EDUCATION : SMA SELAMAT PAGI INDONESIA, Mendidik Murid Golongan Tak Mampu Menjadi Wirausaha.


Ternyata, anak-anak dari keluarga miskin pun kini boleh berlega hati. Keinginan mereka untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMA di sekolah yang bagus kini bisa terpenuhi dengan hadirnya SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI). Di sekolah yang terletak di daerah sejuk pegunungan di kawasan Desa Bumiaji, Batu, Malang ini, semua biaya sekolah digratiskan, termasuk makan, tempat tinggal, dan perlengkapan sekolah. Bahkan pakaian pribadi dan uang saku bulanan pun juga ditanggung. Hebatnya lagi, sejak dini para murid pun juga dikader untuk menjadi pengusaha.

Konsep SMA SPI memang agak berbeda dengan SMA pada umumnya. Dalam hal kurikulum misalnya, tidak persis dengan SMA lain. Tapi soal perekrutan murid, sungguh jauh berbeda. Murid SMA SPI adalah anak-anak yatim piatu, yatim, atau piatu atau dari keluarga yang tidak mampu dari daerah seluruh Indonesia. Karena sifatnya multikultural itulah, murid-murid SMA SPI berasal dari berbagai daerah, ras, serta agama yang berbeda-beda. Ide dasar sang pendiri SMA SPI, Julianto Eka Putra, diilhami dari tragedi 1998 yang sarat dengan nuansa SARA. Untuk mereduksi agar hal tersebut tidak terjadi lagi dan saling menguatkan rasa nasionalisme, tahun 2007 didirikanlah SMA SPI.

Di dalam sekolah yang berada di areal seluas 16 hektar tersebut terdapat berbagai bangunan yang cukup megah. Mulai dari asrama untuk putri, bangunan sekolah, tempat outbond, gerai makanan, gerai buku dan merchandise, dan masih banyak lagi. Selain itu, yang mungkin tidak didapat di sekolah lain adalah keberadaan kawasan spiritual garden di mana di dalamnya terdapat lima tempat ibadah, Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Tempat ibadah ini bukan hanya untuk pajangan, tetapi setiap murid wajib hukumnya untuk menaaati agamanya masing-masing.


Rekrutmen murid dilakukan secara ketat. Karena selain kuota daerah, ada 13 parameter yang menjadi acuan apakah seorang bisa diterima di SMA SPI atau tidak. Sesuai dengan konsepnya, siswa pemeluk agama Islam mendapat porsi terbesar, yakni 40%, sedang Kristen dan Katolik masing-masing 20%, serta Hindu dan Budha masing-masing 10%. Itu juga belum dibagi masing-masing kawasan Sumatera, Maluku, Kalimantan, Papua, dan daerah lain yang harus ada. Sementara 13 kriteria lain di antaranya adalah kondisi sosial ekonomi calon murid. Yang diutamakan adalah mereka yang yatim piatu, yatim atau piatu saja, atau masih memiliki dua orangtua tapi miskin. Kemampuan akademik justru masuk urutan keenam atau tujuh. Jadi, meski calon murid itu anak pandai, tetapi kalau secara ekonomi masih terbilang bagus, pasti tidak akan diterima.

Soal akademik tidak menjadi pertimbangan, karena bisa saja si calon siswa pada dasarnya anak yang cukup cerdas tetapi waktu duduk di bangku SMP kalah bersaing. Misalnya karena tidak pernah ikut les atau menjelang ujian harus banting tulang membantu orangtuanya bekerja. Maka, rasanya tidak fair kalau anak miskin tersebut disetarakan dengan anak yang mampu. Selain itu, anak yang punya prestasi bagus biasanya juga sudah ditampung banyak perusahaan. Lagipula, pihak SMA SPI juga tidak mau terjebak dengan pemahaman anak pandai atau bodoh. Karena dengan teknik mendidik yang tepat, anak yang ketika SMP rangking bawah pun, di SMA SPI bisa lebih cemerlang. 

