MENIKMATI PESONA KEINDAHAN ALAM DI TRAWAS




Di ufuk barat, matahari mulai mendekati batas cakrawalanya. Perlahan tapi pasti, bola bulat raksasa itu kian membenamkan diri, siap untuk menghilang dan kembali keesokan pagi. Seiring pergerakan surya yang hendak tenggelam, pancaran warna jingga kemerahan juga menghiasi langit. Hari itu, senja telah menyelimuti hamparan persawahan terasering dengan hiasan pemandangan puncak Gunung Welirang di sisi barat daya.



Seakan bersenyawa menyambut datangnya langit petang, semacam alunan paduan suara saling bersahutan membentuk harmoni secara alami. Dari sebidang sawah, entah dari petak yang mana, suara katak mulai terdengar. Lalu dari seberang jalang beraspal selebar sekitar 4 meter, terdengar juga suara tonggeret, atau sering disebut juga cenggeret. Suara serangga itu terdengar melengking dari balik deretan pohon akasia yang ditanam warga. Sesekali juga terdengar suara jangkrik dan orong-orong.

Hari senja dan alunan suara hewan itu menjadi terasa paripurna ketika suara orang mengaji mulai tersiar dari pengeras suara. Itu saatnya bagi para petani untuk pulang, mandi, dan bersiap sholat Maghrib berjamaah.

Pesona senja itu terjadi di Desa Kedungudi, sebuah lingkungan yang masih asri dari kawasan Gunung Penanggungan sebelah selatan, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Selain di Desa Kedungudi, pemandangan yang sama juga bisa kita temui di Dusun Sempur, Desa Seloliman, masih di wilayah kecamatan yang sama. Bahkan di Desa Seloliman yang juga disebut sebagai pusat padi, terdapat juga aliran kali irigasi yang berasal dari kaki Gunung Penanggungan dan Gunung Welirang.

Wilayah Trawas, dikenal dengan pola persawahannya yang berupa sistem terasering atau bertingkat-tingkat, mengikuti kontur tanah. Ada sejumlah desa yang menerapkan sistem persawahan seperti itu, seperti Desa Penanggungan, Desa Seloliman, Desa Selotapak, Desa Tamiaji, Desa Kedungudi, hingga Desa Sendang. Bahkan di Desa Sendang, hamparan sawah terasering itu terlihat saling berhadap-hadapan. Pada bagian tengah dari sawah terasering berwarna hijau itu terlihat pemandangan Gunung Penanggungan dengan puncaknya yang berwarna cokelat. Pemandangan yang sangat mempesona mata. Hingga banyak yang memberi perumpamaan kawasan Trawas dengan ‘little Ubud’, daerah wisata alam yang amat kesohor di Bali.



ASAL MULA TRAWAS.

Trawas adalah daerah yang berada di kawasan lembah di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Daerah ini diapit oleh dua gunung, yakni Gunung Welirang dan Penanggungan. Asal nama Trawas ini sebenarnya berasal dari sebuah pohon. Pohon tersebut hamper sama seperti halnya pohon beringin. Berdasarkan informasi dari para orang tua di wilayah tersebut, konon dulunya di mana ada pohon trawas, biasanya di sana juga menjadi tempat sumber air.

Sayangnya, pohon trawas ini sekarang sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada pohon sejenis yang berada di daerah Sumber Macan, itu bukanlah pohon trawas, tapi masyarakat setempat menyebut pohon sejenis beringin itu dengan nama pohon bulu. Pohon bulu itu saat ini memang menjadi indikator bahwa di tempat tersebut ada mata air yang cukup besar. Maka dari itu, banyak orang yang menilai bahwa pohon itu adalah trawas karena memiliki mata air.

Terlepas dari persoalan pohon trawas, daerah ini sekarang telah menjadi salah satu tujuan wisata bagi warga Jawa Timur dan sekitarnya. Dengan posisinya yang berada di kawasan lembah, maka tidak mengherankan jika wilayah ini kerap menjadi pilihan yang menarik untuk menghabiskan waktu pada akhir pekan. Dengan udaranya yang masih cukup sejuk di daerah ini tersedia sejumlah tempat penginapan berupa vila maupun hotel.   

