KEHIDUPAN PEMAIN SANDIWARA TRADISIONAL SUNDA 'MISS TJITJIH'



Sejumlah anak-anak bermain riang di halaman sebuah gedung di kawasan Cempaka Baru, Jakarta Pusat. Sebuah pamphlet pertunjukan terpasang di depannya dengan gambar yang cukup menyeramkan bagi sebagian orang.  Tepat di belakang gedung tersebut terdapat sebuah kompleks hunian yang berdiri seperti rumah susun. Kompleks hunian berlantai dua dengan jumlah kamar tak lebih dari 20 itu, merupakan tempat tinggal bagi pemain kelompok sandiwara Miss Tjitjih.

Sandiwara Miss Tjitjih merupakan kelompok sandiwara asal Jawa Barat yang identik dengan pertunjukan drama horor yang didirikan pada tahun 1928. Sebelumnya kelompok sandiwara ini kerap melakukan pentas secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di Jakarta, sebelum akhirnya menetap di wilayah ini. Kini di rumah susun tersebut para seniman menjalani kehidupan keseharian dengan penuh kesederhanaan, kekeluargaan, dan keceriaan. Selain masih aktif memainkan drama pertunjukan, sejumlah anggota seniman Miss Tjitjih ada yang bekerja sebagai PNS, sopir, kondektur angkutan umum, atau memenuhi order panggilan untuk bermain musik di berbagai pagelaran Sunda, serta membuat dekorasi acara pernikahan bergaya Sunda.

Memang saat ini mereka tak bisa lagi bertumpu dari hasil pementasan semata, sehingga harus mengembangkan keahlian dan potensi sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nama Miss Tjitjih memang melegenda dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia, terutama di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Nama Miss Tjitjih diambil dari seorang pemain sandiwara yang lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada tahun 1908.

Memasuki awal tahun 90-an hingga 2000-an, ketika televise swasta mulai tayang di negeri Indonesia, jumlah penonton kesenian ini pun berkurang drastis. Walau begitu para seniman tetap semangat dan bermain dengan professional. Sedikitnya jumlah penonton tak mereka pedulikan. Tujuan mereka hanya satu, menghibur orang dengan sandiwara tradisional Sunda tersebut.  Komunitas pemain sandiwara Miss Tjitjih sampai saat ini memang masih bertahan, walau seni tradisi telah digusur oleh modernitas zaman. Mereka tak sapai kecil hati, walau jumlah penonton yang datang hanya hitungan jari.




  

  




Komentar