CAESILIA INTAN PRATIWI, Pemilik Majalah GitarPlus dan Penggagas Acara Gitaran Sore



Tak sekedar memimpin majalah gitar, perempuan kelahiran 1973 di Jakarta ini juga menggelar acara Gitaran Sore. Sebuah acara yang menampilkan menu utama solo gitar. Ternyata, peminatnya membludak. Acara pun sukses digelar di banyak kota di Tanah Air.

Caesilia bersama suaminya, Eka Venansius mendirikan majalah GitarPlus di tahun 2004 dilatari karena kepedulian saja. Ia melihat Indonesia punya potensi banyak gitaris yang luar biasa, tapi saat itu tidak punya majalah gitar sendiri. Dengan membuat majalah sendiri, mereka pun bisa menampilkan profil para gitaris hebat. Misalnya Baim, Choki Netral, atau Andra & The Backbone.

Selain itu, ia membuat majalah gitar tidak hanya untuk menghibur, tapi ada fungsi edukasinya. Oleh karena itu, di majalah itu pun turut pula dihadirkan review produk, rubrik yang diasuh para gitaris yang salah satunya Jubing Kristianto, pengasuh Klinik Gitar Akustik.

Oleh karena Caesilia tidak mengerti gitar, tentu saja ia harus merekrut orang-orang yang ahli di bidangnya. Tugasnya hanyalah sebagai manajer, menempatkan orang-orang yang tepat di bidangnya. Saat ini, dengan anggota tim redaksi yang berjumlah 15 orang, majalah GitarPlus mampu bertahan, dengan tiras 15-17 ribu eksemplar.

Awalnya memang tidak mudah mendirikan majalah tentang gitar. Dalam tiga tahun pertama, susah sekali mencari pemasang iklan, sampai-sampai untuk membiayai produksi, Caesilia harus mengeluarkan dana pribadi. Ia pun terpaksa harus turun tangan sendiri mencari pengiklan. Akhirnya berkat kesabaran dan mau terus berjuang, pemasang iklan pun bisa didapatkan.

Sebelum mendirikan majalah GitarPlus, Caesilia sebenarnya sudah punya tiga majalah musik yang cukup laris. Cerita bermula, setelah ia menyelesaikan pendidikan di Sastra Indonesia Universitas Padjajaran, ia sempat bekerja di beberapa tempat. Sampai akhirnya di tahun 2001 ia memulai bisnis majalah, dengan membuat GMagz, majalah yang berisi chord lagu-lagu Indonesia. Saat itu ia hanya mengikuti trend pasar yang sudah ada. Karena pada saat itu, ada beberapa majalah sejenis yang dilihatnya berpeluang bagus.

Ia pun merekrut orang yang mempunyai wawasan musik luas dan pandai mengulik lagu. Tak lupa, ia juga selalu mengamati perkembangan lagu yang sedang trend. Penjualan GMagz boleh dibilang laku keras, sampai pernah dicetak sebanyak 50 ribu eksemplar. Saat dilempar ke pasaran, tidak sampai seminggu sudah terjual habis. Saat itu, industri musik Indonesia memang sedang bagus, karena sering sekali ada kelompok musik yang mengeluarkan album, langsung booming.

Majalah yang menampilkan chord lagu-lagu memang sangat disukai pada waktu itu, hingga ada sekitar 30 kompetitor di bidang yang sama. Bahkan, Caesilia pun sampai mempunyai tiga majalah sejenis yang masing-masing terbit bulanan. Selain GMagz, ia juga melahirkan majalah MrG yang berisi chord lagu dipadu TTS, zodiac, dan cerpen. Juga ada majalah G2.

Namun Caesilia tersadar, bermain di bisnis majalah ini tidak ada tantangannya. Oleh karena itu, ia pun mencari tantangan baru dengan membuat majalah GitarPlus. Dan belakangan, majalah GitarPlus justru punya prospek yang bagus. Di sisi lain, majalah chord yang ia dirikan sebelumnya mulai kehilangan pembaca, seiring mulai lesunya industri musik Indonesia. Sampai akhirnya, ketiga majalah jenis itu pun ia tutup karena sudah tidak ada prospek lagi. Dan saat ini, ia hanya konsentrasi membesarkan majalah GitarPlus saja.

