PEREMPUAN DAN KISAH : ANDINI EFFENDI, Mantan Model Yang Menikmati Pekerjaan Sebagai Jurnalis Di Medan Perang




Di balik tubuh tinggi semampai dan wajah cantik, mantan model ini memiliki semangat yang tak pernah sirna untuk mengejar berita. Itu mengapa, perempuan kelahiran Jakarta, tahun 1981 ini lebih suka disebut sebagai jurnalis ketimbang presenter berita. Andini mulai bergabung dengan Metro TV sejak tahun 2007. Namun sebelumnya di tahun 2003 ia pernah magang di stasiun televisi tersebut ketika masih kuliah di Universitas Pelita Harapan. Sejak lama ia memang ingin sekali bekerja di stasiun televisi berita. Dulu saat magang sebagai staf produksi di sebuah program Famous to Famous, pekerjaannya hanyalah mengangkat-angkat kabel, serta membawakan minum dan baju presenter.

Namun ketika selesai kuliah, ia merasa sangat sulit melamar ke Metro TV. Lalu ia malah diterima bekerja di Global TV sebagai presenter dan reporter. Sampai tahun 2006, ia pindah ke Anteve juga sebagai presenter dan reporter. Setahun kemudian, ia mencoba lagi melamar ke Metro TV dan akhirnya diterima menjadi reporter. Di stasiun televisi ini ia harus mengulang lagi dari awal karirnya. Sebulan setelah diterima bekerja di sana, ia dikirim ke Surabaya untuk meliput erupsi Gunung Kelud. Saat itu ia harus siaran secara live di tengah gemuruh gunung. Tapi bagi Andini, itu menjadi tantangan yang sangat seru.

Andini mengaku ia banyak belajar di Metro TV. Di sini ia digembleng keras untuk menjadi jurnalis yang baik. Ternyata seorang jurnalis itu hidupnya bukan di kantor, tetapi di lapangan untuk melakukan liputan. Baik itu liputan peristiwa atau konten event seperti UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate  Change) di Bali, Denpasar, tahun 2007 lalu. Bagi Andini itu merupakan liputan yang substansial sekali karena ia harus mengetahui latar belakangnya dan sebagainya. Metro TV memang mengajarinya berbagai macam tipe liputan dan menjadikannya jurnalis yang kaya secara substansi.



Menurut Andini, pekerjaan menjadi seorang jurnalis tidak bisa dibilang sangat susah, karena kebetulan ia memang sangat suka dengan profesi ini. Ia memang lebih menyukai bekerja di lapangan, dan justru merasa lebih nyaman bicara tanpa teleprompter, karena bisa lebih ekspresif dan menjadi dirinya sendiri. Salah satu pengalaman yang paling mengesankan baginya selama menjadi seorang jurnalis adalah, ketika di tahun 2011 ia mendapat kesempatan meliput perang di Libia selama 3 bulan. Saat itu, ia sama sekali tidak tahu apa yang ia harapkan dari tugas itu. Selama di sana, setiap jam 02.00 ia selalu dibangunkan oleh ledakan bom. Hotel tempatnya menginap tidak jarang menjadi sasaran bom karena dekat dengan gedung pemerintahan. Selama 3 bulan di sana, Andini mengaku bisa bertemu dengan Presiden Libia waktu itu Muammar Khadafi, tapi tidak bisa melakukan wawancara. Saat itu sang presiden memang sudah tidak melayani wawancara dengan wartawan asing lagi, dan keberadaannya juga disembunyikan.

Ketika sedang melakukan tugas liputan di Libia, ternyata ia malah mendapat kesempatan untuk berkuliah di New York University (NYU). Memang sudah sejak lama, Andini mencoba mendaftar untuk kuliah di NYU, tapi selalu ditolak. Bahkan sebenarnya saat sedang berada di Libia ia sudah menerima surat penolakan yang ketiga. Dan sewaktu meliput di sana, kebetulan ia banyak bertemu wartawan asing, salah satunya wartawan dari New York Times. Wartawan tersebut pernah mewawancarai Andini soal perang di Libia. Dalam kesempatan itu pulalah, Andini menceritakan keinginannya untuk kuliah di NYU yang sering ditolak. Mendengar ceritanya, wartawan tersebut mengatakan akan mencoba membantunya. Keesokan harinya, ia langsung dikirimi email oleh NYU untuk wawancara soal keinginannya berkuliah di sana. Namun wawancara tersebut sempat terpotong karena ketika sedang melakukan video conference dengan pihak NYU, serangan bom kembali terjadi. Andini pun terpaksa meminta waktu sebentar agar bisa melakukan live report terlebih dahulu. Untungnya pihak NYU bisa mengerti dan akhirnya ia bisa diterima.

