CHARITY : RUMAH PANDAI, Aksi Kanaya Tabitha Untuk Para Pengungsi & Korban Bencana Alam




Rumah Pandai adalah sebuah shelter yang didirikan desainer Kanaya Tabitha, sebagai bentuk kepeduliannya terhadap masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, terutama mereka yang terkena bencana. Salah satunya berada di Tuapukan, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tuapukan sendiri merupakan lokasi pengungsi masyarakat asal Timor Leste yang pada tahun 1999 harus tersingkir dari tanah leluhurnya karena lebih memilih bergabung dengan RI. Timor Leste kemudian berdiri sebagai negara merdeka. Karena memilih bergabung dengan Indonesia, pemerintah menempatkan para pengungsi itu di tiga titik lokasi. Dan Tuapukan adalah tempat pengungsian terbesar karena sempat dihuni 20 ribu jiwa lebih.

Sebagai tempat tinggal, mereka dibuatkan rumah sangat sederhana dengan atap rumbai dari daun giwang. Dinding rumah dibuat dari batang pohon giwang kering yang ditata rapi dan masih berlantai tanah, sehingga kala hujan tiba, sekeliling rumah jadi becek dan lembap. Saat ini di Tuapukan ada sekitar 275 jiwa, tidak sebanyak di tahun-tahun awal ketika lokasi pengungisan ini dididirikan. Karena sebagian lainnya sudah ada yang mendapat bantuan dari pemerintah untuk mendirikan rumah sendiri. Ada juga yang pindah ke daerah lain, atau kembali ke Timor Leste.



Kehadiran Rumah Pandai di Tuapukan ternyata memiliki kisah yang cukup panjang. Kanaya bertutur, awalnya ia tidak melirik Tuapukan, tetapi So’e, tempat pengungsian lain. Tapi ketika mobil yang ia tumpangi melintas di jalanan wilayah Tuapukan, ia langsung minta berhenti, karena melihat ada perkampungan pengungsi yang sangat memprihatinkan. Dari pandangannya yang selintas itu,  ia pun kemudian memutuskan tidak melanjutkan ke So’e, karena merasa Tuapukan lebih layak dibantu. Namun, masuk ke dalam kampung pengungsian dan mengajak ngobrol ibu-ibu yang ada di sana ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ketika berjalan-jalan menemui warga, para ibu maupun pemuda setempat malah menghalangi dan mengusirnya. Mereka selalu mengatakan, bahwa tidak masalah hidup tetap miskin, asal jangan diperalat.

Semula Kanaya tidak mengerti maksud ucapan tersebut. Baru setelah ia berusaha mendengar, terungkap bahwa selama ini pengungsian itu tidak pernah dikunjungi siapa pun. Jika pun ada pejabat yang berkunjung, biasanya dengan maksud politis, seperti menggalang massa atau pencitraan. Setelah tujuan tercapai, para pejabat itu pun tidak pernah muncul lagi. Kanaya pun tak menyerah. Ia menjelaskan kepada mereka bahwa tujuannya benar-benar mau membantu tanpa ada embel-embel apa pun. Akhirnya, dengan berbagai cara pendekatan, mereka pun percaya hingga akhirnya hubungan saat ini semakin dekat.

Rumah Pandai yang didirikan Kanaya pada awal tahun 2014, merupakan hasil diskusinya dengan sang anak. Dalam diskusi tersebut dia mengungkapkan bahwa ingin sekali melakukan sesuatu demi kemanusiaan kepada mereka yang belum dikenalnya dan dalam bentuk yang berbeda. Mungkin sudah menjadi garis Tuhan, beberapa hari kemudian, ia melihat tayangan TV tentang seorang ibu pengungsi Gunung Sinabung yang tengah hamil dan wajah penuh debu menangis tidak bisa pulang, padahal dirinya akan melahirkan. Kanaya tersentak melihat tayangan tersebut. Tapi di sisi lain, batinnya bertanya apa mungkin dia bisa berangkat ke sana sementara kondisi di pengungsian masih porak poranda.



Keesokan harinya ketika sedang berada di gereja, ia mendengar khotbah seorang pendeta dari Amerika tentang orang beriman yang harus keluar dari kenyamanan untuk melakukan sesuatu. Bukan sekedar mengeluarkan harta, tapi sekaligus mau melakukannya sendiri. Yang mengherankan, saat khotbah, pendeta tersebut menunjuk Kanaya yang duduk di belakang, dan memintanya untuk segera berangkat ke Sinabung, untuk membantu sesama. Kanaya sempat terkejut karena sebelumnya ia tidak pernah mengenal sang pendeta. Karena heran, usai ceramah ia menemui sang pendeta di belakang altar untuk meminta penegasan. Pada pertemuan itu, sang pendeta kembali mengatakan bahwa ia memang harus segera berangkat ke Sinabung. Dan cerita inilah yang menurut Kanaya menjadi latar belakang aksi sosialnya sekarang.