Dalam mengembangkan majalah GitarPlus, Caesilia pun melakukan pendekatan yang berbeda dengan majalah sebelumnya. Jika majalah GMagz, MrG, saat dilepas ke pasar banyak lapak yang menjual hingga ke daerah terpencil, ternyata hal demikian tidak berlaku untuk GitarPlus. Saat ditaruh dilapak, penjualan majalah GitarPlus tidak berjalan lancar. Oleh karena itu, untuk memperkenalkannya ia merangkul komunitas gitar. Walau lingkupnya menjadi lebih kecil, tapi pemasarannya jelas, dan pembacanya juga lebih loyal. Majalah GitarPlus pun menjadi barang berharga bagi orang-orang yang memang punya minat besar di dunia pergitaran.



Selain itu Caesilia juga melakukan pendekatan secara personal, baik lewat facebook maupun Blackberry Messenger (BBM). Dengan pendekatan seperti itu, akhirnya hubungan yang terjadi pun bukan lagi hubungan searah antara pemilik media dan pembaca, tapi menjadi sebuah keluarga dalam suatu komunitas. Majalah GitarPlus sudah menjadi milik bersama gitaris dan komunitasnya. Saat ini, penjualan GitarPlus stabil di 17 ribu eksemplar dan beredar secara nasional.

Salah satu langkah yang dilakukannya untuk mendekati komunitas gitar adalah, dengan membuat event untuk semakin mendekatkan diri dengan pembaca. Di situ, Caesilia bisa meleburkan diri dengan mereka. Di tahun 2007, ia membuat acara bertajuk Guitar for Fun, di studio milik Vicky Sianipar, Jakarta. Awalnya ia membuat acara itu hanya sekedar senang-senang saja. Ia memodali sendiri kebutuhan acara, karena saat itu memang belum ada sponsor yang tertarik.

Di acara itu, Caesilia menampilkan para gitaris seperti Prisa Adinda Arini (gitaris perempuan), Pupun, Andy Owen, dan Shiela Kotak. Penontonnya ternyata lumayan banyak, ada sekitar 400 orang. Dari situlah, ia berpikir bahwasanya komunitas gitar memang ada. Gelaran acara itu tak lupa juga diliput dan ditulis majalah GitarPlus. Dari situ, komunitas gitar di Bandung memintanya agar acara serupa bisa diselenggarakan di kotanya.

Tahun berikutnya, ia pun mengabulkan permintaan itu dengan membuat acara di Bandung, dan di tahun 2010, acara juga dibuat di Yogyakarta. Awalnya, ia memang merancang acara ini dibuat setahun sekali. Acara ini tak sekedar berisi hiburan, tapi ada juga unsur edukasinya. Konsepnya, para gitaris tampil solo, kemudian setelah itu ada sesi tanya jawab. Misalnya, para gitaris menceritakan pengalaman dan perjalanan kariernya dan tehnik bermain. Para gitaris terkenal yang tampil pun makin banyak, seperti Balawan dan Jubing Kristianto.

Walau acara yang dibuatnya itu terbilang sukses, namun Caesilia sadar ia cukup kerepotan juga, terutama menyangkut masalah dana. Selama belum ada sponsor yang tertarik membiayai acara konser gitar itu, ia selalu membiayai sendiri dari uang pribadinya. Setiap satu event biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 70-80 juta. Biaya itu meliputi sewa tempat, akomodasi, hotel, dan honor gitaris. Tapi Caesilia tak pernah patah semangat, dan mempercayai semua itu bagian dari sebuah proses. Asalkan ditekuni dan dijalankan dengan baik, ia yakin akan bertemu dengan jalan keluarnya. Saat itu, ia sudah cukup puas ketika penonton yang datang ke acaranya ramai dan mereka bertahan sampai akhir acara. Hal itu membuat keyakinannya bertambah, bahwa acara semacam itu memiliki prospek yang cerah.

