Pasar kini tak
sebatas arena transaksi jual beli barang-barang kebutuhan sehari-hari saja,
tapi juga menjadi tempat berkumpul perempuan untuk ngopi dan bertemu teman. Ya,
bahkan di pasar pun kini mereka bisa melakukan me time. Pasar-pasar modern yang banyak muncul di sekitaran Jakarta
kini telah bertransformasi dari pasar tradisional yang dulunya sering
berkonotasi kotor dan bau. Pasar ini tak hanya menawarkan kenyamanan, tetapi
juga fasilitas lain. Selain lorong-lorong yang bersih dan lega, juga
menyediakan bilik-bilik ATM, musala, dan toilet. Belum cukup di situ saja,
pasar modern juga menyediakan deretan kedai makanan dari yang sederhana sampai
yang berkonsep kafe, sehingga pengunjung pasar pun tak perlu khawatir kelaparan
saat berbelanja.
Maka tak heran
jika ada sebagian ibu-ibu yang ke pasar tak hanya untuk berbelanja barang
kebutuhan sehari-hari, tetapi juga melakukan aktivitas lain di sana. Seperti
yang dilakukan Ellen Tanuwidjaya, seorang ibu muda yang sering menghabiskan
waktu di Pasar Modern BSD, Tangerang Selatan. Pasar ini memang kerap dijadikan
pilihan Ellen dan teman-temannya untuk menghabiskan waktu setelah mengantarkan
anak ke sekolah atau menjelang anak pulang sekolah. Kebetulan, ia dan
teman-temannya memiliki beberapa persamaan. Selain anak-anak mereka bersekolah
di sekolah yang sama, mereka juga tak memiliki asisten rumah tangga. Praktis,
semua urusan rumah dan anak menjadi tanggung jawab mereka. Oleh karena itu, untuk
sekedar mengilangkan stres melihat rumah yang berantakan dan tumpukan baju yang
harus disetrika, mereka lebih baik ke pasar dan berkumpul dengan teman-teman.
Saat kembali ke rumah, rasa stres itu pun sudah hilang, hingga anak dan suami
mereka ikut senang.
Di Pasar
Modern BSD, Ellen dan teman-temannya memiliki kedai kopi favorit yang ada di
lantai atas. Maklum, mereka semuanya memang penggemar kopi. Bahkan, yang
tadinya tidak suka kopi pun, akhirnya bisa jadi ketularan suka. Di kedai kopi
tersebut, menurut Ellen, selain rasa kopinya enak, ruangannya juga ber-AC, dan
mereka juga boleh membawa makanan dari luar. Mereka pun bisa lama ngobrol di
sana. Biasanya acara minum kopi itu dilakukan usai berbelanja. Pasar itu
dipilih karena letaknya strategis dan memiliki keuntungan sekaligus. Selain
dekat dengan sekolah anak-anak mereka, berbagai barang yang mereka butuhkan pun
juga tersedia. Mulai dari sayur, buah, sampai pakaian, serta tempat yang nyaman
untuk berkumpul. Saat kumpul itu mereka bisa saling curhat atau membicarakan
soal pelajaran anak di sekolah. Ellen mengakui, memang untuk sayur dan buah,
terkadang harganya lebih mahal dari supermarket, tapi kualitasnya lebih bagus.
Bahkan pakaian-pakaian yang dijual di pasar pun juga tidak kalah dari yang
dijual di pusat perbelanjaan.
Yang membuat Ellen juga senang berbelanja ke pasar itu adalah tak sedikit kios yang menerima pembayaran dengan kartu debit. Jadi, saat ke pasar hanya membawa uang sedikit, ia hanya menggunakannya untuk membeli sayur secara tunai, sedangkan untuk membeli buah, telur, dan lainnya, dilakukan dengan debit. Ellen sama sekali tak takut dicap nongkrong di tempat yang tak bergengsi. Karena pasar yang ia datangi memang bersih dan tidak bau. Lantai pasar, menurutnya, bisa tiga kali dipel dalam sehari. Lagipula, bila ditanya sang suami “sedang ada di mana ?”, dengan menjawab “di pasar”, terdengar lebih manusiawi. Berbeda bila jawabannya “di mal” yang terkesan konsumtif dan menghabiskan uang. Apalagi, Ellen hanya membatasi nongkrong di pasar selama 2-3 jam. Suami pun tak masalah asalkan pekerjaan rumah bisa beres. Untuk bisa mendapatkan ‘kemewahan’ saat nongkrong di pasar, Ellen rela menghabiskan dana sekitar Rp 100-200 ribu.