Andini akhirnya resmi mulai kuliah di NYU di tahun 2011 dan lulus pada tahun 2013. Di sana ia mengambil Major Resolusi Konflik. Andini memang suka sekali untuk mengetahui bagaimana caranya membuat perdamaian. Setelah ke daerah konflik, ia melihat bahwa potensi perdamaian itu pasti ada. Selain itu ada relevansinya juga dengan pekerjaannya. Saat mulai kuliah di NYU, Andini punya keinginan untuk bisa melihat dan meliput Presiden AS, Obama. Sambil kuliah, ia juga menjadi koresponden untuk Metro TV. Di tahun 2012, ia mendapat tugas untuk meliput seputar pemilu. Saat Obama dinyatakan menang kembali dan dilantik, ia berada di sana. Di bulan Januari saat musim dingin itu, jam 2 pagi ia harus berada di tempat pelantikan untuk melewati screening keamanan dan sebagainya. Ketika itu ia juga bisa melihat Bill Clinton, JayZ, Beyonce hilir mudik di belakangnya. Sayangnya saat itu ia belum berani untuk mengajak foto bersama.



Yang menjadi alasannya ingin kuliah di NYU, salah satunya adalah karena ia memang ingin sekali merasakan tinggal di New York, yang menurutnya seperti pusat dari seluruh dunia. Andini memang suka sekali bertemu banyak orang, malah kalau bisa, dari bermacam negara. Itulah mengapa baik di Indonesia maupun di mana pun, rumahnya tidak pernah sepi. Pasti ada saja teman yang datang, bahkan menginap. Selama di New York kehidupannya lebih berwarna lagi. Bersama dua orang teman perempuan, ia pernah naik bus ke Amerika Latin, untuk backpacker. Itu merupakan perjalanan yang sangat jauh, bahkan ia tidak tahu kapan bisa balik lagi ke sana. Jadi ketika ada kesempatan, mengapa tidak dilakukan ? Menurut Andini, negara-negara di Amerika Latin itu sangat jauh sekali bedanya dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Di sana suasananya seperti masih terkungkung dengan masa lalu. Andini pun merasa beruntung sekali sebagai orang Asia. Selain ke Amerika Latin, karena major yang ia ambil di tempat kuliah adalah resolusi konflik, ia sempat pula mengunjungi Kurdistan, bagian Irak, selama satu bulan.

Lulus kuliah di Desember 2013, Andini langsung balik lagi ke Indonesia karena ingin sekali meliput pemilu di Indonesia. Ia memang harus terlibat dalam pemilu ini. Ia kemudian bertemu dengan Jokowi dan mewawancarainya selama beberapa hari sebelu dinyatakan menang. Dari Metro TV ia mendapatkan banyak akses dan pengalaman. Itulah yang membuatnya tidak bisa berhenti bersyukur. Metro TV juga tahu kalau dirinya orang lapangan. Jadi ia memang sering dikirim ke luar untuk melakukan peliputan, termasuk meliput hilangnya pesawat Malaysia Airlines beberapa waktu lalu. Saat di sana, ia bisa wawancara dengan mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim. Selain itu, mungkin juga karena ia belum menikah, jadi tidak ada alasan untuk menolak tugas luar.

Sampai saat ini Andini masih suka meliput ke lapangan. Ia sangat menyukai pekerjaan ini karena bisa bertemu dengan banyak orang. Bahkan sampai sekarang orang-orang yang pernah ia temui saat liputan masih terus berkomunikasi. Bukan hanya dengan sesama wartawan saja, tapi juga dengan orang dari pemerintahan, seperti saat meliput di Libia. Selain itu, pengalaman kerjanya sebagai jurnalis tidak akan terbeli oleh apa pun. Karena memang tidak semua orang bisa ke tempat yang ia kunjungi, seperti di Libia, dan tidak semua orang pula mau ke sana.