Sampai akhirnya Caesilia mulai berhasil meyakinkan sponsor. Awalnya, ia mendapat sponsor sebesar Rp 35 juta untuk event di dua kota, Makassar dan Medan. Selanjutnya di tahun 2011, ia pun bisa menyelenggarakan 7 event dalam setahun dan berhasil dapat beberapa sponsor. Dan sejak tahun 2011 itu pula, acaranya ia ganti nama menjadi Gitaran Sore.

Caesilia pun semakin banyak melibatkan anak-anak komunitas yang punya kemampuan sangat baik, tapi tak punya kesempatan manggung. Mereka lalu ditampilkan untuk acara pembukaan (opening). Peminatnya juga cukup banyak, namun ia membatasi hanya untuk 10 gitaris, dari komunitas di satu kota.

Suatu hari, Caesilia juga berkesempatan menulis buku berjudul Bermain dengan Uang. Pada saat peluncuran buku ini di Bandung, anak-anak komunitas gitar pun membuat acara khusus bertajuk Bandung Lautan Gitar. Di dalam acara itu tampil 54 gitaris termasuk anak komunitas dan gitaris terkenal. Penontonnya pun membludak sampai ribuan. Tak ada lagi jarak antara komunitas dengan para gitaris terkenal. Suasananya sangat cair dan akrab. Pengalaman yang sungguh luar biasa itu pun, sampai menjuluki Caesilia sebagai ‘ibunya’ gitaris Indonesia.



Acara yang digelar di sebuah pelataran parkir yang luas itu tidak hanya ditonton oleh masyarakat komunitas gitar saja, tapi banyak juga masyarakat biasa yang turut menyaksikan. Kebetulan saat itu juga bertepatan dengan bulan puasa, hingga acara itu seperti jadi kegiatan ngabuburit. Hal yang sama terjadi juga saat ia menyelenggarakan pentas di Jember dan Malang, Jawa Timur. Penontonnya juga mencapai ribuan. Dalam membuat acara seperti itu, Caesilia memang selalu memilih lokasi outdoor, agar bisa menampung banyak orang.





Puncaknya di taun 2012, ia membuat konser gitar di 16 kota dengan meminta bantuan dari sponsor. Acara itu pun sukses diselenggarakan dalam waku tiga bulan saja. Caesilia merasakan Gitaran Sore seperti konser band-band terkenal. Dalam waktu satu minggu, Gitaran Sore bisa tampil di tiga kota. Selain itu di sela-sela menyiapkan konser 16 kota itu, ia juga sempat membuat album kompilasi 10 gitaris.

Saat ini Caesilia memang hanya konsentrasi pada acara Gitaran Sore, sementara majalah GitarPlus pengelolaannya sudah diserahkan ke tim redaksi. Selain menggelar acara Gitaran Sore, Caesilia juga ikut terlibat membuat acara Jakarta Clothing di Parkir Timur Senayan. Acara yang berlangsung selama empat hari ini juga menampilkan 100 gitaris, dengan pembagian satu hari diisi oleh 25 gitaris.

Banyak kota besar yang sudah disinggahi acara Gitaran Sore, misalnya Jambi, Bandar Lampung, Palembang, Pekanbaru, Makassar, Kendari, Banyuwagi, Madiun, Jember, Malang, dan masih banyak lagi. Dalam setiap pementasan aara itu, Caesilia juga turut menjual kaus GitarPlus yang ternyata responsnya juga cukup bagus. Dalam waktu enam bulan, bisa terjual seribu kaus.

Kesibukan Caesilia mengurus majalah GitarPlus dan acara Gitaran Sore, terpaksa sering membuatnya jarang pulang ke rumah. Namun ia masih merasa, bahwa kegiatannya ini hanyalah sebuah kegiatan kecil yang dilakukannya untuk mengembangkan dunia gitar di Indonesia. Ia pun berharap, dunia gitar di Indonesia ke depannya makin semarak dan bergairah.

Komentar