Banyuwangi, kawasan ujung timur tanah Jawa ini tak hanya dikenal memiliki keragaman budaya serta keelokan alamnya saja. Di sana juga memiliki kekayaan kuliner yang sangat khas. Tak sekedar makanan biasa, tapi juga memiliki cerita sejarah.
Kalau anda
sedang berada di Banyuwangi, jangan lewatkan untuk melakukan wisata kuliner.
Banyak makanan dan jajanan khas yang hanya terdapat di tanah Blambangan ini. Salah
satunya yang kesohor adalah ayam kesrut. Sebagian masyarakat Banyuwangi
menyebutnya dengan istilah uyah asem
atau garam dan asam. Ayam tidak digoreng atau dibakar, tapi disajikan dengan
kuah. Sesuai namanya, rasanya kombinasi antara asam dan asin. Sajian ini pas
untuk makan siang, apalagi di saat musim kemarau.
Erni, adalah
salah satu penjual ayam kesrut yang ada di Desa Glagah, Banyuwangi. Bersantap
di warung Erni tak hanya merasakan kelezatan aneka makanan, tapi juga menikmati
suasana alam. Di rumah makan yang tidak seberapa besar namun bersih ini, di
kanan kirinya masih asri dengan pepohonan hijau yang subur. Sambil menikmati
makanan, mata bisa melihat keindahan alam sekitar, serta lereng Gunung Ijen
dengan hawanya yang sejuk. Erni menjelaskan, berbagai makanan yang dijajakan di
warungnya, termasuk ayam kesrut, adalah asli makanan tradisional masyarakat
Banyuwangi atau suku Osing. Dulu semasa ia masih kanak-kanak, ayam kesrut cukup
populer. Meski di era itu, ayam kesrut termasuk makanan yang cukup mewah. Tapi
sekarang tidak banyak lagi orang yang membuatnya. Oleh karena itu, di warungnya
ia sengaja menyajikan ayam kesrut. Maka bila ada yang kangen dengan masakan
itu, orang bisa datang ke tempatnya.
Bahan baku
ayam kesrut harus menggunakan ayam kampung. Selain kesat, rasanya juga lebih
gurih. Rahasia kesegaran rasa asam pada ayam kesrut terletak pada belimbing
wuluh alias belimbing sayur. Rasa segar asamnya akan langsung terasa di lidah.
Agar kuah ayam terasa lebih segar, ada satu bahan yang harus ada, yaitu daun
wadung. Bentuknya mirip dengan daun so (melinjo). Pohon wadung sendiri banyak
terdapat di Banyuwangi, biasanya tumbuh di tengah sawah atau lereng bukit.
Sebagai pelengkap ayam kesrut, Erni juga menyajikan menu pendamping yaitu tempe
goreng plus sambal terasi. Sambal terasi Banyuwangi sangat khas dan beda dengan
sambal terasi dari daerah lain. Karena ada satu bahan yang nyaris tidak
digunakan di daerah lain, yaitu menggunakan buah ranti. Sepintas, buah ranti
hampir sama dengan tomat. Yang membedakan, kulit buah ranti berkerut-kerut dan
kadang kulitnya tidak mulus. Rasanya lebih asam ketimbang tomat. Bijinya lebih
banyak serta tidak terlalu banyak air. Bagi masyarakat Banyuwangi, sambal
terasi dengan buah ranti, jauh lebih enak ketimbang sambal tomat.
Ada satu lagi
makanan khas asli Banyuwangi yang tidak ada di tempat lain, yaitu soto osing.
Soto osing adalah soto daging. Kuahnya tidak sekental soto ayam atau soto
daging Madura. Namun, kelezatannya tidak kalah. Kuah soto osing terlihat lebih
bening, rasanya sungguh segar. Rumah makan Kejaya yang ada di Kedayunan, Kecamatan
Kabat, Banyuwangi atau di Jalan Raya Jember-Banyuwangi, adalah salah satu rumah
makan yang menyediakan menu makanan khas tanah Blambangan ini.
Menurut Achmad
Fathoni Lisnanda, pemilik rumah makan Kejaya, soto osing yang merupakan makanan
khas Banyuwangi ini, juga bukanlah menu biasa. Karena memiliki latar belakang
sejarah. Berdasarkan riwayatnya, soto osing banyak dihidangkan menjelang acara
perkawinan. Sesuai dengan adat suku osing, kalau terjadi perkawinan antara anak
sulung yang menikah dengan anak bungsu, maka menjelang perkawinan diadakan
upacara adat yang memakan waktu dan tenaga. Pelaksanaan ritual adat itu
biasanya dibantu kerabat dan tetangga. Usai acara adat, untuk kerabat dan
tetangga ini disediakan menu khusus, yaitu soto osing. Bumbu soto osing berisi
rempah-rempah yang dipercaya bisa membuat badan segar kembali. Kesegaran soto
osing memang terasa sekali. Jadi, mereka yang letih dan lapar setelah membantu
persiapan hajatan, badannya akan kembali bugar setelah menyantap soto osing
ini.
