PANARUKAN, MENGENANG KEJAYAAN KOTA PELABUHAN DI TIMUR JAWA



Panarukan sempat menjadi satu wilayah masyhur dalam sejarah Hindia Belanda di Pulau Jawa. Pelabuhan Kilensari yang ada di kota ini sempat menjadi tonggak ekonomi Hindia Belanda yang membuat daerah ini terkenal di jalur bisnis Asia dan Eropa hingga abad ke 20.

Panarukan juga tercatat menjadi satu kabupaten di ujung timur Pulau Jawa hingga penghujung abad ke 20. Dulu Kabupaten Panarukan memiliki lokasi ibukota di Situbondo, yang letaknya delapan kilometer ke arah timur. Namun dua ratus tahun berselang, semua berubah. Panarukan turun kasta. Kini ia hanya menjadi sebuah kecamatan yang terdiri atas delapan desa : Kilensari, Wringin Anom, Paowan, Sumber Kolak, Peleyan, Duwet, Alas Malang, dan Gelung.

Pamor Panarukan juga tidak terlepas dari proyek Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels pada pertengahan 1809. Di kawasan yang terletak 200 kilometer dari Surabaya ini, Daendels, gubernur jenderal ke 36 Hindia Belanda, mengakhiri proyek terbesarnya pada zaman itu, de Groote Postweg atau yang saat ini dikenal dengan Jalan Raya Pos yang membentang 1000 kilometer dari Anyer sampai Panarukan.

Tak hanya persoalan infrastruktur yang membuat Panarukan begitu masyhur. Ekonomi Panarukan kemudian pesat kemajuannya pada akhir abad ke 19. Pada 1886, di kecamatan bekas kabupaten ini, Panarukan disulap sebagai ‘gudang emas’ yang mengirim banyak upeti untuk Hindia Belanda. Dalam sejarah yang tercatat, Pelabuhan Panarukan merupakan buah prakarsa dari seorang pengusaha asal Belanda, George Bernie, pemilik NV LMOD (Landbouw Matschappij Oud Djember). Bernie merupakan penguasa perkebunan terbesar di daerah Jember.


Berkat keberadaan pelabuhan itu, Panarukan makin lengkap dengan pembangunan sebuah stasiun kereta, Stasiun Panarukan pada penghujung 1897. Stasiun Panarukan membuka rute Jember-Bondowoso-Panarukan. Bangunan stasiun yang telah ditutup pada penghujung 2004 itu masih ada hingga saat ini. Dari Stasiun Panarukan, dulu ada jalur trem yang khusus melintas menusuk ke arah laut lepas di pinggir pelabuhan. Jalur trem, khusus dibuat untuk memindahkan beberapa angkutan perkebunan. Dinaikkan langsung ke kapal atau dimasukkan ke gudang penumpukan, biasanya bergantung dari petunjuk petugas pelabuhan.



Di pinggir pelabuhan sendiri terdapat sebuah mercusuar yang dulu selalu sibuk dari siang sampai malam. Menara setinggi 50 meter itu hingga saat ini masih kokoh berdiri di tepian pantai. Mercusuar sederhana yang terbuat dari kerangka besi ini menjadi pusat kekuatan pelabuhan. Kapal-kapal besar akan menurut saat sang petugas memintanya untuk segera pergi setelah penuh muatan.

KISAH GUDANG-GUDANG TUA DI PELABUHAN PANARUKAN



Ada sebuah potret sejarah yang terekam di pelabuhan tua Panarukan. Yakni akan keberadaan bangunan-bangunan tua yang berdiri di sekitar pelabuhan, yang dulunya merupakan gudang tempat penumpukan komoditas perkebunan yang selalu penuh. Pelabuhan Panarukan dulu memang dikenal sebagai pelabuhan internasional milik Hindia Belanda di Jawa Timur pada abad ke 19. Aktivitas ekspor-impor saat itu, bergeliat penuh gairah di pelabuhan ini. Namun kondisinya sekarang, selain kapal nelayan, tak ada lagi kapal pengangkut lainnya kecuali garam.

Gudang-gudang tua itu kondisinya saat ini sudah rusak, bahkan ada yang sudah hampir menunggu takdir roboh menjemputnya. Atapnya sebagian telah menganga, kulit dindingnya pun terlihat kusam. Bangunan gudang itu bila dihitung rata-rata berluas 1000 meter persegi. Bagian dalam gudang hanyalah sebuah lapak luas, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat menimbun hasil kebun berupa tembakau, kopi, dan teh.

Gudang-gudang ini memang masih digunakan pihak pelabuhan hingga sekarang, dengan menyewakannya kepada siapa saja mandor pelabuhan yang ingin menyimpan beberapa bawaannya. Untuk tarif, biasanya dikompromikan kemudian setelah barang itu masuk gudang.

