METAMORFOSIS KAWASAN DOLLY - SURABAYA : DARI LEMBAH HITAM MENJADI PUSAT KERAJINAN.


Juli 2014 menjadi momen bersejarah bagi warga Surabaya. Dolly, sebuah kawasan lokalisasi yang sangat tersohor di Indonesia dan luar negeri, ditutup oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Tak hanya ratusan pekerja seks komersial (PSK) dan para mucikari yang kehilangan mata pencaharian, ribuan warga di sekitar lokasi yang sudah berdiri puluhan tahun itu juga ikut terkena dampaknya, Tapi semuanya kini berubah, Dolly kini menjelma menjadi pusat kerajinan.

Seperti yang terlihat pada sebuah rumah berukuran cukup luas yang ada di Dolly. Setiap hari, di dalam ruang tamu rumah yang dulu di kenal dengan nama Wisma Barbara ini diisi dengan kesibukan beberapa perempuan muda yang sedang memproduksi sandal sepatu. Ada yang melubangi dan memasang tali sandal jepit, menggunting dan merapihkan karet di tepian sandal, dan ada pula yang melayani rombongan pembeli. Wisma Barbara dulunya adalah salah satu rumah bordil paling tersohor ketika kompleks pelacuran Dolly masih berjaya. Wisma itu berdiri tiga lantai. Untung menghubungkan satu lantai dengan lantai lain digunakan lift. Dulu, lantai bawah wisma itu tak ubahnya seperti akuarium. Dari balik kaca tembus pandang, terlihat para PSK dengan dandanan mencolok mengenakan rok mini siap menerima para lelaki hidung belang.


Namun, saat ini rumah tersebut sudah berubah total. Wisma Barbara adalah salah satu di antara beberapa rumah yang dibeli Pemerintah Kota Surabaya untuk dijadikan lokasi pengembangan usaha bagi para warga yang terdampak penutupan Dolly. Menurut Atik Triningsih, koordinator produsen sandal sepatu di rumah itu, penutupan Dolly serta kompleks PSK di sekitarnya ibarat 'mematikan' mata pencahariannya sebagai pedagang pakaian keliling yang sebagian besar konsumennya adalah PSK. Tapi bagi Atik, sepanjang dirinya masih mau berusaha, maka Tuhan pun akan memberikannya kemudahan.

Setelah lokalisasi ditutup, Atik, ibu 3 anak ini, kemudian mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Pemkot dan dikoordinir lurah setempat. Salah satu yang diikuti Atik bersama 30 orang lain adalah pelatihan membuat sepatu, sandal, dan sandal kulit di Tanggulangin, Sidoarjo, selama dua minggu, ditambah seminggu pada kesempatan lainnya. Awalnya, kata Atik, jumlah peserta pelatihan memang 30 orang, tapi lama kelamaan menyusut jadi tinggal 15 orang. Awalnya, Atik hanya bermodal patungan dari teman-temannya. Dana yang terkumpul waktu itu Rp 1 juta, ditambah bantuan dari lurah sebesar Rp 500.000. Uang tersebut oleh Atik kemudian dibelikan modal untuk membeli bahan pembuatan sandal jepit. Setelah bahan tersedia, mereka kemudian beramai-ramai membuat sandal. Sementara alat potong sudah disediakan Pemda.