BERWISATA ALAM DI JOLOTUNDO



Petirtaan Jolotundo, tempat ini menjadi salah satu lokasi yang wajib dikunjungi bila menapaki langkah di bumi Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Tempat ini diyakini banyak orang dan warga setempat dialiri air suci yang abadi. Tak sedikit pula yang meyakini, jika rutin mandi di pancuran Petirtaan Jolotundo ini maka akan membuat tubuh awet muda.

Suasana di tempat ini menebar rasa nyaman. Suara gemericik air yang keluar dari pancuran seakan menyatu dengan semilir angin dari pepohonan besar yang mengikat lereng Gunung Penanggungan. Sangat menyejukkan. Petirtaan Jolotundo terletak di dalam komplek Candi Jolotundo yang berada di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas. Bangunan purbakala ini berada di sisi barat lereng Gunung Penanggungan, yang berketinggian 525 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Candi Jolotundo merupakan peninggalan purbakala yang sangat berharga. Berdasarkan penanggalan yang tertera di batu candi, pada bangunan ini menyelip angka Jawa kuno yang merujuk 899 Saka. Dalam penanggalan Masehi, angka tersebut sepadan dengan 977 M. Maka candi ini bisa dibilang sebagai bangunan tertua di Jawa, bahkan di Indonesia, berdasarkan angka tahun yang tertulis pada bangunan. Penulisan angka tahun pada sebuah bangunan umumnya memang membudaya di wilayah Jawa Timur.

Magnet utama dari bangunan purbakala ini memang terletak pada air yang mengucur dari lereng gunung. Lereng gunung ini masih tampak asri. Hutan primernya ditumbuhi pohon-pohon berusia puluhan tahun. Air yang memancur itu kemudian ditampung dalam sebuah kolam berukuran 16 x 13 meter. Pada kolam tersebut terdapat dua tempat yang digunakan untuk mandi di bawah pancuran. Tempat untuk mandi itu berukuran kecil, tak lebih dari lima meter persegi. Posisinya berada di kiri dan kanan kolam. Di sebelah kanan digunakan untuk pria. Lalu di sisi sebelah kiri atau berjarak sekitar 24 langkah kaki orang dewasa dari tempat mandi pria, dipakai sebagai pancuran bagi kaum hawa.

Di tempat pemandian ini, airnya tidak terlalu dingin menusuk tulang. Air keluar dari mulut batu candi, air tersebut kemudian tertampung membentuk kubangan setinggi dengkul orang dewasa. Di tempat ini juga ada larangan untuk membasuh diri dengan sabun detergen. Pada bagian tengah dari kolam, terdapat semacam teras. Di bawah teras itu konon pernah terdapat tiga artefak yang terbuat dari bahan emas. Sayangnya, artefak peninggalan dari abad sepuluh itu telah dicuri dari Museum Nasional Jakarta. Tiga artefak yang hilang tersebut adalah lempeng naga mendekam berinkripsi, lempeng bulan sabit beraksara, dan wadah tertutup atau cepuk.

Lalu mengelilingi bagian kolam terdapat ikan-ikan yang berseliweran. Ikannya menyerupai bentuk ikan mas dan nila. Warga setempat meyakini ada semacam pantangan untuk tidak boleh mengambil ikan yang ada di Petirtaan Jolotundo ini.



Di dalam komplek Candi Jolotundo, terdapat pula bangunan lain yang bentuknya seperti candi,-bentuknya semakin ke atas semakin meruncing, yang posisinya menempel pada dinding belakang Petirtaan Jolotundo. Bangunan ini mempunyai dua relung. Relung bagian atas telah kosong, sedangkan relung bawah terdapat arca naga yang berfungsi sebagai saluran air dari dinding belakang ke kolam kecil. Di bangunan ini terdapat pula pahatan tulisan yang berbunyi gempeng. Letaknya di sisi sebelah utara. Sedangkan pada bagian selatan dinding singgasana ini terdapat pahatan angka 899 saka. Selain itu terdapat lagi sebuah pahatan berbunyi Udayana. Adanya tulisan inilah yang kemudian memunculkan banyak spekulasi jika bangunan purbakala ini memiliki keterkaitan dengan Raja Bali, Udayana.

Bahkan, spekulasi itu semakin mengerucut pada sebuah kesimpulan jika tempat pemandian ini dihadirkan sebagai bentuk persembahan bagi Airlangga, putra dari Raja Udayana. Tapi sebenarnya, kesimpulan ini masih terlalu dini. Karena banyak juga peneliti yang telah membantah bahwa bangunan ini tidak ada kaitannya dengan Raja Udayana di Bali.