Namun saat mendapat tugas meliput, Andini tetap sadar dengan  kodratnya sebagai perempuan.  Maka hal paling utama yang perlu disiapkan sebelum liputan adalah perawatan rambut dan make up. Karena di manapun juga, saat akan tampil di televisi, ia harus tetap terlihat cantik dan fresh. Selain itu yang juga tak kalah penting sebelum liputan adalah melakukan riset. Andini mengaku tidak pernah merasa bosan atau terbebani saat melakukan tugas, karena dari awal ia sudah mencintai apa yang dikerjakannya ini. Meskipun untuk itu ia hanya bisa tidur selama dua jam, atau mendapatkan makanan yang terbatas, semuanya  tidak pernah menjadi masalah. Demi mendapatkan sebuah berita, Andini tidak pernah merasakan ada beban apapun saat meliput. Mungkin kalau ada yang menjadi beban baginya adalah karena ia harus menyampaikan berita untuk orang lain. Namun, apapun itu yang menjadi bebannya, akan tetap ia tempuh demi mendapatkan sebuah berita yang menarik. Ia hanya memikirkan bagaimana supaya pekerjaannya selesai dengan baik dan hasil laporannya bisa diterima dengan baik pula. Hal itulah yang membuatnya bahagia.

Rasa cinta Andini pada profesi jurnalis, karena didasarkan pada keinginannya untuk menjadi jurnalis yang sudah tumbuh sejak duduk dibangku SMP. Saat itu ia senang melihat tayangan di CNN. Dari situlah ia ingin sekali merasakan terjun ke lapangan untuk mencari berita dan mewawancarai orang. Sepertinya kehidupan seorang jurnalis sangat dinamis dan sesuai dengan karakternya. Sejak kecil pula ia sudah suka membaca harian Kompas, bahkan saat di meja makan bersama orang tuanya ia suka membahas politik. Lama-lama ia pun jadi memahami sebuah berita yang ada dan muncul rasa ingin tahu yang besar serta selalu haus akan informasi apa pun.

Beruntung, orang tuanya selalu memberikan support apa yang ia lakukan saat ini. Bahkan mereka selalu mendorong Andini untuk terus maju bahkan mencoba go international. Saat Andini melakukan liputan di Libia, ayahnya bisa menelepon setiap saat hanya untuk menanyakan kabarnya. Berbeda dengan ibunya yang justru tidak pernah meneleponnya. Mungkin karena si ibu juga wanita pekerja, jadi solidaritasnya sebagai wanita pekerja memang ada. Ibunya tidak ingin menggangu pekerjaanya tapi tetap memantau keadannya. Kedua orangtuanya justru membuat target terhadap kariernya, bukan soal kapan ia harus berkeluarga. Misalnya, setelah kerja sekian tahun, ia harus melanjutkan kuliah S-2, dan seterusnya. Perhatian orangtuanya lebih mengarahkannya untuk bekerja. Andini kerap diminta untuk menaburkan ‘benih’ agar bisa menjadi jurnalis Indonesia pertama yang go international. Andini menganggap kedua orangtuanya seperti arsitek untuk kariernya. Mereka mengininkan Andini terus maju sekaligus bisa mengharumkan nama Indonesia.

Sampai saat ini orangtuanya tidak pernah memuji pekerjaannya. Sebaliknya, mereka kerap memberi masukan atau kritik mulai dari penampilan sampai konten lainnya. Sementara rencana pribadinya yang masih ingin dilakukan adalah, ingin lebih mengenal Indonesia. Andini ingin tetap bia melakukan hobinya travelling, teruatma ke Indonesia Timur. Kebetulan ia juga suka sekali dengan olahraga diving.

Komentar

  1. Wajahnya mirip jesica alba.(kW)

    BalasHapus
  2. Foto Yg tengah Bukan andini?

    BalasHapus
  3. Mirip bgt sm tante efin . Cantik

    BalasHapus
  4. Di wiki andini katanya kelahiran bandung, tapi diberita ini kelahiran jakarta. Apakah info yg lain juga ada yg inkonsisten.?🤣🤣👍

    BalasHapus
  5. VISIT (KUNJUNGI)
    http://bit.ly/2x1iSpV
    Software Cek Struktur Nama Merupakan Aplikasi Yang Mirip ARKAND SCS (Secret Codes Site) Tool Yang Digunakan Untuk Cek Struktur Nama Dan Tanggal Lahir Untuk Mengetahui Tingkat Kesuksesan Seseorang.
    Software Cek Struktur Nama Tidak Perlu Install, Langsung Bisa Dipakai, Support OS Windows 32 Dan Windows 62 Karena Merupakan Portabel.

    BalasHapus
  6. Tidak cantik tetapi sangat menarik, jurnalis prefesinya.... Top...

    BalasHapus
  7. Untuk generasi muda, Andinni adalah Figur yang pas untuk di teladani...👍

    BalasHapus
  8. tegas sedikit galak sepertinya😁
    Tapi memang itu terbentuk sesuai dengan profesinya.

    BalasHapus
  9. tegas sedikit galak sepertinya😁
    Tapi memang itu terbentuk sesuai dengan profesinya.

    BalasHapus

Posting Komentar