Suasana pagi
di sebuah pelataran rumah yang cukup luas di Desa Sawoo, Kecamatan Sawoo, Ponorogo,
Jawa Timur, hari itu amat meriah. Bunyi kendang mengentak-entak dipadu suara
gong, kenong, angklung, dan kempul terdengar begitu ritmis. Bersamaan itu,
muncul pembarong dengan dadag merak yang mirip kipas raksasa berkepala singa.
Dengan lagak perkasa, tubuhnya lincah meliuk-liuk, mengibas ke kanan dan ke kiri,
mengikuti ritme musik yang dimainkan para pengrawit. Tak kalah indahnya, lima
orang pemain jathilan dengan kuda
lumping melompat-lompat kecil sambil berlenggak-lenggok. Dua Bujang Ganong
dengan topeng berkarakter keras yang menggambarkan patih serta Kelono
Sewandono, sang ratu cantik, mengeluk-elukkan tubuh dengan sangat indah. Beberapa warok dengan busana khas garis-garis
putih merah dan celana hitam longgar bertali tampar yang melingkar di perut
menyiratkan karakter sang jagoan pun tampil. Suara Wirosuworo yang melantungkan
tembang berirama riang melengkapi keindahan sebuah fragmen. Itulah reog
Ponorogo.
Namun, ada
yang berbeda dari penampilan grup reog yang diberi nama Sardulo Nareswari (SN)
ini. Tidak seperti grup reog pada umumnya yang biasanya dimainkan lelaki, semua
personel SN, termasuk pengrawit yang mengisi musik, adalah para ibu rumah
tangga. Meski personelnya kaum hawa, penampilan mereka tak bisa dianggap remeh.
Justru karena pemainnya ibu-ibu itulah yang menjadi daya tarik bagi penonton. Menurut
Aning Sulistyowati, ketua grup reog SN yang juga merupakan istri Kepala Desa
Sawoo, Eko Hari Santoso, grup reog SN didirikan semata-mata agar kesenian
tradisional reog asli Ponorogo tidak punah, bahkan makin berkembang sesuai
zaman. Memang, sesuai pakemnya reog itu dimainkan para lelaki. Namun karena
sifat dasar seni yang tidak statis, menurut Aning, pun tidak salah kalau
sekarang ia mendirikan reog dengan pemain perempuan. Pemain perempuan itu
justru bisa memberikan nuansa yang berbeda.
Aning
bercerita, SN berdiri tahun 2015. Suatu ketika sang suami yang menjabat sebagai
Kades melemparkan ide kepadanya, agar ibu-ibu anggota PKK yang ia pimpin mendirikan reog perempuan.
Tujuannya selain untuk melestarikan kebudayaan asli Ponorogo, sekaligus
memberikan kegiatan positif bagi ibu-ibu itu sendiri. Aning pun menerima
tawaran tersebut dan di lain kesempatan ia melemparkan ide tersebut kepada
ibu-ibu anggota PKK pada kesempatan berkumpul. Ternyata responsnya sangat
positif. Ibu-ibu itu sangat bersemangat mendukung didirikannya grup reog
perempuan.
Dalam waktu
tidak lama, 50 perempuan mendaftarkan diri menjadi bagian dari pemain serta
pengrawit SN. Semangat dari para ibu itu membuat Aning semakin terpacu untuk
segera mewujudkan grup reog. Menurut Aning, para ibu itu tidak sekedar ingin
kumpul ramai-ramai sebagai salah satu cara untuk refreshing, tapi juga ingin agar seni reog makin berkembang di masa
akan datang. Bahkan, saking semangatnya, ibu-ibu itu dengan sukarela datang
latihan meski dalam keadaan hujan lebat. Untuk saat ini jadwal latihan
dilakukan seminggu dua kali, tepatnya hari Selasa dan Sabtu sore.
Para pemain
sampai pengrawit datang dari berbagai latar belakang. Usia mereka bervariasi,
mulai di bawah 30 tahun, sampai nenek-nenek berusia di atas 70 tahun. Demikian pula latar belakangnya, mulai ibu
rumah tangga, pencari rumput, istri polisi, istri PNS, sampai istri tokoh agama
juga ada. Pada saat mulai berdiri, anggota SN dilatih oleh Resti Buwana
Wardani, dosen seni sekaligus berlatar belakang pelaku seni reog. Selain untuk
kesenian dan hiburan, keikutsertaan ibu-ibu dengan SN sekaligus membuat badan sehat
mengingat gerakan reog yang cukup atraktif. Namun, pemain SN berusaha
menghindari gerakan-gerakan yang sekiranya kurang baik jika dilakukan oleh
perempuan demi menjaga sopan santun.