Terlepas dari spekulasi yang simpang siur tadi, tempat pemandian ini memang telah menjadi magnet utama di kawasan Trawas. Apalagi pada saat memasuki tanggal 1 Syura. Wisatawan yang mendatangi tempat ini bisa membanjir. Bahkan, antrean kendaraan pun bisa mengular hingga dua km dari pintu gerbang Petirtaan Jolotundo. Petirtaan Jolotundo memang sangat cocok untuk yang ingin menikmati wisata alam dengan biaya murah meriah. Untuk masuk ke tempat ini, pengunjung hanya perlu merogoh kocek tket amsuk Rp 6000 per orang untuk dewasa, dan Rp 4000 bagi anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun. Tempat ini terbuka selama 27 jam sehari dan aktif selama tujuh hari dalam seminggu. Rata-rata per minggunya pengunjung yang datang ke tempat ini mencapai 200-300 orang.

TENTANG KANDUNGAN AIR DI CANDI JOLOTUNDO

Kandungan air yang ada di Candi Jolotundo rupanya memiliki kualitas terbaik. Pada decade 1980-an pernah dilakukan penelitian terhadap kandungan kualitas air di tempat purbakala ini. Hasilnya, kualitas airnya ternyata menduduki rangking lima besar terbaik di dunia. Bahkan hasil riset yang dilakukan pada 1991 sempat terungkap fakta, bahwa kualitas air di Candi Jolotundo ini sudah naik dua peringkat dalam kualitas terbaik air di dunia. Pembuktian atas kualitas air di sini bisa dilakukan melalui uji coba kecil-kecilan, yakni dengan menyimpan air selama dua tahun. Ternyata, bau, warna, dan rasanya tidak mengalami perubahan.

Dalam laporan hasil riset yang dilakukan Bakosurtanal dan LIPI pada tahun 1991, menjelaskan bahwa air yang ada di tempat ini muncul dari hasil kontak antara batuan breksia Gunung Api Penanggungan dan lava yang ada di atasnya. Sayangnya, dari riset tersebut tidak dijelaskan secara gambling perihal kandungan kualitas air yang ada di tempat ini.

CARA KE JOLOTUNDO

Untuk menuju ke Petirtaan Jolotundo ini kita akan melewati jalan aspal selebar enam sampai tujuh meter. Sepanjang menuju lokasi, kita akan melewati alam pedesaan yang memperlihatkan keindahan sawah terasering serta deretan pepohonan yang sudah berusia tua. Lokasi bangunan purbakala ini berada di lereng Gunung Penanggungan sebelah barat. Dari kota kecamatan Trawas, perjalanan bisa mengarah ke Desa Seloliman. Sejauh ini belum ada angkutan umum yang siap membawa penumpang untuk menuju ke lokasi ini. Yang pasti, Petirtaan Jolotundo ini menjadi salah satu akses untuk mendaki ke puncak Gunung Penanggungan. Jika mendaki dari tempat ini maka akan bisa langsung menemukan deretan candi-candi yang menjadi peninggalan masa Majapahit.


BERKUNJUNG KE KAMPUNG ORGANIK BRENJONK



Menyambangi Trawas rasanya tak lengkap tanpa menikmati produk sayuran organiknya. Pengembangan pertanian organik di wilayah ini hampir menyebar di beberapa desa di Kecamatan Trawas., Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Pengelolanya pun beragam. Mulai dari institusi pendidikan, organisasi non pemerintah, hingga masyarakat petani yang berhimpun menjadi komunitas.

Brenjonk adalah salah satu pengelola pertanian organik yang dilakukan oleh masyarakat Trawas. Brenjonk yang dikenal sebagai kampung organik ini berada di Desa Penanggungan, Kecamatan Trawas. Di pintu masuk kawasan Brenjonk ini terdapat pula pojok makanan organik yang dikelola oleh anggota komunitas. Anggota Brenjonk saat ini sudah menyebar di 20 dusun dan dua kecamatan.

Hal yang cukup unik dari komunitas ini adalah pengelolaan pertanian organik ini ternyata memanfaatkan lahan pekarangan yang ada di depan rumah. Bahkan, dengan hamparan yang hanya berukuran 3x4 meter, warga yang tergabung dalam komunitas ini sudah bisa menanam dan memanen sayuran organik.