Dan karena salah satu tujuan didirikannya SMA SPI adalah untuk memutus rantai kemiskinan, maka selama bersekolah di SMI, murid akan diajari ilmu entrepreneur, dengan harapan setelah lulus masing-masing anak memiliki jiwa wirausaha. Jadwal jam sekolah setiap hari adalah pukul 07.30 - 15.30, setelah itu bagi yang muslim, usai sholat Ashar akan dilanjutkan pendidikan wirausaha sampai menjelang pukul 18.00 atau menjelang sholat Maghrib. Itu untuk jadwal Senin-Jumat, sedangkan hari Sabtu dan Minggu full untuk kegiatan wirausaha. Untuk kegiatan wirausaha ini, SMA SPI mendatangkan trainer berbagai bidang dari luar sekolah.


Supaya anak-anak lebih bergairah belajar, pihak sekolah juga membiayai tour ke luar daerah, seperti ke wilayah Jawa Timur untuk murid kelas 1, Yogyakarta untuk murid kelas 2, dan Bali untuk murid kelas 3. Sementara khusus murid kelas 3 yang punya prestasi dalam bidang wirausaha akan dikirim ke Singapura, Hongkong, Macau, dan Cina. Pihak pengelola SMA SPI sengaja memberangkatkan mereka ke luar negeri dengan tujuan agar rasa percaya diri anak-anak tersebut semakin tumbuh. Anak dari kalangan tidak mampu memang ada kalanya memiliki rasa minder yang tinggi. Dengan demikian, setelah diberangkatkan ke luar negeri dengan fasilitas mewah, biasanya akan muncul rasa bangga dan percaya diri. Lalu dari sana biasanya akan lahir ide-ide brilian.

Murid-murid SMA SPI juga telah sukses menghasilkan produk makanan kecil yang menjadi trade mark, yakni Coco Banana pada tahun 2010. Coco Banana adalah makanan kecil yang berasal dari pisang dengan dibalut adonan beraneka rasa. Produk ini menjadi andalan dan saat ini omset per tahunnya mencapai Rp 12 milyar. Dari Coco Banana itu pula kemudian lahir 13 divisi usaha lain, mulai divisi merchandise, restoran, perhotelan, tour & travel, air minum isi ulang, peternakan, perikanan, pertanian, dan lain-lain. Saat ini masing-masing suku usaha tersebut omzetnya sudah mencapai Rp 12 milyar per tahun. Yang mengelola bisnis-bisnis itu adalah murid-murid sendiri, baik yang baru duduk di kelas 3 maupun yang sudah lulus. Setelah lulus, murid memang diberi kebebasan apakah ingin balik ke kampung halamannya atau membuka usaha sendiri. Namun, kalau masih ingin bertempat tinggal dan bekerja di SMA SPI pun juga diperbolehkan. Yang memilih tetap bekerja tentu akan dijadi minimal UMR, tetapi itu sangat jarang. Karena, ketika usaha yang dikelolanya sudah besar, murid akan mendapat tambahan dari prosentasi penghasilan.

Outlet untuk divisi restoran, merchandise dan beberapa yang lain dibuka di dalam area SMA SPI, karena hampir setiap hari di kawasan SMA SPI ada kegiatan outbond atau training. Untuk outbond pemandunya adalah murid-murid SMA SPI sendiri, sedang trainer-nya biasanya dilakukan langsung oleh Eka Julianto yang kebetulan memang seorang motivator. Jadi, bisa dibayangkan, bahwa perputaran uang di lingkungan SMA SPI memang cukup tinggi, karena setiap hari selalu ada kegiatan, kunjungan, training, maupun outbond. Selama kegiatan para peserta pun pasti akan makan di restoran atau membeli merchandise pada outlet yang dikelola oleh anak-anak SPI. 