Bahan-bahan
soto osing juga unik. Selain jamur, dulunya juga memakai empol atau batang muda
pohon kelapa. Zaman dulu ketika ada perkawinan, biasanya si empunya hajat
sengaja menebang lima pohon kelapa untuk sekedar diambil pupusnya. Pucuk batang
pohon kelapa yang rasanya manis itu kemudian dirajang kecil-kecil. Namun saat
ini sudah tidak memungkinkan lagi menebang pohon kelapa hanya untuk diambil
pupusnya. Itu sebabnya, kini Achmad Fathoni menggantinya dengan menggunakan kentang
dan wortel. Seiring perkembangan zaman, soto osing saat ini tidak hanya
dikonsumsi untuk keperluan adat saja. Demi pelestarian soto osing, menu ini
bisa disajikan kapan saja. Soto osing sekarang banyak dijual secara umum dan
tidak melulu ketika ada hajatan. Memang soto osing masih kalah pamor dengan
makanan cepat saji yang bertebaran di mana-mana. Namun, meskipun begitu makanan
ini tetap punya penggemar sendiri.
Achmad Fathoni
pun sampai saat ini masih terus berusaha untuk mempertahankan menu tradisional
ini. Bahkan, di rumah makannya yang juga menyediakan suvenir khas Banyuwangi,
ia punya pelanggan khusus dari Bali. Setidaknya dua bulan sekali pelanggan itu
pasti datang ke tempatnya, khusus untuk menikmati soto osing.
Selain soto osing,
masih ada lagi makanan khas Banyuwangi yang lain, yang juga memiliki nilai
sejarah, yaitu lontong bongol. Makanan ini terdiri dari lontong yang di
dalamnya terdapat daging ayam. Untuk menyantapnya, ada santan ayam pedas
sebagai kuahnya. Secara penampilan lontong bongol tidak beda jauh dengan
lontong opor. Bedanya, memang di bagian dalamnya yang diberi daging ayam.
Rasanya pun lebih nikmat.
Menurut Achmad
Fathoni, ada satu ciri masakan khas osing yang menjadi rahasia kelezatannya,
yaitu dengan menggunakan laos. Selain itu menu osing juga tidak memakai daun
salam. Sebagai pengganti daun salam, digunakan daun jeruk dan serai. Kembali ke
lontong bongol, makanan ini dulunya dihidangkan sebagai hidangan syukuran
ketika ada balita yang sudah menginjak turun tanah. Hidangan ini khusus untuk
tamu yang sudah dewasa dan orangtua. Sedangkan untuk anak-anak yang datang di
acara ini, mereka diberi hidangan jenang lemu. Maksudnya agar anak-anak itu
bisa tumbuh cerdas dan sehat.
Kini lontong
bongol juga sudah dijual di mana-mana. Dan sampai sekarang menu ini juga masih
disajikan untuk upacara adat. Meski demikian, di luar upacara adat, lontong
bongol juga banyak dijual di rumah makan. Saat ada upacara adat, biasanya si
pemilik hajatan sudah tidak mau dibuat repot. Mereka tidak mau membuat sendiri,
tapi lebih sering memesan pada rumah makan yang menjualnya.
Satu lagi menu
istimewa osing yaitu pecel ayam. Berbeda dengan daerah lain, pecel ayam osing
adalah ayam bakar. Dalam penyajiannya, ayam bakar ditutup dengan kelapa parut
yang sudah dibumbui dengan rempah-rempah. Parutan kelapa itu merupakan paduan
bumbu pedas, asin, dan gurih. Rasanya jelas sangat enak sekali dan sangat
berbeda dengan di tempat lain. Agar bumbu parutan kelapa menyerap sampai ke
daging ayam, memang dibutuhkan proses yang agak rumit. Ayam bakar itu dibaluri
parutan kelapa berbumbu, kemudian diungkep selama sekitar setengah jam. Agar rasa
bumbunya makin lezat, sebaiknya yang digunakan adalah kelapa muda.
Menurut Achmad
Fathoni, pada masa lalu, pecel ayam juga disajikan untuk pesta hajatan.
Biasanya pecel ayam ini disajikan menjelang acara dibuka. Makan nasi panas
dengan lauk pecel ayam menjadi menu istimewa. Dalam perkembangannya, kini untuk
menikmati pecel ayam tidak harus menunggu saat hajatan, karena sekarang masakan
ini sudah menjadi menu sehari-hari.
Achmad Fathoni
mengaku, ia merasa bangga bisa mewujudkan keinginan mengangkat menu osing tempo
dulu menjadi sajian yang sekarang diburu masyarakat. Ia memang tidak main-main
dalam upaya mewujudkan obsesinya ini. Salah satu bentuk keseriusannya, sebelum
membuka usaha warung makan tradisionalnya, ia sempat membuat riset
kecil-kecilan. Ia mengumpulkan jenis makanan yang menjadi makanan warga osing
tersebut. Rasanya, upayanya ini tidak akan sia-sia.
Komentar
Posting Komentar