Caranya pun tak terlalu sulit. Pada hamparan yang minimalis tersebut, setiap rumah hanya cukup menyediakan wadah dari bahan plastik. Wadah terbuka itu kemudian disangga dengan kayu. Selain itu, ada juga jenis tanaman lain yang ditanam dengan menggunakan plastik hitam polybag.

Usaha pertanian Brenjonk ini mulai dirintis pada 2007. Kala itu, jenis tanaman yang diproduksi baru sebatas jenis sayuran dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun pada tahun 2012 mulai dilakukan pengembangan usaha pertanian secara besar-besaran. Sejauh ini anggota yang tergabung dalam komunitas Brenjonk sudah ada sebanyak 150 kepala keluarga. Setiap keluarga rata-rata mengelola lahan seluas 50-80 meter persegi. Mereka adalah orang yang bertani di halaman atau pekarangan rumahnya sendiri.

Selain jenis tanaman sayuran, saat ini komunitas Brenjonk juga mengembangkan pertanian organik untuk produk tanaman lain. Di antaranya ada padi, salak, duren, petai, alpukat, serta dua jenis varietas pisang lokal. Untuk jenis tanaman tersebut, penanamannya dilakukan di atas hamparan tanah.

Sejauh ini produk tanaman yang dikelola oleh komunitas Brenjonk sudah mengantongi sertifikasi organik. Dua lembaga yang memberi sertifikasi organik itu adalah Pamor Indonesia dan Infoam Network. Secara keseluruhan komunitas Brenjonk memiliki 27 jenis tanaman yang sudah mengantongi sertifikat organik.

Komunitas ini pun sudah mampu memproduksi hasil pertanian secara konsisten. Untuk jenis padi, dalam satu kali musim tanam bisa memproduksi hingga 2-3 ton. Produksi tersebut berasal dari hamparan lahan seluas sekitar 3.500 meter persegi. Sementara itu untuk menjual produk organik, komunitas ini sudah memiliki pasarnya. Pasar yang sudah terbentuk itu berasal dari supermarket, rumah, sekolah, rumah sakit, hingga hotel-hotel yang ada di sekitar Trawas. Bahkan jangkuan pemasarannya juga sudah menyebar hingga Surabaya dan sekitarnya. Untuk permintaan jenis sayuran, bisa mencapai 8 ribu pak dalam sebulan. Sementara satu pak sayuran itu memiliki berat antara 200-250 gram.




Selain menjual produk organik, komunitas Brenjonk juga menyediakan bibit lokal. Bibit yang dijual tersebut, di antaranya ada cabai, bayam, dan beberapa jenis tanaman sayuran lainnya. Produk penghasil bibit ini juga diselaraskan dengan memproduksi pupuk kompos. Untuk popok kompos, kita bisa membelinya dari warga seharga Rp 1000 pe kilogram.
  

MENIKMATI NASI EMPOK BU MIN

Trawas juga mempunyai menu kuliner khas berupa nasi, yang disebut nasi empok. Nasi ini berupa paduan antara jagung yang sudah dihaluskan, nasi putih, dan lauk pauk yang siap menggoda perut yang tengah lapar. Tempat untuk menikmati nasi empok yang khas ini salah satunya adalah warung Nasi Empok Bu Min, yang berada di Dusun Kemloko, Desa Trawas, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Letaknya di sisi jalan menuju kawasan situs Reco Lanang-Reco Wadon. Nasi Empok Bu Min ini terkenal enak dan lembut.

Di warung makan sederhana ini terdapat sebuah bangku dan meja panjang yang digunakan sebagai tempat makan para pelanggan yang datang secara perseorangan, dan jumlahnya kurang dari 10 orang. Bila warung ini sedang ramai, tak jarang ada yang memakannya sambil duduk di lantai saja. Warung Nasi Empok Bu Min dimiliki oleh seorang wanita bernama Katimin, yang oleh warga setempat biasa disapa Bu Min. Saat ini Bu Min yang sudah berusia 60-an tahun, memilih berjualan nasi empok di Malang, dan untuk warungnya yang berada di Trawas ini pengelolaannya diserahkan kepada anak kandungnya, Sri.

Berdasarkan cerita Sri, Bu Min mulai berjualan nasi empok ini sejak 1984. Saat itu jualannya dilakukan di Pasar Prigen, Pasuruan, dengan harga satu porsinya Rp 500. Biasanya Bu Min sudah berangkat pagi-pagi sekali dari rumah untuk berjualan, dan sudah kembali pada siangnya.

