BIOSKOP BISIK : Menonton Film Bersama Kaum Tunanetra.


Bioskop Bisik, yang mulai diperkenalkan 17 Januari 2015 lalu adalah tempat hangout yang ditujukan bagi para difabel tunanetra. Menurut Cici Suciati, penggagas Bioskop Bisik, kegiatan ini awalnya digelar untuk mengajak para tunanetra menonton film di Bioskop. Nantinya mereka masing-masing akan didampingi oleh relawan untuk menjadi pembisiknya. Ide membuat Bioskop Bisik muncul setelah salah seorang pimpinan tempat Cici bekerja mendorong karyawannya agar mau membantu pada mereka yang membutuhkan. Lalu tercetuslah ide untuk membuat sebuah proyek yang diberi nama ThinkWeb, Yotube For The Blind. Di situ Cici menjabat sebagai Head of Social Media Marketing and Digital Activity.

Dari situ, idenya semakin berkembang sampai kemudian lahir Bioskop Bisik. Tujuannya adalah untuk membuat sebuah kegiatan yang benar-benar mengena bagi tunanetra. Sebelumnya, Cici sudah banyak bertanya kepada para penyandang tunanetra, perihal masalah mereka saat ingin menonton di bioskop. Ternyata, masalah utamanya bukan karena mereka tidak punya uang untuk membeli tiket bioskop, tetapi lebih karena tidak ada orang yang mendeskripsikan film yang ditontonnya. Akibatnya, bila penonton lain bisa tertawa begitu melihat adegan tertentu, mereka tidak sama sekali, karena tidak tahu adegannya. Padahal mereka juga ingin menonton dan mendapatkan pengalaman yang sama dengan penonton yang lain. Bukan hanya dari suara tetapi juga adegannya.


Dijelaskan Cici, apa yang ia lakukan sebetulnya bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Sebuah komunitas bernama Fency (Fellowship of Netra Community) pun pernah membuat kegiatan serupa. Bukan hanya menonton film, tetapi juga mengajak tunanetra jalan-jalan, seperti ke museum, arung jeram, sampai naik gunung. Menurut perempuan kelahiran tahun 1977 ini, para penyandang tunanetra sebetulnya ada yang sering menonton film di bioskop. Tapi kadang mereka terkendala tidak ada orang yang membisiki. Bahkan teman yang seharusnya bisa membisiki pun, kadang terlalu fokus dengan filmnya, hingga lupa. Bioskop Bisik, pertama kali digelar di Galeri Indonesia Kaya, Mal Grand Indonesia, Jakarta. Acaranya berjalan dengan sukses dan lancar. Selain menyediakan tempat, pihak Galeri Indonesia Kaya pun turut memberikan transport dan juga menyiapkan makanan untuk para tunanetra yang datang.

Yang membuat Cici terenyuh, ternyata banyak peserta yang sebelmnya tidak pernah masuk mal, apalagi nonton bioskop. Cici baru menyadari, ternyata nilai kegiatan ini bukan hanya sekedar nonton film bagi mereka, tapi bisa memberikan pengalaman yang lebih. Cici pun tak lupa menyediakan popcorn dan minuman soda, sehingga mereka bisa merasakan pengalaman yang sama dengan orang lain saat menonton di bioskop. Dan ia berharap kegiatan ini juga bisa menambah kepercayaan diri mereka dan tidak merasa dikucilkan. Cici, yang juga bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra untuk kegiatan ini, bersyukur, dalam perjalanannya, Bioskop Bisik tak pernah kekurangan relawan yang bersedia membantu menjadi pembisik. Bahkan selalu kelebihan. Relawan pembisik inilah yang bertugas mendeskripsikan isi film. Misalnya dalam sebuah adegan film, ada adegan aktris masuk ke dapur mengambil gelas, maka relawan akan mendeskripsikan apa yang dilakukan aktris itu. Tidak perlu dijelaskan raut wajah si aktris, warna pakaian, gaya rambut, dan sebagainya.


Sejauh ini, kegiatan yang rutin digelar sebulan sekali ini tak pernah mengalami kendala dan banyak mendapat dukungan. Kebetulan Cici sendiri, yang dulunya pernah bekerja di sebuah stasiun televisi, sehingga sudah terbiasa mengurus izin pemutaran film. Kegiatan ini secara tak langsung juga membuka wawasan masyarakat, terutama para penggiat film Tanah Air, untuk ramah kepada difabel. Contohnya, ketika Bioskop Bisik di undang ke Istana Negara untuk merayakan Hari Film Nasional pada 20 Maret 2015 lalu. Ketika itu film yang diputar berjudul Cahaya Dari Timur : Beta Maluku. Sang sutradara, Angga Dwimas Sasongko, mengatakan ke depan akan membuat film yang lebih memperhatikan kualitas audionya, karena itulah yang bisa dinikmati tunatera.

Cici berharap, para penggiat film juga mempertimbangkan membuat DVD yang dilengkapi audio deskriptif. Sejauh ini, menurut Cici, baru film Tabularasa yang sudah melengkapi DVD-nya dengan audio deskriptif. Sementara kalau di luar negeri, hal ini sudah sangat biasa. Cici bersyukur, Bioskop Bisik bisa mendapat banyak apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak. Lulusan Institut Teknologi Bandung, yang juga aktif dalam beragam kegiatan pendidikan, seperti Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau ini, juga berharap konsep Bioskop Bisik dapat diaplikasikan di daerah lain meski tak harus menggunakan nama Bioskop Bisik.



Komentar