PEREMPUAN DAN KISAH : ELVIRA SARI RATNADI, SRIKANDI DI BALIK KEMUDI MOBIL BESAR




Hobi dan loyalitas membuat Elvira Sari Ratnadi mampu membuktikan pada kaum Adam yang acap meremehkan profesi yang ia emban. Sebagai pengemudi, ia tak gentar menyusuri jalan panjang antar kota dengan bus yang ia kemudikan. Perkenalannya dengan kendaraan roda empat dimulai ketika ia berusia 11 tahun. Saat itu, Vira tinggal bersama tantenya yang bekerja sebagai penata rias. Untuk mempermudah mobilitas mereka, tantenya pun kursus mengemudi. Tapi, tak juga lancar.

Suatu ketika, tetangga tantenya meminta Vira untuk memindahkan mobilnya yang menutup jalanan. Usai dipindahkan, alangkah kagetnya orang-orang ketika melihat ada bocah kecil di balik kemudi mobil tersebut. Tahu keponakannya bisa mengemudi, Vira pun akhirnya kerap diminta tantenya untuk membawa mobil kemana-mana. Untuk mengelabui polisi, saat mengemudikan mobil Vira selalu duduk di atas bantal agar kelihatan lebih tinggi layaknya orang dewasa. Dan meskipun saat itu dirinya masih kanak-kanak, Vira mengaku tidak pernah ditilang. Karena selagi mengemudikan mobil dengan taat aturan, segalanya akan aman-aman saja.

Berlanjut remaja, rupanya hasrat Vira untuk mengemudikan mobil semakin besar. Saat SMA ia bahkan sempat ikut menjadi sopir angkot di bilangan Ciledug, Tangerang Selatan. Di angkot pula ia bertemu dengan sopir pria yang kemudian menjadi suaminya. Mulanya, ibu lima anak ini mengaku, menjadi sopir bukan hanya sekedar bekerja mencari penghasilan sendiri, tapi ia juga kerap merasa ada yang kurang jika tak mengemudi sehari saja. Vira mengaku, badannya sering merasa sakit kalau hanya diam di rumah.

Setelah melahirkan anak pertama, Vira lalu bekerja pada sebuah perusahaan di bidang eksportir. Ia cukup sukses sebagai tenaga pemasaran. Keluar dari pekerjaan tersebut, tak lama badai krismon melanda Indonesia tahun 1997. Vira pun sempat banting setir menjadi pedagang minyak tanah. Di sela-sela itu, ia juga mencukupi kebutuhan keluarganya dengan menawarkan jasa katering, tata rias, dan gunting rambut. Semua ilmu itu ia dapatkan ketika masih tinggal bersama tante-tantenya. Waktu kecil ia memang sering melihat tante-tantenya ada yang pintar masak, dan pintar mendandani orang.

Entah apakah garis hidupnya memang berjodoh dengan kendaraan, setelah krismon mereda dan anak-anaknya tumbuh besar, lagi-lagi Vira melabuhkan profesinya sebagai pengemudi. Bahkan, saat sedang menarik angkot, ia sering mengajak pula anaknya yang sulung, yang saat itu masih kecil. Kesibukan Vira sebagai pengemudi kerap membuatnya sulit bertemu dengan seluruh anak-anaknya. Ia baru libur bekerja ketika sedang sakit saja.

Namun, apa yang dilakukan Vira ternyata terekam di benak anak ke-4 nya, Syakila Larasati. Saat duduk di bangku SMA, anak gadisnya ini semoat ikut-ikutan bekerja sebagai pengemudi angkot. Vira sebetulnya sempat melarang. Tapi rupanya, nasihat Vira tak mempan untuk menghentikan keputusan si anak. Anaknya berkilah, bekerja seperti itu agar bisa mendapatkan uang jajan sendiri, seperti yang dilakukan sang ibu kala seusianya. Kata-kata yang dikembalikan ke Vira itu, akhirnya membuatnya tak bisa melarang lagi. Untung saja, anaknya ini mampu membagi waktu dengan sekolahnya. Kebetulan ia masuk sekolah siang hari, jadi paginya bisa bekerja sebagai sopir angkot terlebih dahulu. Vira mengakui bahwa zaman memang telah berubah. Menurutnya, sebagai ibu ia memang tak bisa lagi memarahi anak-anaknya agar mereka menjadi penurut. Vira lebih suka memberikan pemahaman. Ia selalu mengatakan, apapun yang dipilih dan dilakukan anak-anaknya, baik atau jelek, nantinya akan kembali ke si anak sendri.