Sementara itu,
menurut Kepala Desa Sawoo, Eko Heri Santoso, reog SN muncul pada waktu yang
tepat. Pada tahun 2015 ketika terjadi pembakaran reog di kedutaan Davao, untuk
pertama kalinya SN tampil di depan publik. Bersama para pelaku seni reog yang
lain, puluhan anggota SN ikut ambil bagian melakukan demo di Desa Sawoo sebagai
bentuk protes pembakaran reog yang terjadi di luar negeri tersebut. Dari
sanalah awal mula masyarakat mengetahui keberadaan SN sebagai reog perempuan. Sejak
itu, penampilan SN mampu menyedot perhatian masyarakat.
Aning
memimpikan kelak Ponorogo bisa menjadi seperti Bali. Tidak hanya menjual
keindahan alamnya saja, tetapi juga memiliki kesenian tari yang sangat kuat
yang menjadi daya tarik wisatawan. Aning ingin setelah waduk Bendo selesai
dibangun, para wisatawan yang datang tidak hanya menikmati suasana alamnya yang
asri, tetapi sekaligus menyaksikan pergelaran reog. Kendati demikian, lanjut
Aning, berdirinya SN bukan berarti tanpa cibiran dan tentangan. Meski tidak
banyak, tetapi ada sebagian orang yang menganggap bahwa reog perempuan, selain
menyalahi kodrat juga menyalahi pakem. Bagi sebagian orang, reog identik sebagai
seni yang hanya dilakukan lelaki. Tapi bagi anggota SN, menghadapi cibiran
masyarakat seperti itu tidak masalah, sebab menurut mereka, seni akan terus
berkembang sehingga tidak ada salahnya kaum hawa mencoba berkontribusi
mengembangkan seni reog dengan warna berbeda. Namun, yang utama SN dimaksudkan
untuk membangun spirit agar reog tidak mati, tetapi justru makin berkembang.
Di antara
pemain reog, tugas pembarong adalah yang paling berat. Pembarong adalah penari
reog yang bertugas mengangkat dadag merak, bagian reog yang berupa topeng
kepala harimau dengan bagian atas terdiri dari anyaman bambu dilapisi bulu
merak. Selain teknik, juga dibutuhkan kekuatan fisik yang luar biasa.
Bayangkan, dadag merak yang beratnya mencapai 30 kilogram (mini) dan 40 sampai
50 kilogram (besar) tersebut diangkat hanya dengan mengandalkan kekuatan gigi
dan leher. Di balik topeng dadag merak yang dilapisi kulit harimau tersebut
terdapat kayu melintang yang harus digigit sangat kuat sehingga bisa menahan
kipas raksasa yang lebar dan tingginya mencapai 2,5 meter tersebut. Paahal,
ketika atraksi berlangsung, lembaran dadag merak ini harus dikibas-kibaskan
kanan, kiri, maju maupun mundur. Untuk bisa memainkan dadag merak tentu
dibutuhkan penguasaan teknik yang benar serta latihan ketat. Salah satu di
antara dua orang anggota SN yang menjadi pembarong adalah Yuli Romawati. Ibu
dua anak bertubuh kekar tersebut mengaku, pada awal latihan selama dua minggu
lebih ia terkena sariawan, karena harus menggigit kayu kuat-kuat untuk menahan
dadag merak yang beratnya puluhan kilogram.
Tak hanya
sariawan, selesai latihan, semua gigi dirasa mau copot dan semua makanan yang
masuk ke mulut pun terasa hambar. Tak hanya mulut, selama berhari-hari bagian
leher dan punggungnya juga tak kalah sakit karena harus menahan beban dadag
merak yang dikibas-kibaskan mengikuti irama musik dari pengrawit. Namun, semua
itu bisa Yuli jalani dengan baik karena didasari kecintaan pada seni reog itu
sendiri. Menurut Yuli, kalau dasarnya tidak suka atau tidak cinta , pasti akan
kesulitan karena memang sangat berat. Tapi sebaliknya, kalau didasari oleh rasa
suka, semua orang pun pasti bisa. Dan seberat apa pun dadag merak, bagi Yuli
yang hampir semua keluarga besarnya adalah seniman reog, tidak akan terasa. Ia
malah semakin semangat ketika mendapat teriakan dan sorakan dari penonton.
Semangat para
anggota SN memang layak diacungi jempol.
Meski mereka tak mendapat apa-apa kecuali konsumsi, namun begitu giat berlatih.
Supaya pekerjaan rumah tidak terbengkalai, maka semua urusan sudah dikerjakan
sejak pagi atau siang hari.
Komentar
Posting Komentar