Untuk menjaga kredibilitas maupun tujuan luhur didirikannya SMA SPI, tentu harus dibarengi dengan disiplin tinggi. Dan dari sekian banyak peraturan, ada tiga peraturan yang sangat kaku dan tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, sanksinya pasti akan dikeluarkan dari sekolah. Pertama, dilarang mencuri, kedua sesama murid dilarang pacaran, dan ketiga, selama menjadi murid atau mereka yang lulus tapi tetap tinggal di asrama dilarang pindah agama. Karena SMA SPI tidak ingin ada stigma terjadi islamisasi atau kristenisasi. Justru di sinilah anak-anak diharuskan memperdalam agamanya dengan baik.

Salah seorang lulusan SMA SPI yang cukup berhasil dan kini tetap tinggal dan bekerja di SMA SPI adalah Fatcha, asal Jombang, Jawa Timur. Menurut bungsu dari tiga bersaudara ini, setiap siswa SMA SPI diharapkan bisa menjadi pahlawan, paling tidak pahlawan bagi keluarganya. Gadis yang kini mengembangkan usaha di bidang restoran ini menceritakan, bahwa dirinya tumbuh di tengah keluarga yang sangat miskin. Sejak kelas 3 SD sampai kelas 3 SMP, sepulang sekolah Fatcha harus menjadi pembantu rumah tangga di rumah salah seorang yang terpandang di desanya, demi membantu ekonomi keluarga.

Saat itu, sang ibu menderita diabetes dan lumpuh sehingga tidak bisa beraktivitas. Sementara sang ayah hanya seorang buruh tani di desa. Maka, mau tidak mau Fatcha pun harus turun tangan membantu orangtuanya. Sang ibu sendiri akhirnya meninggal dunia saat Fatcha duduk di bangku kelas 3 SMP. Setamat SMP, Fatcha mendapat informasi bahwa SMA SPI menerima anak-anak tidak mampu. Bahkan selain dididik sampai tamat SMA secara gratis, juga masih dididik menjadi seorang pengusaha. Semula, Fatcha sempat ragu, karena nyaris tidak percaya ada SMA yang gratis sama sekali. Tapi ternyata itu memang benar. Dengan disiplin dan kemandirian yang ditanamkan, Fatcha akhirnya berhasil menggapai impian untuk membahagiakan keluarganya. Dari gaji dan uang bagi hasil dari keuntungan usaha restorannya, ia bisa melunasi biaya haji sang ayah, yang diperkirakan akan berangkat di tahun 2025. Saat ini, Fatcha juga sudah membangun rumah di desa.


Yang tak kalah bangga adalah Clara Rima Putri Sari. Anak kedua dari tiga bersaudar asal Blitar, Jawa Timur ini selain sudah bisa membantu keluarganya di kampung, wawasan wirausahanya juga sudah berkembang. Clara usaha kulakan merchandise langsung dari Cina, atau paling tidak dari Jakarta. Tak heran jika harga berbagai merchandise yang ia jual di outletnya yang ada di dalam lingkungan SMA SPI jauh lebih murah dibanding tempat lain. Saat ini Clara memang sudah bukan disebut reseller lagi, tetapi sudah masuk kategori agen. Mainan anak atau merchandise lain yang dijual di Museum Angkut, Jatim Park, atau Kebun Binatang Surabaya misalnya, itu adalah hasil kulakan dari usaha Clara.

Padahal, jika menengok masa lalunya, hidup Clara sangat susah. Orangtuanya yang tinggal di daerah pelosok Blitar hanya pekerja serabutan sehingga hidup keluarganya pas-pasan. Clara pun bersyukur akhirnya ia bisa diterima di SMA SPI. Dan kini, Clara uga sudah bisa membantu keluarganya membangun rumah. Salah satu yang membuat murid-muri SMA SPI berhasil adalah karena sejak kelas 1 SMA, mereka sudah diarahkan untuk membuat dream book dan kapan harus mencapainya. Mimpi bukanlah bersifat abstrak semata, tetapi bisa diwujudkan dalam bentuk fisik. Misalnya, ketika bercita-cita membeli jenis handphone merk tertentu dua tahun lagi. Untuk mendorong agar mimpi itu terkabul, maka handphone yang diimpikan itu gambarnya bisa ditempel atau disebutkan kapan tenggang waktu harus bisa dicapai.

Komentar