Seiring waktu berjalan, Vira pun melihat kegelisahan para ibu dari teman-teman TK anaknya. Apa pasal ? Ternyata mereka yang rata-rata istri pegawai sebuah bank, kerap ingin menyusul suaminya yang sedang bertugas ke luar kota. Tapi mereka suka bingung saat ingin berjalan-jalan di kota tujuan, karena terkendala kendaraan yang bisa digunakan. Iseng-iseng Vira pun mencetuskan ide, agar para istri itu menyuruh orang yang bisa membawa mobil pribadi ke kota tujuan mereka, sehingga acara jalan-jalannya tidak tergantung pada mobil sewaan. Tak disangka, ibu-ibu tersebut malah langsung meminta tolong pada Vira untuk mengantar jemput mobil pribadi dari Jakarta ke kota tujuan mereka dan sebaliknya. Jadi para ibu itu bisa berangkat dan pulang dengan menumpang kereta, dan Vira lah yang bertugas mengantar mobil menuju tempat tujuan, lalu ia pulang dengan naik bis. Dan kalau para ibu itu sudah ingin kembali ke Jakarta, Vira lah yang kembali akan menjemput mobilnya, kemudian ia sopiri sampai rumah atau kantor.

Sayangnya, karena terbiasa mengemudi, Vira kerap merasa tak tenang saat menjadi penumpag. Ia mengaku sering mual dan tidak betah. Suatu hari, dalam sebuah perjalanan dari Cirebon menuju Jakarta, Vira nekat mencolek sopir bus agar diizinkan bergantian menyopiri kendaraan itu. Tak disangka, sopir bus itu malah langsung mengajari Vira bagaimana cara membawa bus. Dan saat itu merupakan pengalaman pertama Vira membawa kendaraan roda empat yang berbadan besar. Ia juga sekaligus diajarai cara menyalip, memberi kode pada sesama bus, dan membawa kendaraan dengan gesit tapi tetap harus mengutamakan keselamatan penumpang.

Vira pun kemudian sempat beralih menjadi pramudi Trans Jakarta. Menurutnya, ceritanya sampai menjadi pengemudi transportasi umum ini juga secara kebetulan. Suat hari, saat sedang membawa pulang mobil pribadi dari Cirebon ke Jakarta, ia ditilang oleh polisi di Bundaran HI, karena melintas  di jalur khusus busway. Sejak itulah, ia seperti memiliki ‘dendam’, yaitu kelak harus bisa mengendarai bus Trans Jakarta. Dan benar saja, kiprah Vira sebagai pengemudi kemudian berlanjut di tahun 2006 saat resmi menjadi pramudi Trans Jakarta. Cukup langka memang, kaum perempuan yang ingin menjadi pramudi bus. Dengan bangga Vira meneritakan juga pernah membawa bekas Gubernur DI Jakarta Sutiyoso, berkeliling Jakarta ketika membawa tamu-tamu dan pejabat negara. Namun bukan berarti perjalanannya langsung mulus. Ketika banyak koridor baru busway yang bermunculan, Vira kebagian menempati koridor V. Ketika tiba di terminal Kampung Melayu sebagai shelter utama, ia sempat bersitegang dengan para sopir angkot yang ada di sana. Dengan kemunculan bus Trans Jakarta di lokasi tersebut, Vira dianggap sebagai salah satu pencuri lahan rezeki mereka.

Padahal, Vira sudah menjelaskan soal bus Trans Jakarta yang punya koridor lain dan halte khusus. Tak mampu meredam emosi seorang sopir yang terus memarahinya, akhirnya Vira menantang mereka untuk bertukar peran dan seragam. Dan ternyata dengan cara itu, si sopir yang awalnya emosi menyerah juga dengan sikap preman Vira. Namun, kemudian Vira merasakan ada yang tak beres dengan organ liver dan ginjalnya. Ia sempat sakit kerjas dan mengambil cuit tak terbatas. Atau dengan kata lain, ia bisa bekerja kembali kapan saja.

