BAMBANG TRIMANSYAH, Penulis Buku Cerita Anak Dengan Tema Entrepreneurship






Lahir pada 29 Juni 1972 dan besar di Tebing Tinggi, Deli, Sumatera Utara, tak membuat anak mantan manajer pabrik es ini menjadi tidak kreatif berjualan. Dari berbagai pengalamannya menulis buku anak dan berjualan semasa kecil, pria yang menyebut dirinya komporis buku ini kini rajin menulis buku kewirausahaan untuk anak dengan mengambil latar belakang kuliner.

Bambang menceritakan kisah awalnya terjun ke dunia buku. Selepas lulus SMA di Medan, ia hijrah ke Bandung. Cita-citanya saat itu ingin masuk perguruang tinggi Institut Teknologi Bandung (ITB), sesuai dengan jurusan yang ia ambil waktu SMA, yakni Fisika. Namun impiannya ternyata gagal. Saat itulah, ia melihat di Universitas Padjajaran sedang membuka program studi Diploma 3 Editing yang khusus mempelajari tentang penerbitan. Dan pada tahun 1991, Bambang pun memutuskan masuk ke jurusan itu untuk selanjutnya bisa berkarir di bidang perbukuan. Lulus tahun 1994, ia mulai menulis buku. Awalnya, ia membuat buku pelajaran Bahasa Indonesia dan IPS untuk SD dan SMP yang dipesan penerbit Granesia, grup Pikiran Rakyat.

Tahun 1995, Bambang mulai bekerja sebagai editor di penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung. Setelah itu, beberapa kali pula ia pindah ke berbagai penerbit dengan karir yang terus naik, antara lain di Salam Prima Media, Graphindo, Tiga Serangkai, dan MQ Publishing. Di MQ Publishing yang dimiliki dai kondang AA Gym, terakhir ia menjabat sebagai direktur utama. Di situ ia menangani buku pelajaran dan buku anak benuansa agama, walaupun ada juga beberapa buku umum yang ditulisnya, seperti buku tentang politik dan buku tentang bagaimana cara menerbitkan buku.

Namun, secara umum, setelah bergabung dengan MQ Publishing, ia memang lebih banyak menulis buku anak yang semuaya bernuansa religi. Misalnya buku aktivitas Ramadhan untuk anak, tuntunan perilaku anak shaleh, dan tanya jawab anak muslim.

Sampai akhirnya ia menemukan tema menarik untuk dituliskan dalam buku anak, yakni tema tentang entrepreneurship.  Ia mengawalinya pada tahun 2010 dengan menulis buku Kids On Business. Buku itu pun sukses besar, dan akhirnya membuatnya menulis beberapa buku cerita lain dengan tema entrepreneurship. Yang menarik, buku-buku yang ditulisnya itu selalu mengambil latar belakang sejarah kuliner kuno.



Pilihan mengambil tema entrepreneurship pada buku anak menurut Bambang, karena sebetulnya konsep entrepreneurship ini sudah lama ia tekuni. Berdasarkan pengalaman, menurutnya mengenalkan entrepreneurship sangat telat jika baru diajarkan di bangku perguruan tinggi. Karena entrepreneurship sifatnya seperti ruh atau jiwa yang ada dalam tubuh manusia sejak lahir. Dari survey yang ia lakukan ketika mengajar di beberapa perguruan tinggi, 90 persen para mahasiswanya tidak tahu mengapa dia masuk ke jurusan yang diambilnya.

Ada yang hanya karena faktor keinginan orang tua, karena statusnya perguruan tinggi negeri, atau karena faktor temannya yang juga masuk ke jurusan yang sama. Dan mereka semua tidak tahu ingin menjadi apa setelah lulus kuliah. Mereka hanya mengikuti laksana air mengalir, dan tidak mempunya visi misi dalam hidupnya. Hal yang demikian sangat berbahaya bagi seorang entrepreneur.