Perbedaan antara nasi empok dengan nasi jagung pada umumnya, terletak pada proses pembuatannya. Untuk nasi empok, butuh waktu sehari penuh untuk memproses sampai mendapatkan jagung yang lembut. Sementara kalau nasi jagung biasa, tak lama pengerjaannya, dan tidak serumit membuat nasi empok.

Dari dua kilogram jagung mentah bisa digunakan untuk dikonsumsi hingga 25 piring nasi empok. Proses awal membuat nasi empok ini adalah memasak, merendam, dan menggiling. Setelah itu, jagung tersebut disaring, kemudian dimasak setengah matang dan lalu dikering anginkan. Untuk proses ini butuh waktu pengeringannya sampai seharian. Inilah yang kemudian membuat jagung itu menjadi terasa lebih kering dan lembut.

Untuk satu porsi nasi empok ini, dihidangkannya bersama lauk urap, lodeh, tempe, menjeng (makanan dari bahan tempe yang sudah dibumbui dan diulek), botok, ikan asin, dan sambal terasi.


Untuk makan di tempat ini, kita tak harus sampai merogoh kocek dalam-dalam. Hanya membayar Rp 6 ribu, sepiring nasi yang menggunung serta segelas teh panas yang bisa diisi berkali-kali sudah bisa dilahap hingga perut terasa kenyang.

Pelanggan yang biasa menikmati nasi empok Bu Min ini sangat beragam latar belakang profesinya. Dari mulai camat, lurah, buruh pabrik, hingga dokter. Untuk porsinya juga bervariasi. Di sini bisa memilih makan campuran nasi putih dan jagung, atau hanya ingin makan jagungnya saja. Untuk yang hanya memilih makan jagungnya saja, biasanya adalah orang-orang yang sedang melakukan diet.
  

MENYERUPUT MADU ASLI PENANGGUNGAN

Ingin mendapatkan madu asli dari peternaknya ? Jika itu yang diinginkan, tak salah untuk mencarinya di Trawas. Di tempat ini rupanya cukup banyak pengolah madu asli. Mulai dari madu hasil lebah hutan, lebah liar, dan lebah ternak bisa ditemukan di daerah yang berada di kaki Gunung Penanggungan ini. Saat menyambangi Trawas, kita pun bisa beruntung melihat langsung peternak lebah liar. Disebut lebah liar karena hewan ini datang sendiri serta membangun rumahnya yang menghasilkan madu. Sementara para peternak hanya menyiapkan tempatnya saja.

Biasanya lebah liar itu datang pada bulan Juni hingga Oktober. Sedangkan pada bulan Februari hingga Maret, serangga-serangga itu mulai meninggalkan kandang yang dibuat oleh peternak. Lebah-lebah tersebut umumnya mendapatkan makanannya dari bunga pohon manga dan bunga pohon randu. Sementara masa panen madu, biasanya terjadi di bulan November.

Sarang lebah yang dibuat oleh peternak itu hanya terbuat dari kotak kayu berukuran 60x25 cm. Jenis kayunya adalah kayu randu dan gabon. Kotak tersebut tidak dibuat secara rapat. Keadaan kayu juga harus kering, karena kalau basah lebahnya tidak mau datang. Kotak kayu itu lalu ditempatkan di dinding belakang dan samping rumah peternak. Selain itu ada juga yang digantungkan di pohon randu. Memiliki sarang lebah di tempat tinggal bukan lagi menjadi persoalan bagi peternak. Hanya kadang, saat malam saja ada beberapa lebah yang masuk ke dalam rumah. Namun biasanya, lebah yang mendatangi sinar cahaya itu akan langsung mati.

Cara untuk memanen sarang lebah berisi madu itu cukup dengan membawa kertas yang diasapkan. Tujuannya agar memudahkan untuk mengambil sarang lebah. Namun, untuk mengambil sarang berisi madu itu juga perlu gerakan yang pelan, tidak boleh membuat lebah merasa kaget.

Di Dusun Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, saat ini terdapat lima orang peternak lebah liar sejak tahun 1994. Untuk harga, mereka mematok banderol Rp 160 ribu dengan kemasan yang ditempatkan di botol kecap beling. Rasa madu asli dari hasil peternak lebah liar ini terkenal dengan rasanya yang manis dan cukup kental.
  
   
      



 
   
      



  
      



 






Komentar