Di balik kesibukannya sebagai pramudi inti Trans Jakarta, rupanya Vira juga pernah mengalami masalah lain, yakni kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya. Lantaran laporannya pada pihak yang berwenang tidak mendapatkan respons positif, Vira pun pergi ke Kalimantan Tengah untuk menghindari masalah rumah tangga yang membelitnya. Ia ingin istirahat sejenak, menenangkan diri sambil mencoba mengobati penyakitnya. Sementara anak-anaknya saat itu sudah masuk sekolah pesantren.

Jauh dari ibu kota, lagi-lagi pekerjaan yang dilakoni Vira tak jauh-jauh dari mengemudi. Ia menjadi sopir truk yang mengangkut beras dan bawang merah. Pernah juga menjadi sopir truk di perkebunan kelapa sawit. Tanah liat yang becek menjadi tempatnya menjajal keahliannya menyopiri truk. Bagi Vira, sesuatu yang awalnya terasa aneh itu menjadi sangat indah bila berhasil dilakukan. Di Kalimantan ia memang siap melakoni pekerjaan apa saja asalkan halal, termasuk pernah pula menjadi pengupas bawang. Susah-senang dalam setiap pekerjaan yang ia lakukan ingin ia rasakan sepenuhnya karena rasa ingin tahunya yang besar.

Selain di Kalimantan, Vira juga pernah menjadi sopir truk kontainer dan truk penangkut ikan di desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Bali. Namun, petualangannya di Bali terhenti karena rasa trauma. Di mana Vira pernah melihat kontainer yang hampir menimpa bagian kepala truk. Saat itu ia melihat sling pada kontainer yang mau terlepas, sementara di bawahnya ada truk yang sedang berhenti, dengan sopir di dalamnya. Secepat kilat Vira segera lari menuju truk dan menarik keluar sopirnya.  Tak lama kemudian, kontainer itu pun ambruk menimpa truk. Peristiwa itu sempat membuat Vira pingsan dan sakit kepala selama tiga hari. Oleh warga setempat Vira lalu mendapatkan pegobatan secara tradisional. Dan ajaibnya, setelah itu, ketika ia mengecek ke dokter, ternyata ginjalnya sudah tak lagi bermasalah.

Akhir 2009, Vira pun kembali ke Jakarta. Ia mencari penghidupan yang lebih baik dengan menjadi sopir taksi di bilangan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Selama 6 bulan, ia menjelajahi ruas-ruas jalan ibukota. Dan tak lama kemudian, ia mendapat kepercayaan untuk mengemudikan bus pariwisata. Lagi-lagi kendaraan besar yang menjadi tunggangannya di jalan raya. Vira pun kerap diminta membawa para ekspatriat dan juga mengantar jemput anak-anak sekolah di seputar Jakarta. Seringpula ia diminta khusus oleh pelanggan untuk menjadi pengemudi bus saat mereka berlibur. Biasanya oleh kelompok ibu-ibu yang ingin melakukan perjalanan tur wisata.

Baginya mengemudi adalah hobi yang berlanjut menjadi pekerjaan. Membawa kendaraan besar berikut banyak penumpang bukanlah suatu beban. Di dalam kendaraan yang dibawanya, ia harus bersikap hati-hati dalam membawa diri bersama bus dan penumpangnya. Vira merasa dirinya memang sudah menyatu dengan bus. Vira pun berfilosofi soal profesinya. Bila sebuah pekerjaan membuat kita tambah sehat, berarti pekerjaan itu cocok untuk kita. Masalah uang, akhirnya itu menjadi nomor ke sekian baginya. Vira pun punya prinsip, menjadi minoritas di antara pria, ia juga harus mau belajar keras. Bila memasuki lingkungan baru tapi tak mampu menguasai, cobalah dengan mengikutinya saja, dan jangan malah jadi menjauh.

Vira sadar, sebagai seorang ibu ia juga masih jauh dari kata sempurna, karena tak selalu ada untuk anak-anaknya. Tapi menurutnya, di zaman sekarang perempuan memang harus menjadi ibu yang super. Bagaimana mentransfer budi baik ke pikiran anak. Di samping mengurus dan membesarkan anak, baginya seorang perempuan juga harus memiliki kegiatan yang bermanfaat, dan kemampuan mengelola finansial. Du luar kesibukannya mengurus keluarga, seorang ibu juga harus mampu menunjukkan ekspresinya dalam kegiatan sehari-hari.

Komentar