Kafe
Fingertalk milik Dissa Syakina Ahdanisa ini terbilang unik, karena menjadi
satu-satunya tempat nongkrong dan berkumpul para difabel dengan gangguan
pendengaran. Kafe ini juga nyaman dan menawarkan menu istimewa yang tak bisa didapatkan
di tempat lain. Untuk memudahkan pelanggan berkomunikasi dengan pelayan
Fingertalk, Dissa melengkapi kafenya dengan gambar isyarat tangan yang mudah
dipraktikkan. Isyarat seperti makan, minum, kemudian rasa asin, manis, pahit,
ucapan selamat datang, dan terima kasih ada di masing-masing meja, sehingga
pelayan tidak kesulitan saat berkomunikasi dengan pelanggan. Kalau pun masih
kesulitan, disediakan juga kertas dan pensil. Tapi menurut Dissa, untungnya
kebanyakan pelanggan justru tertarik belajar dan minta diajarkan bahasa isyarat
oleh teman-teman Fingertalk.
Berlokasi di
bilangan Pamulang Timur, Tangerang Selatan, kafe Fingertalk buka mulai pukul
10.00 hingga pukul 21.00. Dissa sendiri bekerja di sebuah bank swasta di
Singapura. Ia mendirikan kafe ini karena ingin menciptakan lapangan pekerjaan
bagi teman-teman tunarungu. Ia juga terinspirasi saat mengunjungi Granada,
Nikaragua. Di sana, ia menemukan sebuah kafe di mana semua pegawainya
tunarungu. Dan, kafe itu ternyata ramai dikunjungi pelanggan. Dissa juga
melihat banyak teman-teman tunarungu di Indonesia yang sulit mendapatkan
pekerjaan setelah lulus sekolah. Kebetulan, suatu hari ia berjumpa dengan Bu
Pat, seorang tunarungu yang sudah lama memberikan pelatihan menjahit untuk
sesama penderita tunarungu. Dari situlah, Dissa jadi makin termotivasi untuk
menciptakan wadah di mana teman-teman tunarungu dan mereka yang bisa mendengar
bisa sharing dan hang out bersama. Karena ia berpikir orang Indonesia suka sekali
makan, akhirnya ia pun memutuskan membuat kafe yang bisa merangkul dua
komunitas ini, yaitu deaf dan hearing.
Mei 2015,
Dissa akhirnya membuka Fingertalk dan mengenalkan cara berbagi cerita bersama
teman-teman tunarungu. Berkat bantuan Bu Pat yang kemudian mempromosikan kafe
ini dari mulut ke mulut, akhirnya banyak teman-teman tunarungu yang bergabung.
Sebagai pemilik kafe, Dissa sendiri sampai saat ini masih terus melatih diri
untuk bisa menggunakan bahasa isyarat. Ia juga bersyukur, bisa dibantu
teman-teman yang mempromosikan kafenya ini di berbagai sosial media, hingga
banyak yang datang. Soal menu, menurut Dissa juga tak perlu dikhawatirkan. Kafe
bernuansa cerah ini menyediakan beragam menu istimewa. Salah satunya quesadilla dengan sambal salsa yang menggoda. Menu asal Mexico
ini diadaptasi oleh Dissa dan diolah dengan baik oleh chef Fingertalk bernama
Frisca, yang juga seorang tunarungu. Menu lainnya pun cukup komplit, ada yang
untuk camilan maupun makan berat, dari masakan Indonesia sampai menu-menu ala
Mexican yang sudah diadaptasi.
Dissa sempat
tak menduga kafenya dikunjungi banyak pelanggan yang penasaran. Ternyata
informasi di media sosial memang sangat efektif. Waktu baru buka saja banyak
yang datang untuk sekedar icip-icip dan belajar Bahasa Isyarat Indonesia
(Basindo). Wanita kelahiran 26 Februari 1990 ini juga sempat bingung ketika
teman-teman tunarungu tertarik bekerja di Fingertalk. Bahkan ada teman
tunarungu asal Bandung yang gigih sekali berusaha meyakinkan Dissa bahwa akan
rajin bekerja bila diterima. Akhirnya, Dissa pun menerimanya untuk bergabung.
Sayangnya, Dissa mengaku belum bisa menyanggupi semua permintaan teman-teman
yang lain karena ingin keuangan dan manajemen kafe stabil dahulu. Tak cukup
dengan kafe, Dissa juga mengadakan workshop
membuat kerajinan yang hasilnya dipajang dan dijual di kafe Fingertalk. Bahkan workshop menjahit sudah ada sebelum
Fingertalk dibuka, dengan bantuan Bu Pat. Hasil kerajinan berupa tas patchwork denim, rajutan boneka, dompet handmade, sampai sandal dengan merek
Fingertalk kini turut dipasarkan di kafe, dan ternyata banyak disukai
pelanggan.
Melihat
perkembangan yang positif, Dissa optimis kafe Fingertalk akan berkembang. Ini
bisa menjadi dorongan untuk yang lain bahwa teman tunarungu pun bisa bekerja
dan memiliki kemampuan yang sama dengan teman-teman hearing yang lain. Karena yang dilihat oleh Dissa sendiri, mereka
pun termasuk pekerja yang ulet dan rajin, serta punya rasa memiliki yang besar.
Dissa berharap bisa membuka cabang kafe Fingertalk di beberapa daerah di
Indonesia. Karena ia ingin lebih banyak membuka lapangan pekerjaan untuk
teman-teman tunarungu di berbagai daerah, sekaligus menginspirasi teman-teman
tunarungu agar tetap giat dan tidak menyerah di tengah keterbatasan yang mereka
miliki. Dissa ingin kafenya ini bisa menjadi wadah berkumpulnya kaum deaf dan hearing agar bisa belajar berkomunikasi satu sama lain.
Sy kesana ternyata sdh tutup dari 1 thn yang lalu.. sayang sekali ya. Pdhal aatu2 nya aset yg baik buat tangsel ..
BalasHapus