Menurut Bambang, konsep entrepreneur perlu ditanamkan sejak dini, yaitu sejak di bangku sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Maka itu, mata pelajaran tentang entrepreneur seharusnya sudah dibuat kurikulumnya sejak TK, kemudian dilanjutkan ke tingkat SD. Kurikulum ini pun boleh saja dimasukkan dalam kegiatan ekstrakulikuler. Di Indonesia, Bambang melihat masih sedikit sekali sekolah yang melakukan langkah ini, karna memang belum ada kurikulum yang mengarah ke pelajaran tentang entrepreneur.

Dalam mata pelajaran tentang entrepreneur ini nantinya akan ada aktifitas siswa untuk menghasilkan suatu produk, bisa berupa jasa atau barang untuk dijual. Namun sebelum sang siswa menawarkan produknya, kemampuan soft skill-nya harus dikuatkan terlebih dahulu, yaitu kejujuran, kepercayaan diri, pengetahuan tentang produk yang dijualnya, dan sebagainya. Selain diberikan teori, tentu juga diberi praktiknya. Misalnya, dengan jalan-jalan ke pasar tradisional dan sebagainya.

Di dalam bukunya Kids On Bussines, Bambang berusaha menyadarkan para orang tua tentang potensi entrepreneurship pada setiap anak. Juga memberikan pandangan bagaimana jiwa entrepreneurship bisa ‘diinstal’ ke dalam diri anak. Menurut Bambang, setiap orang harus mampu membangun menara karir sejak dini, yang isinya tentang kapan ia akan memulai masa bermimpi, dan usaha-usaha untuk mewujudkannya. Jika sampai usia 35 tahun seseorang masih juga belum tahu apa yang akan dilakukannya, maka ‘selesai’ sudah hidupnya. Minimal, setelah lulus SD, seorang anak harus sudah tahu ke mana kecenderungan minat dan cita-citanya.

Bambang memberikan contoh usaha yang bisa dilakukan seorang anak untuk menumbuhkan potensi entrepreneurship. Antara lain, membuat jasa penulisan, menjual hasil kerajinan, dan sebagainya. Bambang juga menjelaskan, bahwa entrepreneur (pengusaha) dengan pedagang itu berbeda. Banyak yang salah paham mengenai konsep entrepreneur, dimana selalu menganggap pedagang juga bisa disebut entrepreneur. Misalnya saja, seseorang yang membeli usaha waralaba lalu menyebut dirinya entrepreneur. Padahal, yang seperti itu lebih tepat disebut pedagang, belum tentu pengusaha.  

Ada letak perbedaannya. Pengusaha adalah orang yang memiliki sifat-sifat dasar kewirausahaan, antara lain percaya diri, kreatif, berani, tahan banting, berbagi, tahu produk secara detail, dan sebagainya. Sifat-sifat dasar pengusaha inilah yang akhirnya dijadikan Bambang sebagai tema buku cerita anak yang dibuatnya, dengan mengambil latar belakang kisah seputar kuliner.  

Pilihannya pada kuliner, karena ia berpikir bahwa anak-anak pada dasarnya senang makan. Suatu kali, Bambang mengajak anaknya, Valya Hibatillah ke restoran pizza. Di sana sang anak bertanya dari mana asal pizza ? Setelah dijawab, Italia, sang anak bertanya kembali, “bagaimana sejarah Italia ?”. Dari situlah Bambang berpikir, dari pertanyaan yang dilontarkan anaknya itu, akan menjadi menarik bila dibuat cerita sambil ditanamkan semangat entrepreneurship secara tidak kentara.

Namun salah satu kelemahan sastra anak Indonesia adalah kalimatnya yang terkesan menggurui atau meminjam mulut orang dewasa, misalnya lewat nasihat dokter gigi ketika berecerita tentang kesehatan gigi. Sebetulnya anak-anak tidak suka dengan cara itu. Maka, Bambang pun berusaha bagaimana cerita yang ia buat tetap mengalir tapi pesan entrepreneurship-nya tersampaikan.