TUGU PORTUGIS DI PANARUKAN

Keberadaan Tugu Portugis di Panarukan, menjadi salah satu bukti bahwa Panarukan sempat menjadi salah satu tempat bangsa Portugis mendaratkan pasukannya di Nusantara dalam misinya mencari rempah-rempah. Tugu Portugis ini berdiri di salah satu sudut persawahan di Kampung Peleyan, Desa Peleyan, Panarukan, Situbodo, Jawa Timur. Monumen setinggi empat meter ini berdiri di belakang rumah salah satu penduduk di sana. Diperkirakan tugu ini didirikan pada kisaran abad ke 17.

Tak jauh di sebelah utara tugu, terdapat sebuah perkampungan yang disebut-sebut merupakan kampung tertua yang ada di Panarukan. Tepatnya di Dusun Tabbedeh, Desa Peleyan, masih terdapat sisa-sisa bangunan keraton tua yang kini telah berubah menjadi areal persawahan. Di sawah ini terdapat sebuah cekungan yang diduga merupakan tempat pemandian para putri raja.

Jika ditarik lurus ke arah timur, persawahan ini juga masih terdapat sisa-sisa tembok keraton yang terdapat di Kampung Tokengan, Desa Tokengan. Di perkampungan itu, sempat banyak ditemukan sisa-sisa kerajaan berupa bekas sumur tua, koin emas, dan perhiasan keraton. Diduga, kepingan-kepingan tembok yang telah berubah menjadi pematang sawah serta perninggalan di dalamnya merupakan bekas jejak Keraton Purbosari di Situbondo. Bekas tembok itu sementara diduga sebagai tanda batas Keraton Purbosari yang mewarnai era klasik Panarukan pada 1400-1500 Masehi. Keraton Purbosari dibangun oleh Raja Blambangan Minak Jinggo, setelah memenangkan perang Paregreg melawan Majapahit.

BENTENG PANARUKAN



Di Panarukan, Belanda juga sempat mendirikan Benteng VOC yang saat ini nyaris tak tersisa lagi bekas bangunannya. Benteng ini berada di tepian Sungai Sampeyan, sungai yang membelah kota Situbondo, dekat dengan muaranya. Sisa-sisa tembok benteng masih nampak kokoh. Hanya saja, posisinya kini telah menjadi dinding pembatas area makam yang memfungsikan lahan sekitar benteng tersebut. Ratusan, bahkan ribuan makam nampak berderet di area sekitar lima hektar itu.

Bangunan tembok itu sendiri pun kondisinya tidak terawat hingga banyak ditumbuhi rumput liar. Sebagian batunya kini mulai satu persatu terpereteli. Benteng itu dibangun setebal 1,5 meter dengan tumpukan bata merah yang tak lazim ukurannya, 32 x 16 cm.

Menurut penelitian yang dilakukan Balai Cagar Budaya Jawa Timur, disimpulkan bahwa benteng Panarukan ini diperkirakan didirikan pada 1850-an. Hanya saja, ada sebagian penelitian lainnya yang menyebut benteng ini dibangun pada 1880-an. Ada salah satu nisan di dalam bangunan ini telah berusia 192 tahun lamanya. Bangunan nisan yang wafat pada 1821 itu masih terlihat sedikit jelas dengan angka Arab terukir di atasnya.

Dengan demikian artinya, Benteng Panarukan ini dipastikan telah ada sebelum 1821. Sebab tidak mungkin kiranya benteng telah ada pada 1850, sedangkan di bagian dalamnya terdapat makam berumur 192 tahun tersebut. Toh, jika benteng ini disebut sebagai benteng VOC, setidaknya bangunan itu didirikan sebelum tahun 1800. Mengingat, sepak terjang VOC yang sejatinya dinyatakan pailit pada 1790.

Dari bangunan tembok yang masih tersisa, menghadirkan sebuah skema bangunan benteng secara keseluruhan berbentuk segitiga. Tiap sisinya memiliki satu skema bangunan berupa mata anak panah yang menjorok keluar. Tiap sisi benteng ini dibuat sepanjang 50 meter dengan bangunan mata panah yang tiap-tiap sisinya sepanjang 25 meter. Satu sisi benteng menghadap ke arah Sungai Sampeyan, dua sisi lainnya menghadap laut dan jalan raya.

Sebuah menara dipastikan juga terbangun di tiap sudut benteng. Konon, seluruh arsitektur benteng buatan Belanda selalu menyelipkan menara. Bastion, begitu dikenalnya. Di tiap sudut itu pula mata meriam siap siaga untuk menembak tamu yang tak diundang. Hal demikian yang juga memungkinkan terjadi di Benteng Panarukan ini. Tidak berlebihan sebab benteng tersebut tentunya digunakan untuk memantau kelancaran aktivitas hilir mudik kapal-kapal yang datang menuju pelabuhan.

