Idealisme dokter kelahiran Sanur, Bali, 12 September 1965 ini untuk kesehatan kaum perempuan sungguh luar biasa. Sejak muda, Dr Luh Putu Upadisari terus bergulat dan menyentuh masyarakat kelas bawah dengan mendirikan klinik di Pasar Badung, Bali. Klinik Yayasan Rama Sasana (KYRS) yang terletak di lantai 4 pasar Badung, Bali itu setiap harinya selalu terlihat ramai. Banyak pasien yang umumnya para ibu mengantre untuk mendapatkan penjelasan atau pemeriksaan dari dokter. Beberapa di antaranya ada yang turut membawa anak yang masih balita untuk ikut berobat gratis. Setiap hari, KYRS buka mulai pukul 08.00-22.00. Klinik yang awalnya menempati bangunan semi permanen berukuran 5x6 meter ini, sekarang sudah berkembang, dengan memiliki luas ruangan berukuran 12x10 meter. Di ruangan itulah, doter yang namanya sudah terkenal di kawasan Pasar Badung ini, mendedikasikan karier dan hidupnya. Ia selalu siap melakukan praktik dan memberikan pelayanan secara gratis kepada masyarakat, khususnya kepada 17 ribu pedagang perempuan yang terdapat di Pasar Badung dan sekitarnya.
Menjadi dokter
memang sudah menjadi cita-cita, wanita yang akrab disapa Sari ini, sejak kecil.
Ini bermula dari pengalaman pribadinya. Ketika masih kecil, ibunya mengalami
pendarahan hebat dan harus dirawat di rumah sakit. Sebagai anak perempuan pertama,
maka ia harus menggantikan posisi ibunya untuk memasak dan mengurusi
adik-adiknya. Saat itu, ia pun bertanya-tanya dan penasaran, apa penyakit
ibunya ? Sejak itulah, ia bercita-cita menjadi dokter agar bisa mengetahui
dengan persis tentang bagaimana dan apa saja seluk beluk penyakit yang
berkaitan dengan reproduksi perempuan. Sari pun belajar keras. Semangatnya
begitu tinggi agar berhasil meraih cita-citanya. Sampai akhirnya, ia berhasil
masuk Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali. Ia lulus di tahun 1990.
Saat masih menjadi
dokter muda, Sari pun mulai gelisah. Pikiran dan langkahnya tak pernah jauh
untuk memberikan perhatian dan pertolongan kepada rakyat kecil, khususnya pada
kaum perempuan. Suatu hari, saat menjadi dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) di
sebuah rumah sakit swasta, ia memberikan bantuan kepada seorang pasien yang
mengalami pendarahan. Teringat pada peristiwa yang menimpa ibunya, ia memberi
pertolongan tanpa memikirkan uang muka dan administrasi pasien. Tapi ternyata
di luar dugaan, keesokan harinya ia tak mendapati lagi pasien tersebut, karena
sudah dipindahkan ke rumah sakit lain. Alasannya, pasien tersebut tidak bisa
memenuhi persyaratan administrasi untuk berobat di rumah sakit itu.
Peristiwa itu
sangat membekas dalam benak Sari. Sejak itu, ia memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya di rumah sakit tersebut. Selanjutnya, ia bekerja di sebuah lembaga
yang melakukan kerjasama G to G,
yaitu antara pemerintah Indonesia dan AUSAID (Australia). Di sana ia bisa
melakukan riset di tiga pulau, yakni NTB, Sulawesi Selatan, dan Bali. Dari
hasil riset yang ia lakukan itu, ternyata masih banyak perempuan yang perlu
mendapatkan perhatian. Terlebih ketika ia melakukan survei di pasar-pasar yang
ada di ketiga kepulauan itu. Kaum perempuan di sana harus ikut bekerja membantu
suami mencari nafkah. Mereka tidak memiliki waktu untuk pergi berobat. Kalau
toh harus berobat, biayanya mahal dan mereka tidak bisa berdagang lagi.
Temuan
penelitian itu membuatnya semakin prihatin. Sari merasa harus melakukan sesuatu
untuk mereka. Baginya, perempuan itu memiliki ‘pabrik’ generasi bangsa dan ‘pabrik’
ini harus dirawat dan dijaga kesehatannya. Dari sanalah terbersit ide untuk
membuat klinik kesehatan di pasar. Dan
ia bersyukur, di tahun 2003 bisa bertemu dengan seseorang yang menerima idenya.
Orang tersebut ingin membantunya untuk membuat yayasan yang memberikan
perhatian kepada kaum perempuan, khususnya dalam kaitannya dengan kesehatan
seksual reproduksi. Akhirnya, Sari pun berhasil membuka Klinik Yayasan Rama
Sesana (KYRS), di latai 4 Pasar Badung, Bali.
Di kliniknya,
selain memberikan edukasi kesehatan reproduksi, ia juga melakukan pemeriksaan
dini kanker mulut rahim (serviks). Ia tertarik masalah kesehatan seksual dan
reproduksi karena permasalahan ini sangat kompleks dan saling berkaitan.
Melayani kesehatan seksual reproduksi perempuan membutuhkan ketekunan dan
kesabaran. Banyak faktor penyebab yang terkadang si pasien sendiri tidak tahu
bagaimana penyakit tersebut berasal dan bagaimana pula cara pencegahannya.