Seolah
ketularan ibunya, bahkan anak Ellen pun kini juga ikut senang pergi ke pasar
karena makanan kesukaan dan mainannya juga dijual di pasar itu. Karena sudah
cukup sering nongkrong di pasar, Ellen pun bercerita kalau dirinya sampai
dijuluki ‘Lurah Pasar BSD’ oleh teman-temannya. Ia juga jadi akrab dengan para pemilik
kios. Keuntungqnnya, ada beberapa pemilik kios yang suka memberikannya bonus
saat berbelanja.
Tak hanya di Jakarta, di Yogyakarta, juga ada seorang ibu muda, Rini Andriani Khamidah, yang suka menghabiskan waktu di pasar tradisional. Namun ia tidak menggunakannya sebagai tempat nongkrong bersama teman-teman, melainkan sebagai sarana edukasi dan sosialisasi bersama anaknya, selain tentu saja sebagai tempat berbelanja berbagai kebutuhan sehari-hari. Ibu rumah tangga yang tinggal di Griya Kencana Permai, Argorejo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta ini menjelaskan, seluruh kebutuhan rumah tangganya dapat dipenuhi di pasar tradisional. Mulai dari sayur mayur hingga peralatan rumah tangga. Ia juga menyukai pasar tradisional karena ada beberapa jenis barang atau kebutuhan yang tidak ditemui di pasar modern seperti supermarket. Salah satunya jajanan pasar yang menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan jajanan pasar ini menjadi salah satu hal yang membuatnya terus datang ke pasar. Terkadang, Rini juga suka mencari sarapan di pasar. Soal harga pun, menurutnya, relatif lebih murah bila dibandingkan dengan kebutuhan yang dijual di supermarket.
Keuntungan
lain berbelanja di pasar tradisional adalah bisa menawar jika harga barang itu
dirasa mahal. Transaksi seperti ini memang sudah lazim terjadi di pasar
tradisional, sementara di supermarket seluruh harga sudah tidak bisa ditawar.
Pasar tradisional yang kerap ia datang juga jaraknya lebih dekat dari rumahnya,
serta bersih dan nyaman. Dua hari sekali, Rini mengunjungi pasar tradisional.
Bisa juga setiap hari ketika barang yang ia butuhkan cukup banyak. Ada tiga
pasar tradisional yang selalu dikunjungi Rini, tergantung kebutuhan. Jika
kebutuhan banyak, ia akan menuju ke pasar besar dekat rumahnya yaitu Pasar
Gamping. Jika kebutuhannya banyak tapi hanya punya waktu luang sore atau malam
hari, maka Pasar Ambarketawang Sleman menjadi pilihannya. Sementara jika hanya
untuk kebutuhan yang sedikit, seperti kebutuhan pokok yang harian atau bahan
makanan yang cepat busuk seperti tahu, maka Pasar Nulis menjadi sasarannya.
Jarak dari rumahnya pe Pasar Gamping dan Pasar Ambarketawang sekitar 4 km. Sementara jarak ke Pasar Nulis lebih dekat, sekitar 2 km. Waktu yang biasa ia habiskan di pasar biasanya 1-2 jam. Ini karena Rini mengaku, suka memilih barang yang berkualitas bagus. Jika di lapak satu pedagang kurang meyakinkan, ia akan mencari lapak lain dengan kualitas barang yang lebih baik. Karena ke pasar sudah menjadi rutinitas sehari-hari, maka baginya kalau sehari tidak ke pasar, hidupnya seperti ada yang kurang. Dana yang biasa ia habiskan di pasar berkisar Rp 30.000-Rp 150.000, tergantung kebutuhan. Yang jelas, menurutnya, dengan membeli sendiri berbagai kebutuhan di pasar, ia jadi bisa mengetahui harga dan kualitas. Saat harga kebutuhan sedang naik, maka ia bisa membantu suaminya dengan tidak belanja terlalu banyak. Seringnya keluyuran di pasar pun, membuatnya jadi tahu tempat mana saja yang menjual bahan makanan yang berkualitas bagus.
Pasar juga
menjadi tempat untuk mengajar dan mengenalkan hal-hal baru pada anaknya. Rini
memang sering mengajak pula anaknya ke pasar. Selain memperkenalkan suasana
pasar tradisional pada anak, ia juga mengajarkan anak tentang proses interaksi
langsung dengan pedagang pasar. Menurutnya, interaksi sosial di pasar
tradisional sangat berbeda dengan di pasar modern. Interaksi di pasar
tradisional berjalan sangat cair. Ia bisa mengenal akrab orang-orang yang ada
di pasar seperti pedagang dan tukang parkir, bahkan terkadang bisa bertemu juga
dengan tetangga atau teman. Banyak yang menanyakan kabar keluarganya jika ia tidak
datang ke pasar cukup lama. Dengan berbelanja ke pasar tradisional pula, kini
anaknya jadi memiliki aktivitas luar ruang yang berbeda. Juga jadi mengetahui
proses pembuatan makanan secara langsung, mulai membeli bahan sampai diolah di
rumah.
Komentar
Posting Komentar