MELEPAS LELAH DI PANTAI PATEK



Pantai Patek, lokasinya berada di Desa Gelung, Kecamatan Panarukan, hanya lima kilometer di sebelah utara pusat kota Situbondo. Pantai Patek menyajikan panorama indah yang begitu sayang dilewatkan ketika mampir ke Situbondo. Panorama matahari terbenam, jernihnya air yang memperlihatkan dasar pantai menjadikan pantai ini disebut-sebut pesaing baru Pantai Pasir Putih yang juga dimiliki Situbondo. Pantainya jarang berpasir. Sekeliling pantai hanya terhampar batu karang yang berbaris rapih memecah ombak, membawa irama bebunyian alam.

Pantai Patek masih jarang dikunjungi sejumlah wisatawan. Selain posisinya yang tidak masuk rute transportasi umum, di sini juga pengunjung hanya bisa menikmati pemandangan. Kondisi pantainya memang tidak begitu direkomendasikan untuk anak-anak berenang. Di sepanjang pantai, berjejer gubuk terbuka untuk menyaksikan langsung bagaimana pantai yang seluas mata memandang, mampu mengilhami beberapa pelantun sajak dan penyair mencari ilhamnya.

Dari pantai ini pula, terpampang utuh Gunung Argopuro, yang sebenarnya secara administrasi sebagian kakinya berada di Kabupaten Probolinggo. Gunung Argopuro merupakan bekas gunung berapi aktif yang terletak di Situbondo. Gunung dengan ketinggian 3.088 mdpl ini memiliki satu puncak yang begitu eksotis, yaitu Puncak Rengganis.

STASIUN PANARUKAN



Nuansa heritage penghujung abad ke 20 tersaji di Stasiun Panarukan yang berlokasi hanya dua kilometer di sebelah barat pelabuhan tua. Tepatnya stasiun ini berada di belakang proyek pembangunan dermaga baru Panarukan. Secara administratif, Stasiun Panarukan masih berada di Desa Kilensari, delapan kilometer di sebelah barat pusat kota Situbondo.

Saat ini lokasi di sekitar stasiun di’kuasai’ secara serampang oleh penduduk-penduduk setempat. Di sekeliling stasiun dibangun rumah-rumah penduduk, baik yang semi maupun permanen. Di sepanjang sisa-sisa rel menuju stasiun, tercecer beberapa tumpukan sampah. Warga di sana menjemur ikan-ikan kecil tangkapannya di sekitar bangunan stasiun, atau menumpang di sisa rel yang telah kehilangan baut-baut penyambungnya.

Stasiun Panarukan berarsitektur khas Belanda, bangunannya yang memanjang masih kokoh berdiri meski dengan sebagian tubuhnya yang telah hilang. Terdapat ruang kepala perjalanan kereta api, gudang umum, dan sebagian tempat menunggu penumpang. Bila diraba dari arsitektur elemen pendukungnya, terlihat jelas bahwa stasiun ini memiliki dua jalur rel, sebuah penanda yang membuktikan stasiun ini begitu padat dan ramai pada masanya.

Stasiun ini merupakan warisan dan jejak kolonial Belanda yang dibuka pertama kali pada 1 Oktober 1897, seiring dibukanya jalur kereta api dari daerah Jember. Jalur kereta tersebut merupakan jalur yang menghubungkan Klakah (Lumajang)-Jember-Bondowoso-Panarukan sepanjang 75 kilometer. Artinya, Panarukan merupakan stasiun terakhir dalam rute ini. Dibukanya stasiun ini mengingat kebutuhan distribusi hasil perkebunan dari daerah selatan.

Okupansi penumpang yang minim, membuat stasiun ini kemudian resmi ditutup pada 2004. Namun pemerintah setempat bersama PT KAI rencananya akan kembali menghidupkan stasiun ini lagi, berkaitan dengan pembangunan dermaga baru Panarukan yang terus digenjot pengerjaannya.   

KERAJINAN KULIT KERANG

Adalah Jafar Sodiq, seorang pria asal Madura yang lama menetap di Panarukan. Ia adalah seorang pengepul hasil laut para nelayan di Pelabuhan Panarukan. Saat itu, Jafar cukup sukses dianggap sebagai bos nelayan. Setidaknya ia menguasai semua distribusi dan penjualan 48 orang nelayan binaannya. Tiap dua minggu sekali, hasil laut dipantaunya cukup melimpah. Panarukan merupakan satu wilayah perairan yang cukup menopang kebutuhan penganan laut untuk daerah-daerah sekitarnya.