Mendapat dukungan moral dari sang pendeta dan buah hatinya, empat hari kemudian Kanaya nekat berangkat sendirian membawa obat-obatan ke lokasi pengungsian di kecamatan Tiga Binanga. Lokasi Tiga Binanga cukup jauh karena sudah masuk perbatasan antara Sumut dan Aceh. Setiba di lokasi, Kanaya sangat syok melihat tiga ribu orang pengungsi dengan baju compang-camping tidur di pasar yang tak beratap. Sejak saat itu, ia pun meyakini bahwa apa yang dipilihnya ini memang merupakan panggilan Tuhan. Kanaya kemudian menyewa rumah penduduk dan membagi-bagikan obat-obatan. Ia juga mengajak bermain anak-anak pengungsi serta menemani ibu-ibu malang di sana. Ibu-ibu itu sangat bahagia sekali ketika ia temani, karena sebelumnya memang tidak pernah ada yang datang untuk memberikan bantuan obat.

Dari percakapan dengan pengungsi, akhirnya diketahui bahwa mereka tak sekedar ingin mendapat bantuan, tetapi juga keterampilan yang bisa memberdayakan untuk kehidupan berikutnya. Sebelumnya, di pengungsian mereka tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali tidur dan makan saja. Dan pada kedatangan keduanya, Kanaya kembali menyewa sebuah rumah di dekat lokasi pengungsian dan dijadikan shelter yang sehari-hari bisa difungsikan sebagai tempat mandi, belajar, bermain bagi anak-anak pengungsi, serta tempat berkumpulnya para ibu-ibu. Sejak itu pula, teman-teman Kanaya mulai mengapresiasi apa yang ia lakukan. Sebagian dari mereka pun mau membantu aksi sosialnya ini. Bahkan saat peresmian Rumah Pintar tersebut, banyak teman artis yang datang.

Karena tak mungkin berbuat sendiri, Kanaya kemudian mengajak lulusan Universitas Gadjah Mada untuk menjadi project officer (PO) dan membantunya menjalankan program pelatihan keterampilan seperti yang diminta pengungsi. Di Rumah Pintar pengungsi akan dilatih sampai bisa beternak lelel atau belut, sedangkan untuk para ibu diajarkan membuat sabun dan sampo. Kanaya memang sengaja memberi pelatihan yang sifatnya singkat agar ada perputaran uang. Lele dan belut misalnya, cukup dua bulan saja untuk diternak. Setelah sukses di Tiga Binangan, Kanaya kemudian merekrut lulusan ITB dan Unpad sebagai PO di kawasan lain, seperti pengungsi Gunung Rokatenda di NTT, korban Gunung Sinabung di Uka dan Tiganderket, korban Gunung Kelud di Ngantang, Malang, dan Tuapukan. Para PO ini bukanlah relawan, teteapi pekerja yang Kanaya bayar. Masa tugas mereka enam bulan sampai para pengungsi benar-benar menguasai materi yang diberikan. Belakangan, Rumah Pandai pun mendapat penghargaan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana.



Jenis keterampilan yang diberikan berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Para pengungsi Ngantang misalnya, diajari beternak itik sesuai yang diinginkan. Bahkan, para pengungsi tak sekedar diberi pelatihan, tapi juga pinjaman lunak. Agar komunikasi antara pengungsi dengan PO semakin lancar, Kanaya sengaja menempatkan PO yang memiliki keyakinan sama dengan warga setempat. Bila di kawasan pengungsi mayoritas penduduknya beragama Katolik, maka ia menempatkan PO yang juga beragama Katolik. Demikian pula jika kawasan tersebut dominan muslim, maka PO yang ada di sana pastilah juga muslim. Sebelum berangkat ke ‘medan tugas’, para PO mendapat training tentang kebencanaan oleh trainer berpengalaman. Kanaya menegaskan, tujuan didirikannya Rumah Pandai tidak sekedar membantu dalam bentuk sarana fisik saja. Tapi yang lebih penting adalah bisa memberdayakan masyarakat agar lebih berdaya sehingga bisa mendapatkan penghidupan yang baik.

Tak hanya menugaskan PO, Rumah Pandai juga akan mendatangkan ahli yang berkompeten di bidang masing-masing. Mulai pertanian, perikanan, keterampilan, bahkan tehnik untuk membantu mewujudkan program yang diinginkan pengungsi. Untuk Tuapukan sendiri, Kanaya berencana mendatangkan ahli pembuatan biogas. Sehingga, kotoran ternak bisa dijadikan sumber energi agar warga tidak perlu lagi membeli gas elpiji untuk memasak.

Komentar