian ke luar negeri dengan pesawat.
Ketika ia sudah bisa bicara dan ditanya apa cita-citanya, sejak itu pula ia
selalu menjawab ingin menjadi pilot. Kebetulan ketika mengikuti ayahnya, ia
sering dipanggil untuk masuk ke kokpit oleh sang pilot. Namun setamat SMA di
tahun 1995, Aster justru malah ingin menjadi seperti ayahnya dengan bekerja di
perusahaan oil and gas. Jadi ia mencoba
mendaftar kuliah ke Fakultas Geologi ITB. Tapi ternyata hasil UMPTN-nya ia malah diterima
di UNPAD Fakultas Psikologi. Karena merasa tidak cocok, Aster kemudian
mendaftar lagi ke ITENAS dan UNPAR, keduanya Fakultas Arsitektur. Dan akhirnya
ia diterima di ITENAS.
Ketika mulai
kuliah, karena matanya silindris, Aster jadi sering merasa pusing saat
menggambar. Sampai kemudian ia mendapat informasi mengenai sekolah pilot di
luar negeri dari SMA-nya. Kebetulan, ia memang dekat dengan guru-guru di sana
dan mereka tahu bahwa Aster memang bercita-cita menjadi pilot. Ternyata, dari
situlah ia bisa tahu bahwa ada banyak pilihan untuk masuk ke sekolah pilot. Sebelumnya
ia hanya tahu, untuk masuk ke sekolah pilot di Indonesia sangat sulit bagi yang
berkaca mata. Jadi, begitu tahu ada beberapa sekolah pilot lain di luar negeri
yang bisa menerima murid berkaca mata, ia jadi antusias. Aster kemudian
mendaftar ke NAVAIR International Flying School di Australia. Di sekolah itu,
ia dijanjikan 51 minggu lulus. Berbeda dengan sekolah pilot di Indonesia yang
butuh waktu 3 tahun. Jadi pilihan itu pun segera diambilnya.
Masih di tahun
1995, Aster pun mulai masuk sekolah pilot. Tapi yang menjadi bebannya saat itu
adalah, beasiswa dari perusahaan tempat ayahnya bekerja hanya dapat menanggung biaya
sekolah seperempatnya saja. Jadi ia harus memikirkan sendiri bagaimana memenuhi
sisanya. Pasalnya, ditambah bantuan dari orangtuanya ternyata juga masih kurang
setengahnya. Meski begitu, Aster tetap nekat menempuh pendidikan di sana. Ia
semakin yakin juga setelah sholat Istikharah, bahwa menjadi pilot itu memang
benar impiannya. Secara kebetulan, di sana ia berkenalan dengan seorang pemilik
rumah makan Indonesia yang menyediakan katering bagi murid-murid asal Indonesia.
Aster kemudian bekerja paruh waktu di rumah makan itu, dengan bayaran yang
cukup lumayan 12 dolar per jam. Dalam satu minggu ia bisa dapat jatah bekerja
20 jam.
Di sekolah
pilot itu, Aster bukan hanya belajar tentang cara menerbangkan pesawat saja,
tapi juga mempelajari banyak teori. Menjadi seorang pilot itu juga harus tahu
hukum udara. Di ‘atas’ sana, banyak rambu-rambu yang harus diketahui, tidak
jauh beda dengan jalan raya. Masing-masing negara mempunyai hukum udara yang
berbeda yang juga harus diketahui oleh seorang pilot. Setelah lulus, ia kembai
ke Indonesia pada 20 November 1997. Aster memang masih ingat sekali tanggal itu
karena sehari sebelumnya, tanggal 19, ia harus melakukan ujian terahir. Saat
itu ia sudah yakin sekali akan lulus, oleh karenanya tak ragu mem-booking tiket pesawat untuk pulang ke
Tanah Air tertanggal 20. Selain itu, di tahun 1997 saat itu juga nilai mata
uang dolar sudah mulai naik. Kalau ia tidak selesai tepat waktu, maka akan
banyak yang harus dipikirkan untuk melanjutkan sekolah pilot ini.