Yang ingin disampaikan oleh Bambang lewat cerita yang dibuatnya, paling utama adalah kejujuran atau integritas. Kedua, kepercayaan diri. Ketiga, kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Semua buku-buku yang ia tulis itu masih ada kelanjutannya.

Buku cerita anak yang mengambil latar belakang sejarah kuliner klasik dari berbagai negara ini, antara lain bercerita tentang bakpao, pizza, dan kebab. Di dalam ceritanya, Bambang menyelipkan sifat-sifat dasar berwirausaha. Di buku Martha dan Pizza Kebahagiaan, pesan yang diselipkan adalah, saling berbagi. Sedangkan di buku Ling Ling dan Bakpao Keberanian, pesannya adalah tentang keberanian dan percaya diri. Sementara di buku Jamal dan Kebab Persaudaraan yang jadi intinya adalah persahabatan. Dan hampir semua cerita di buku anak yang dibuatnya ini berbasis kegetiran.



Hal ini dipilih Bambang, karena jika kita melihat, tidak ada satu pun pengusaha sukses yang tak mengalami kegetiran, kecuali usaha itu warisan orang tua. Entrepreneurship itu memang bermula dari kegetiran. Lantaran kegetiran itulah, yang lalu mendorong mereka untuk mempertahankan hidup.

Dalam sastra anak di luar negeri, kegetiran selalu dimasukkan dalam cerita untuk menyiapkan mental anak agar kuat. Di sana, kegetiran yang diselipkan antara lain perpisahan orang tua dan kisah orang tua tunggal. Sementara di Indonesia, hal yang demikian masih tabu untuk diceritakan ke anak-anak, padahal anak-anak di Indonesia pun juga banyak yang menghadapi kegetiran. Dalam buku Martha dan Pizza Kebahagiaan misalnya, diceritakan tokoh Martha hidup sebatang kara. Lalu dalam buku Ling Ling dan Bakpao Keberanian, tokoh Ling-Ling telah kehilangan bapaknya. Sementara dua tokoh di buku tentang kebab, si tokoh utama diceritakan diasuh oleh bapak angkat.



Buku cerita anak yang ditulis Bambang selalu mendapat respons yang sangat baik. Tidak sedikit pembaca dari golongan orang tua yang mengiriminya email, memberikan komentar positif. Bahkan ada yang memintanya untuk menghadiri diskusi soal entrepreneurship untuk anak atau diminta membuat kurikulum di sekolah.

Selain sebagai penulis buku cerita anak, Bambang sendiri saat ini juga menekuni dunia usaha. Ia mengelola perusahaan sendiri yang bergerak di bidang manajemen bisnis dan trend buku di Bandung. Usaha ini didirikannya di akhir tahun 2011, setelah keluar bekerja dari perusahaan penerbit Tiga Serangkai. Bambang mengisahkan, bahwa dulunya ia juga mengalami kasus yang sama dengan yang ia ceritakan di buku-buku karyanya. Antara lain, ia mengaku dulunya termasuk orang yang introver, tidak terlalu berkomunikasi dengan orang lain, kecuali dengan teman sendiri.

Dan yang mengubah sifatnya itu adalah semangat kewirausahaan. Melanjutkan kisahnya, Bambang bercerita, dulunya sang Ayah bekerja sebagai manajer di pabrik es Sari Petojo di Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Di sana, masyarakatnya terbiasa berbuka puasa dengan minuman pakai es. Nah, saat duduk di kelas empat SD, diam-diam ia berjualan es dengan menjadi asisten anak karyawan pabrik es. Ia menunjukkan, walau saat itu ia anak seorang manajer, tapi tidak malu untuk ikut berjualan es.