Setelah sandal jadi, masing-masing anggota kemudian menjualnya di pasar tradisional dengan harga Rp 8000 sepasang. Jadi rutinitas mereka, kalau pagi menjual sandal di pasar, siang sampai sore berkumpul untuk membeli bahan kemudian memproduksi bersama di rumah bekas Wisma Barbara itu. Di awal-awal, Atik mengistilahkan usahanya itu seperti kerja rodi. Karena masih merintis, jadi nyaris tidak mendapat keuntungan. Setelah sandal, Atik kemudian juga mencoba membuat sepatu. Sama halnya sandal, bersama teman-temannya Atik berhasil membuat 5 pasang sepatu per hari, dan dijual dengan harga Rp 200.000 per pasang. Pembelinya datang dari berbagai kalangan, mulai masyarakat biasa, pejabat kelurahan, sampai kepada dinas. Bahkan, kata Atik, sepatu putih yang dikenakan Bu Risma saat pelantikan sebagai Walikota Surabaya yang kedua kalinya pun merupakan hasil karya Atik dan teman-temannya. Bu Risma juga memberi masukan perihal apa saja kekurangan produk yang dibuat Atik. Kini dalam sehari rata-rata Atik mendapat penghasilan sekitar Rp 100.000. Dan ada 4 mantan PSK yang bergabung bersamanya. Atik pun yakin usahanya ini kelak akan bertambah bagus. 

Selain Atik, kisah lain datang dari Sutrisno. Dunia bapak 2 anak ini kini berbeda jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ketika kawasan Dolly, Jarak, Putat Jaya masih berjaya, Sutrisno bertugas sebagai penjaga di salah satu tempat hiburan malam karaoke. Meski gaji bulanannya tidak terlalu banyak, namun penghasilan sehari-hari yang ia peroleh lumayan besar. Tips dari para tamu ditambah jualan minuman keras memberi tambahan penghasilan yang lumayan. Tapi secara jujur, Sutrisno mengakui, meski penghasilannya cukup banyak tapi ia merasa tidak berkah. Banyak penghasilan, tetapi gampang pula menguapnya.

Sejak lama sebenarnya Sutrisno ingin alih profesi dengan mencari penghasilan dari pekerjaan yang bersih. Namun, ia mengalami kesulitan karena belum punya pekerjaan pengganti. Tentu ia juga ingin rezeki untuk menghidupkan anak dan istrinya itu dari sumber yang bersih. Meski sempat kelimpungan saat penutupan Dolly, Sutrisno berusaha melihat semuanya secara positif. Ia pun lalu mengikuti pelatihan batik yang diadakan Pemkot Surabaya untuk warga terdampak penutupan lokalisasi Dolly dan sekitarnya,

Sutrisno masih ingat persis, dari 20 peserta pelatihan, hanya dialah satu-satunya peserta laki-laki, sementara yang lain para wanita dari sekitar lokalisasi. Ia mengaku, sempat ditertawai banyak orang, tapi sama sekali tak dianggap masalah, karena memang senang menjalaninya. Lelaki yang dari kecil hingga dewasa tumbuh di kawasan hitam tersebut mengaku tertarik dengan pelatihan batik karena memang menyukai seni gambar atau melukis. Dan, kemampuan menggambarnya kemudian ia gabungkan dengan teknik membatik.


Setelah teknik membatik dia kuasai, Sutrisno pun mempraktikkan dan hasilnya dijual sesuai pesanan. Tapi, dalam perjalanannya, dia justru lebih banyak menerima pesanan kaus batik. Selain pengerjaan yang lebih cepat, penjualannya pun juga lebih cepat. Motif batik kaus tergantung permintaan pemesan. Namun, sampai saat ini penjualannya masih mengandalkan pesanan dan belum bisa menjual secara massal di outlet. Sutrisno pun berniat membuat brand supaya produknya bisa lebih dikenal. Kalau sudah mempunyai brand, selain penjualan langsung juga akan dipasarkan melalui online. Sutrisno mengaku sudah punya nama yang cocok sebagai brand untuk kaus batik buatannya. Namanya Alpujabar, kependekan dari Alamat Putat Jaya Barat, rumah tinggalnya sekarang ini. Dengan semangat dan kemampuan yang ia miliki, Sutrisno yakin usahanya bisa merangkak naik meski butuh perjuangan keras. Sutrisno juga sudah menerima orderan kaus batik dalam jumlah besar, misalnya dari salah satu komunitas klub motor di Surabaya.