Aster berhasil
melakukan terbang solo pertamanya di tahun 1996. Namun ada sebuah cerita
menarik. Ketika itu, ia sempat memiliki perasaan yang tidak enak. Karena
cuacanya tidak seperti biasanya yang tenang, di pagi hari itu angin bertiup
kencang. Tapi sesuai pertimbangan, semuanya masih bisa berjalan dengan baik.
Pesawat Cessna 152 yang ia gunakan juga sudah siap. Begitu take off dan mencapai ketinggian 300 kaki, pesawat tiba-tiba
bergetar dan RPM turun. Aster pun juga mulai merasa perutnya mulas. Menurut
teori yang dipelajarinya, ia harus mendarat lurus ke depan. Sementara di
depannya adalah bangunan mal yang parkirannya penuh. Saat itu ia merasa bahwa
ia bisa memutar balik lagi ke bandara. Ia pun tak lupa berdoa semoga mesin tidak
berhenti. Karena, kalau mesin sudah berhenti mau tidak mau ia harus mendarat
lurus di depan, yakni di mal dengan parkiran penuh itu.
Ia segera
memberi pengumuman mayday dan
membelokkan pesawat untuk kembali lagi ke bandara. Pihak bandara pun bergerak
cepat dan memberikan tiga landasan untuk tempatnya mendaratkan pesawat.
Bersyukur, Aster berhasil mendaratkan pesawat walau tepat berada di ujung
landasan. Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata penyebabnya adalah crank shaft piston pesawat patah. Masih
di hari yang sama, sorenya ia disuruh terbang lagi dengan ditemani instruktur
agar tidak trauma dan meraih kepercayaan diri. Bagi Aster itu adalah pengalaman
yang membuatnya tegang tapi seru.
Selama
menempuh pendidikan di Australia, Aster juga kerap merasa sedih, terutama bila
melihat teman yang lain bisa bolak-balik pulang ke negaranya. Atau ada pula
yang dikunjungi orangtuanya. Sementara orangtua Aster memang tidak bisa bebas
mengunjunginya, karena ia masih punya adik-adik yang membutuhkan biaya untuk
studinya. Paling kalau kangen sekali ia cukup menelepon saja. Walau cukup besar
juga biayanya karena dulu belum ada internet
call. Selesai sekolah pilot, ternyata kondisi ekonomi dunia ketika itu
sedikit kacau sehingga beberapa perusahaan tidak menerima karyawan baru.
Terlebih jam terbang yang dimiliki Aster juga masih minim.
Selama
menunggu dapat panggilan kerja, Aster mengisi waktu dengan membuka kursus
bahasa Inggris di Pekanbaru. Ia juga kebetulan aktif di Pramuka dan menjadi
pembina. Aster memang termasuk orang yang tidak bisa diam, dan selalu ingin melakukan
sesuatu yang produktif. Pertengahan 1998, Aster ke Jakarta dan melamar langsung
ke berbagai perusahaan penerbangan. Sayangnya, saat itu kebanyakan mereka tidak
menerima pilot perempuan. Akhirnya, tahun 1999 ia kuliah lagi di UNPAD Fakultas
Hukum. Tahun 2004 ia selesai kuliah lalu menikah. Kemudian mengikuti suaminya
yang bekerja di Jambi. Di sana, Aster pun sempat bekerja menjadi guru di sebuah
sekolah kursus bahasa Inggris. Setahun kemudian, ia dan keluarga pindah ke
Pekanbaru dan bekerja sebagai librarian
plus guru Indonesian studies di
sebuah sekolah Internasional.
Sampai pada
akhirnya, di tahun 2009 lalu ia diterima bekerja sebagai pilot. Dari 12 orang yang
mengikuti tes, hanya 3 orang yang lulus, termasuk dirinya. Padahal, karena
sudah lama tidak menerbangkan pesawat, Aster sempat tidak yakin diterima. Tapi Aster
tetap berusaha semampunya, toh kalau memang tidak bisa diterima ia bisa kembali
mengajar. Beruntung, ia bisa diterima dan tinggal di Jakarta, sementara anak
dan suaminya tetap di Pekanbaru. Menrut Aster, menjadi pilot itu tekanannya
sangat tinggi. Kehidupan pilot memang tidak semanis yang terlihat. Ketika
berada di dalam pesawat yang sedang terbang, banyak sekali pilihan yang harus
diambil oleh pilot. Sebagai penumpang, kita hanya tahunya terbang menuju suatu
arah dan semuanya berjalan baik-baik saja. Tapi yang tidak banyak diketahui,
ternyata banyak keriuhan disana-sini. Belum lagi bila menghadapi penumpang yang
bermasalah, dan ada pula traffic saat
ingin mendaratkan pesawat.