Selain berjualan es, Bambang juga punya pengalaman bisnis lain. Kebetulan ia tumbuh di generasi yang anak mudanya menyukai breakdance dan sepeda BMX. Momen itu pun ia manfaatkan untuk berbisnis. Di kelas enam SD, ia dan teman-temannya membuka bengkel sepeda BMX. Lalu ia mempunyai ide, bahwa jeruji sepeda BMX yang kecil dan lemah itu bisa diganti dengan jeruji motor yang besar dan kuat. Ia pun menawarkan jasa mengganti jeruji itu, yang pengerjaannya dilakukan oleh temannya. Teman-teman di sekolahnya yang sedang menggilai sepeda BMX, ia tawarkan untuk dimodifikasi. Dari situ ia bisa mendapatkan keuntungan.

Di kelas 1 SMP, Bambang dan teman-temannya juga sempat merakit sendiri bagian-bagian sepeda. Setelah jadi sepeda itu pun dijual. Masih bersama teman-temannya ia juga sempat menjual aksesori breakdance. Salah seorang temannya ada yang membeli gelang paku yang saat itu harganya cukup mahal. Gelang itu lalu mereka bongkar untuk memperhatikan cara pembuatannya. Setelah paham, mereka membuat sendiri barang yang sama dengan harga yang lebih murah. Bahan kulit dibelinya di tukang sol sepatu. Lalu kancing besi, dibelinya di toko kancing. Setelah gelang paku itu jadi, langsung dijual.

Bambang pun juga telah menularkan jiwa entrepreneurship kepada anaknya, Valya. Atas keinginannya sendiri, Valya yang masih duduk dibangku SD, mencoba berjualan di sekolahnya. Valya membeli beragam aksesori dan pembatas buku yang lucu untuk dijual lagi. Sejak kecil, Valya pun sudah diajaknya berjualan buku, ketika ia masih bekerja di berbagai penerbit.

Tiap ada pameran buku besar, ia selalu mendatangi stand penerbit tempatnya bekerja dengan mengikut sertakan anak dan istrinya. Di sana, anak dan istrinya biasanya ikut membantu berjualan. Sebetulnya, Valya termasuk anak yang pemalu. Misalkan saja, ketika ditaya, ‘berapa jualannya yang laku ?’, selalu dijawabnya ‘tidak tahu’. Namun saat dibuka tasnya,  banyak sekali uang Rp 2000-an di dalamnya.  Tanda bahwa jualannya banyak yang laku. Bahkan saat ini Valya juga mulai hobi menulis.

Meski telah sukses mengenalkan semangat entrepreneurship di kalangan anak-anak, Bambang mengakui masih ada saja halangan yang ia temui. Ada beberapa guru di sekolah yang melarang murid-muridnya untuk berjualan. Aturan seperti itu yang menurutnya bisa membelenggu kreativitas siswa. Itu karena guru masih menganggap bahwa entrepreneurship hanyalah berjualan semata. Padahal, berjualan itu hanyalah sebagai ujungnya saja. Karena yang terpenting adalah soft skill-nya.

Saat ini, selain masih disibukkan dengan menulis buku cerita anak, Bambang juga mempunyai aktivitas lain, yaitu membuat kurikulum pesanan  berbagai sekolah, juga untuk instansi-instansi pemerintah. Selain itu ia juga masih mengajar di perguruan tinggi, dan tetap mengelola perusahaannya yang salah satu bidangnya juga mengadakan workshop penulisan dan penerbitan buku. Ia memang senang mengajak orang untuk menulis buku. Maka itulah ia selalu menyebut dirinya ‘komporis’ buku.

Bambang pun juga menulis buku-buku entrepreneur untuk dewasa, artikel dan cerpen di berbagai media massa. Total buku yang ditulisnya sudah lebih dari 100 buah. Mayoritas memang buku anak, termasuk buku yang diterbitkan di Malasyia. Selebihnya, Bambang menikmati hidup bersama anak dan istrinya, Susilowati, di kota Bandung.   

   




   



Komentar