HOBY : PAPER CUTTING, Seni Memotong Kertas Untuk Menghasilkan Karya Yang Indah.


Cendana Mega Winarto tak mengira, seni memotong kertas atau paper cutting bisa membuat bahagia orang lain. Pada 2014, ketika masih berkuliah di Universitas Ciputra, Surabaya, ia teringat dengan kegiatan yang kerap dilakukan mendiang ayahnya itu. Ia kemudian belajar secara otodidak melalui bantuan internet dan melihat karya-karya orang lain. Karya Cendana yang dipamerkan di media sosial lantas menarik perhatian teman-temannya. Mereka pun akhirnya minta dibuatkan. Awalnya hanya diberikan untuk hadiah, tapi lama-kelamaan semakin banyak pesanan yang bermunculan. Sejak itulah, Cendana berpikir untuk membuatnya menjadi bisnis.

Paper cutting adalah kesenian yang sudah ada sejak abad keenam Masehi di Cina menurut penelitian dari University of California, Amerika Serikat. Kesenian ini kemudian menyebar ke Asia Barat pada abad kesembilan dan berlanjut ke Turki pada abad ke-16. Berselang seabad kemudian, bangsa Eropa turut mengembangkan kesenian tersebut. Berbagai gaya kemudian lahir dari kesenian potong memotong kertas ini. Kertas dipotong membentuk berbagai hal seperti wajah, motif batik, dan tulisan.


Seniman paper cutting Dewi Kocu melihat kesenian itu bisa dikemas dan menjadi kado. Dewi pertama kali melihat paper cutting di sebuah majalah pada 2010. Ia kemudian tertarik dan mencari tahu cara pembuatannya. Dewi lalu memanfaatkan kertas-kertas yang tidak terpakai di kantor untuk membuat pola sederhana. Awalnya ia memotong dengan menggunakan gunting kecil. Namun, ia merasa kesulitan karena ada bagian-bagian yang tidak bisa dicapai gunting. Ia lantas beralih menggunakan cutter dan sejak saat itu ia selalu memotong dengan memakai cutter

Suatu hari, kebetulan ada keponakan Dewi yang akan berulang tahun. Dewi pun lantas membuat paper cutting sebagai kado yang personal. Sekitar 20 karya pertama Dewi Kocu memang diberikan kepada rekan dan kerabatnya sebagai kado. Ia mengaku, awalnya tidak berminat menjadikan paper cutting sebagai bisnis. Namun, pesanan datang terus menerus dan meningkat setiap tahunnya. Akhirnya pada 2014, ia pun memutuskan berhenti dari pekerjaan dan menjadi seniman kertas. 


Cendana mengaku tidak memiliki latar belakang pendidikan yang secara langsung menunjang keahlian memotong kertas. Namun, jurusan Desain Komunikasi Visual ini mengaku lebih banyak belajar dari karya orang lain. Menurutnya, untuk membuat paper cutting itu kita harus mengetahui bagian mana yang perlu dipotong dan tidak. Cendana mengaku, awalnya hasil karyanya masih jelek, tapi ia terus mempelajarinya sampai mendapatkan hasil yang baik. Dan proses belajar itulah yang menurutnya mengasyikkan. 

Dewi pun juga tidak pernah mempelajari keterampilan paper cutting secara khusus. Meski begitu, ia mengaku sedari kecil sudah sering menjajal berbagai macam kerajinan tangan seperti menjahit, menyulam, merajut, dan origami. Menurutnya, kemampuan memotong kertas dengan baik ia dapatkan dari kuliah jurusan arsitektur. Ia pun terbiasa menggunakan cutter dan mengenal berbagai jenis kertas. Seiring waktu, Dewi mencoba memotong desain-desain yang lebih rumit dan membutuhkan waktu yang semakin lama. Dari karya pertama yang hanya membutuhkan waktu 10 menit, kemudian meningkat menjadi 30 menit, dan pernah juga mengerjakan karya yang membutuhkan waktu tiga bulan untuk menyelesaikannya.


Dewi menjelaskan, untuk membuat paper cutting alat yang diperlukan sangat sederhana. Pada awalnya, ia mengaku menggunakan kertas gambar. Namun, seiring berjalannya waktu ia merasa lebih nyaman menggunakan kertas fancy atau kertas karton yang sering digunakan untuk undangan pernikahan dengan tebal 180 hingga 230 gsm. Untuk alas potong, bisa menggunakan majalah bekas, triplek, atau gray board. Dewi pun menggunakan cutter biasa untuk menghasilkan karyanya. Karena menurutnya, dalam paper cutting bukan alat yang menentukan hasil karya melainkan keahlian tangan kita.

Dewi mengaku dalam sebulan ia bisa menghasilkan sekitar 40 hingga 70 karya. Untuk membuat satu karya, hal pertama yang ia lakukan adalah membuat desain dengan bantuan program komputer. Hal ini, menurutnya, adalah bagian yang tersulit karena menjadi unsur utama dari karya. Gambar yang ingin dipotong, dijiplak dan ditentukan bagian-bagian yang perlu dipotong. Ketika menggambar wajah misalnya, desain harus bagus dan semirip mungkin dengan foto. Ini agar dalam hasil akhirnya bisa dikenali gambar wajah yang dimaksud. Setelah itu, pemotongan bisa dilakukan sesuai desain. Kertas yang sudah dipotong kemudian bisa dimasukkan ke dalam bingkai dan menjadi pajangan.


Karya paper cutting dua dimensi biasanya didominasi kombinasi warna hitam dan putih. Sementara bagi Cendana, ia bisa menciptakan paper cutting warna-warni dengan membuatnya menjadi tiga dimensi. Untuk yang tiga dimensi itu, jelasnya, bentuknya akan seperti scrapbook. Cendana mengatakan, kunci membuat paper cutting adalah ketelatenan dan harus konsentrasi. Jika tidak teliti atau ceroboh sedikit saja, karya bisa rusak total. Ia mengisahkan, pernah salah memotong bagian mata pada gambar wajah. Karena kesalahan itu ia pun harus mengulang pengerjaan dari awal. Memang dalam paper cutting gambar wajah ada bagian-bagian yang kalau sudah salah bisa diakali, seperti misalnya rambut. Tapi kalau bagian mata itu memang sangat krusial. Kalau ada kesalahan mau tidak mau harus mengulang lagi dari awal.

Kesenangan Dewi pada paper cutting lantas berlanjut dengan mendirikan Cutteristic untuk menyalurkan hobinya. Lewat Cutteristic, ia meneriman pesanan karya dari berbagai kalangan. Tak hanya berbisnis, Dewi juga melakukan beberapa kursus paper cutting. Biayanya berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu, tergantung pada jenis pelatihan yang ia bawakan. Dewi dan Cutteristic bahkan pernah diminta untuk membuat papar cutting wajah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan presenter berita Najwa Shihab.


Sementara Cendana mengaku, karya yang ia persembahkan dalam sidang skripsinya adalah yang paling berkesan. Ketika itu ia membuat karya dengan panjang dan lebar masing-masing hampir 1,5 meter. Ia mengaku, sampai harus memesan bingkai khusus dan menghiasi karyanya dengan lampu-lampu, dan juga cukup kerepotan membawanya karena tidak bisa masuk dalam mobil.  

Komentar