Kalau bandara
sedang sibuk, pesawat yang akan mendarat itu harus ditahan dulu menunggu
giliran. Bila diperhatikan, di atas bandara itu bisa banyak pesawat yang
menunggu jadwal mendarat. Pun di landasan bandara kondisinya juga tak kalah
ramai. Yang paling berkesan selama menjadi pilot, menurut Aster adalah, saat
melihat lampu-lampu di dalam kokpit. Ia seperti masuk ke dunia lain. Aster
sangat suka sekali terbang malam, karena bisa melihat pemandangan lampu-lampu
kecil di bawah. Itulah yang membuatnya ingin selalu terbang.
Sementara itu,
menjadi seorang instruktur penerbangan, baru mulai dilakukan Aster di tahun
2011. Akibat penyakit Fibromyalgia
yang dideritanya, ia memang sudah tidak bisa mengemudikan pesawat terbang lagi.
Sebetulnya sakitnya itu sudah muncul di tahun 2010. Awalnya, ia sering merasa
mual dan muntah, migren, kebas di wajah dan bibir tertarik seperti stroke.
Tahun 2011, Aster mengalami heart attack
(serangan jantung). Di situlah titik di mana dirinya sudah tidak bisa menjadi
pilot lagi. Akhir 2011, ia mendapat rekomendasi dari beberapa instruktur untuk
menjadi instruktur juga. Awalnya, Aster berpikir apakah mungkin dirinya mampu.
Karena pengalaman terbangnya saja baru 2 tahun. Sempat ada rasa tidak percaya
diri juga. Tapi bersyukur, karena sudah terbiasa mengajar, jadi ia tidak
terlalu sulit untuk mulai menjadi instruktur. Aster kini menjadi Mandatory Instructor untuk pilot dan flight attendant mengenai Crew Resource Management, Safety Management System, Performance Based Navigation, Windshear, Aviation Security, dan Dangerous
Goods.
Tapi
sebetulnya Aster masih suka menerbangkan pesawat. Kebetulan ada adiknya yang
tinggal di Perth, Australia. Kalau sedang berkunjung ke sana, ia masih suka
menggunakan pesawat untuk terbang satu atau dua jam. Sebenarnya, bagi mereka
yang memiliki penyakit jantung tidak bisa kekurangan oksigen. Oleh karena itu,
kalau Aster ingin menerbangkan pesawat, harus berada di bawah 10 ribu kaki.
Kalau terbang di atas itu, yang memiliki penyakit jantung harus hati-hati.
Menjadi pilot itu juga harus selalu menjaga tubuhnya tetap fit. Jangan
memaksakan diri. Dan yang harus tahu apakah kita fit atau tidak itu adalah diri
kita sendiri.
Aster pun
sadar bahwa dengan kembali menjadi pilot, ia tidak punya banyak waktu untuk
anak. Bahkan sekarang saja, anaknya tidak mau menjadi pilot karena mungkin
melihat pekerjaan Aster yang membuat si anak sulit bertemu dengan ibunya. Untuk
menebusnya, kini Aster menggunakan waktu sebanyak mungkin bersama anaknya.
Karena ketika ia menjadi pilot, ia harus kerja meninggalkan anak di masa-masa
emasnya. Tak heran kalau sekarang anaknya lebih dekat dengan kakek-neneknya
ketimbang dengan Aster. Walau cukup berat menerima kenyataan itu, tapi Aster
sudah paham dengan resiko dari pekerjaannya.
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusTshirt Dakwah Online
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Berdoalah Bila Rindu, Agar Hati Tetap Dekat Meski Raga Berjauhan