Di salah satu rumah sederhana di Jl. Putat Jaya VI B/34, beberapa lembar kain batik berbagai motif warna-warni terlihat terpajang. Di sebelahnya, terlihat para ibu tengah memainkan canting di atas selembar kain. Sementara yang lainnya membentuk sebuah pola. Mereka ini adalah kelompok pembatik Canting Surya di bawah koordinator Ike Setyowati. Rumah yang digunakan sebagai markas kelompok pembatik tersebut milik Sunarti, salah seorang anggota Canting Surya. Sebelum penutupan kawasan, rumah tersebut dijadikan sebagai tempat karaoke.


Ike sendiri awalnya adalah seorang penjahit yang biasa menerima jahitan baju dari para PSK di kawasan Dolly dan sekitarnya. Keempat teman lainnya adalah pemilik karaoke, pemilik warung, serta penjual minuman botol di kawasan yang sama. Namun, sejak ditutup, sumber penghasilan mereka mati. Ike kemudian ikut pelatihan membatik bersama teman-temannya. Dari pelatihan itu ia jadi tahu proses membuat kain batik dari awal sampai akhir. Usai pelatihan dan memiliki dasar membatik, Ike kemudian mendirikan kelompok Canting Surya dan hasilnya diikutkan ke pameran yang diadakan oleh Dinas Perdagangan Propinsi Jawa Timur. Bahkan, Ike juga sempat diikut sertakan pada pameran di beberapa mal di Surabaya dan NTT. Ike yang membuat batik dengan bahan pewarna alami ini mengaku, hasil karyanya memang belum sebagus para pembatik di Solo, Yogya, atau Madura. Namun, untuk ukuran pemula hasilnya sudah cukup lumayan, dan dia pun akan terus melatih diri supaya bisa menghasilkan karya yang bagus.

Menurut Camat Sawahan, Yunus, sebelum penutupan lokalisasi Dolly dan sekitarnya, Pemkot Surabaya memang sudah mengadakan berbagai pelatihan bagi warga yang diperkirakan akan menjadi korban dalam penutupan lokalisasi tersebut. Ketika lokalisasi Dolly dan sekitarnya ditutup, yang jadi korban sebenarnya bukan para PSK dan mucikari, tetapi warga di sekitar lokalisasi yang selama ini mengais hidup dari lokalisasi tersebut. Mulai penjaga parkir, tukang cuci, pemilik dan penjaga warung, petugas karaoke, penjaja makanan dan masih banyak lagi. Sementara kalau mucikari rata-rata sudah memiliki rumah di luar kawasan ini, demikian pula PSK yang kebanyakan datang dari luar daerah.


Karena itu, pemerintah melakukan langkah tegas dan cerdas. Tegas, lokalisasi harus ditutup sesuai dengan keputusan pemerintah kota tanpa bisa ditolerir, sebab keberadaan lokalisasi ini jelas merusak masa depan, terutama anak-anak. Sedang sikap cerdas yang dimaksud adalah pemerintah kota tidak ingin selepas lokalisasi prostitusi ditutup, kemudian muncul banyak orang miskin lantaran tidak memiliki mata pencaharian akibat penutupan tersebut. Maka dibuatlah pelatihan-pelatihan agar mereka bisa lebih mandiri dengan profesi barunya tersebut.

Untuk itu, diadakanlah berbagai pelatihan mulai membatik, membuat makanan, membuat sepatu, dan masih banyak lagi. Dari sini diharapkan, kelak rezeki yang mereka hasilkan akan lebih berkah. Yang menarik, produk-produk apa pun yang dibuat pengrajin di kawasan Dolly, brand yang dipakai tetap akan memakai nama Dolly sebagai daya tarik. Sebab, nama Dolly yang sudah sangat terkenal, menjadi seksi untuk menarik minat pembeli. Misalnya, kelak ada nama makanan tertentu dalam kemasan yang diberi nama Jali-Jali, yang merupakan singkatan Jarak-Dolly.








Komentar