Dalam mengedukasi, Sari juga melakukan survei pendataan dan dengan data hasil
laboratorium yang sangat konfidensial itu, ia akan memilah dan melakukan
pendekatan yang lebih intensif kepada mereka yang terdeteksi.
Sari juga
rajin mendatangi dan berkomunikasi untuk melakukan pantauan langsung, termasuk
memberikan motivasi kepada pasiennya. Hal ini sangat penting karena masalah
reproduksi sering kali berakibat fatal bagi kaum perempuan, bahkan bisa
menyebabkan kematian. Misalnya saja, penyakit menular seksual, kanker payudara,
kanker leher rahim, HIV/AIDS, dan kehamilan yang tak diinginkan. Padahal
menurutnya, masalah itu bisa dilakukan pencegahan. Dan, berkat pendekatan yang
baik dibarengi dengan ketelatenan, lama-kelamaan masyarakat pun semakin sadar.
Bahkan antusiasmenya begitu tinggi. Awalnya, klinik hanya memberikan pelayanan
seminggu dua kali. Tapi sekarang, sudah buka tiap hari, tetap dengan tujuan
awal, pasien membayar suka rela bahkan bisa gratis.
Tak hanya
melakukan pengobatan, kliniknya juga melayani program keluarga berencana
seperti pemasangan alat KB, pemeriksaan paspmear
dan uji laboratorium. Sari pun banyak mendapat dukungan dan bantuan, termasuk
dari seniornya, Dr Wimpie Pangkahila. Berkat bantuan itu, kliniknya kini bisa
memberikan pemeriksaan laboratorium untuk pasien. Tak puas hanya berkutat di
klinik, Sari pun ingin menjangkau masyarakat lebih luas lagi. Awal tahun 2014,
ia mendirikan rumah sehat yang berlokasi di Jalan Danau Tondano No 1, Sanur,
depan Banjar Dangin Peken. Posisinya pun masih berdekatan dengan pasar desa setempat.
Kegiatan yang dilakukan di rumah sehat adalah program pemberdayaan perempuan.
Di sana juga
menjadi pusat edukasi dan layanan kesehatan perempuan melalui pasar. Bentuk
kegiatan layanan kesehatan dibagi menjadi dua kegiatan utama, yakni edukasi dan
peer educator. Edukasi dan pelayanan
kesehatan mencoba menjangkau peer
educator. Yaitu berupa kerja sukarela ibu-ibu dalam distribusi informasi
kesehatan di lingkungan ibu-ibu rumah tangga, dan para pekerja-pedagang yang
ada di pasar tradisional. Menurut Sari, memahami kesehatan reproduksi ini
sangat penting. Karena kanker serviks dan penyakit menular seksual lainnya bisa
berdampak fatal, bahkan hingga menyebabkan kematian. Terlebih lagi pasien
umumnya baru datang memeriksakan diri setelah memasuki stadium akhir, karena
penyakit tersebut memang tanpa gejala awal. Selain itu, di rumah sehat Sari
juga mengadakan pertemuan sebulan sekali, untuk sarana komunikasi, edukasi dan
motivasi.
Biaya
pemeriksaan di klinik maupun rumah sehat yang dikelolanya memang sukarela. Oleh
karena itu, Sari pun mengharapkan masyarakat tidak segan untuk melakukan
pemeriksaan dini tanpa harus menunggu timbulnya gejala. Ia merasa sangat
bersyukur, saat ini bisa melakukan pendataan, penyuluhan, dan pengobatan secara
langsung dan gratis kepada masyarakat. Khususnya kaum perempuan, baik itu
kepada para pedagang, istri pedagang, hingga seluruh aspek kaum perempuam, baik
yang langsung maupun tidak langsung yang berada di sekitar Pasar Badung.
Sari pun
merasa senang namanya kini mendapat julukan sebagai dokter pasar. Artinya, kaum
perempuan dan keluarga di dalam pasar merasa dekat dengannya. Ia juga telah
menyampaikan ke beberapa instansi, agar seharusnya ada klinik seperti yang
dimilikinya ini di seluruh Indonesia. Jadi, kaum perempuan khususnya, akan
mendapat pelayanan yang maksimal. Tentu ini kembali lagi pada tujuan awal,
yakni mengadakan perawatan dan maintenance
‘pabrik’ generasi muda di Indonesia.
Hingga kini,
pembiayaan terhadap kliniknya didapat dari beberapa donatur di Australia.
Bahkan baru-baru ini, kliniknya juga melakukan fun rising dan berhasil mendapatkan dana sebesar Rp 300 juta. Dana
tersebut akan digunakan untuk membeli mobil pelayanan kesehatan agar bisa
melakukan pelayanan keehatan reproduksi di beberapa pasar lainnya. Sari pun
tidak menutup peluang jika ada pihak-pihak yang ingin membantu program
kesehatan yang ia lakukan sebagai sebuah organisasi nirlaba. Sari juga bersyukur,
langkahnya ini mendapat dukungan dari ketiga anak dan suaminya, Dr. Ir. Dewa KT
Sudarsana, MT. Di klinik di lantai 4 Pasar Badung itu, peraih Fellowship Ashoka
Indonesia ini terus setia dengan janjinya. Janji untuk mendedikasikan karier
dan hidupnya untuk kesehatan rakyat kecil terutama kaum perempuan.
Komentar
Posting Komentar