Suatu pagi pada 1968, Jafar Sodiq melihat setumpuk kulit kerang yang telah menumpuk di sekitar pelelangannya selama satu minggu. Biasanya, tumpukan kulit kerang itu diangkut oleh petugas kebersihan pelabuhan. Hanya saja, hari itu tidak seperti biasanya. Entah halusinasi apa yang tiba-tiba melintas di pikirannya, sebagian tumpukan kulit kerang itu dibawanya pulang ke rumah. Tumpukan kulit kerang yang sebenarnya limbah itu ia lihat sebagai uang bernilai ratusan ribu rupiah.

Kulit-kulit kerang itu kemudian ia bersihkan, ia pilih beberapa dengan kondisi terbaik. Lalu ia mengukir kulit kerang itu dan menghaluskan bagian pinggirnya dengan sebuah pecahan genting. Setelah rapih, beberapa kulit kerang itu ia rangkai dalam sebuah pigura yang dibelinya di pasar. Pigura itu ia lihat begitu cantik setelah tiap sisinya dipermanis dengan tempelan kulit kerang. Kemudian, dibawalah pigura itu ke seorang kawannya untuk dijual.

Tak disangka, hasil kerasi pigura itu direspons positif oleh kawan-kawannya. Jafar pun kembali menerukan ide-idenya untuk membuat kerajinan dengan memanfaatkan bahan limbah kulit kerang. Dimulai dengan menggunakan alat dari pecahan genting, kemudian beralih ke gerinda, hingga sekarang telah menggunakan tenaga diesel untuk mengukir kulit kerang. Kegandrungan akan usaha ini pun akhirnya membuat Jafar memutuskan pensiun dini dari profesi sebelumnya sebagai pengepul hasil ikan.

Kini usahanya ini telah diwariskan kepada anak pertamanya, Totok Gasali. Di rumahnya di Jalan Panglima Sudirman, Panarukan, Totok menyulap kediamannya sebagai pabrik sekaligus showroom hasil kerajinan dari kulit kerang. Bahan baku limbah kulit kerang yang digunakan diambil dari beberapa pemasok di Banyuwangi.

Totok pun terus berinovasi dalam berkarya. Setidaknya, setelah sang ayah membuat kerajinan pemanis pigura, kulit kerang ini kemudian diekspresikan dalam karyanya berupa hiasan lampu, gorden, hingga pernak-pernik hiasan dinding dan gelang. Kerajinan kulit kerang yang dibuatnya pun kini berasal dari beragam jenis. Dimulai dari kerang susu, kerang monmon, kerang bulukuwak, dan kerang kupang.

Permintaan banyak datang pada akhir tahun dari pihak hotel, restoran, ataupun pengembang perumahan. Selain itu ada juga permintaan dari wisatawan yang datang berkunjung ke showroom-nya. Bahkan kerajinan kulit kerang karya Totok ini juga telah sampai di pasar Asia dan Eropa. Ada salah satu distributor langganan asal Bali yang kemudian memasarkan produknya sampai ke Perancis dan Italia.  Kebanyakan kerajinan kulit kerang yang dibuatnya ini memang merupakan hiasan yang diletakkan pada ruang-ruang dalam rumah, kafe, hotel, maupun restoran.

KULINER TOSOTO WRINGIN ANOM

Hampir dua pertiga masyarakat Panarukan merupakan pemukim yang datang dari Madura. Hegemoni orang Madura, ternyata tak hanya menguasai logat bahasa keseharian warga Panarukan. Salah satu kulinernya, juga terkena ‘getahnya’.

Di Panarukan, tak ada produk kuliner yang disebut sebagai primadona khas daerah itu. Kendati begitu, masakan soto Madura cukup ‘mewabah’ di daerah ini. Maka kemudian, soto Madura,-yang kemudian dikenal dengan tosoto- diklaim menjadi salah satu makanan khas Panarukan. Makanan itu telah ada lebih dari 60 tahun di Panarukan. Dibuat dan dikembangkan oleh orang Madura, kemudian beranak pinak, turun temurun di Panarukan.

Tosoto Madura berbeda dengan beberapa soto di beberapa wilayah Jawa. Dominasi santan dalam bumbu soto ini, dipadukan dengan bumbu merica dan rempah pedas khas selera pemukim pinggiran pantai. Selain bumbu santan, tosoto ini juga ditaburi tokcay dan serundeng berwarna merah tua. Kelegitan bumbu mewarnai sensasi isi soto yang disajikan dengan campuran daging sapi dan kulit ayam serta bagian has daging ayam kampung.

Kenikmatan tosoto ini dapat ditemui di sepanjang jalan protokol Situbondo. Salah satunya berada di Jalan PB Sudirman yang melintas di Desa Wringin Anom, Kecamatan Panarukan. Di rumah makan tosoto yang ada di sini, kita dapat memilih isi soto sesuai dengan keinginan. Cukup berisi ayam kampung atau dicampur dengan irisan daging sapi segar.

  
 



  



  

  


  



  

Komentar