Penyakit
kanker tidak membuat semangat ibu tiga anak ini terhenti. Pasrah dan yakin akan
kuasa Tuhan, membuat perjuangannya itu terasa ringan. Dan kini, perempuan
kelahiran Pontianak, 6 Agustus 1969 ini telah dinyatakan bebas kanker. Sejak
itu pula, dirinya menjadi pelita bagi mereka yang tengah mencari kesembuhan.
Bila mengingat apa yang ia alami, Mary merasa bahwa Tuhan berkomunikasi dengan
umatnya melalui caranya yang unik. Bertepatan dengan hari ulang tahunnya, 6
Agustus 2008, ia dinyatakan mengidap kanker payudara stadium 3. Tuhan kemudian
mencabut penyakitnya dan memberikan kesembuhan tepat di hari ulang tahun sang
suami, 13 Maret 2009.
Awalnya, Mary
mengetahui ia menderita kanker secara tidak sengaja. Sekitar Mei 2008, Mary mengaku
sedang mempraktekan tehnik Pemeriksaan Payudara Sendiri (Sadari) seperti yang
ia lihat dari sebuah majalah. Saat itu terasa ada benjolan di salah satu
payudaranya. Ia agak heran, pasalnya sebulan sebelumnya baru saja melakukan check up termasuk mamografi dan tidak
ditemukan masalah. Karena baru saja melakukan check up, Mary menganggap benjolan itu bukan masalah serius dan
tidak perlu ditindaklanjuti. Ia teringat, sekitar tahun 2003, saat itu di
payudara yang sama ada kista kecil dan sudah diangkat. Hingga bulan Juli 2008,
Mary pun tidak memeriksakan diri ke dokter. Bahkan, ia masih sempat pergi
liburan bersama keluarga besarnya ke Bali. Saat berlibur itulah, ia mulai
merasa sakit pada bagian dada dan punggung. Rasanya seperti ditusuk-tusuk. Ia
tidak tahu penyebabnya, tiba-tiba muncul saja.
Sepulang
liburan, Mary pun menemui seorang teman yang kebetulan berprofesi sebagai
dokter umum. Temannya lalu meminta Mary melakukan USG. Ternyata, dari hasil
USG, temannya curiga benjolan tersebut adalah kanker. Kemudian ia diminta
menemui seorang dokter spesialis onkologi. Mary pun juga sempat berobat
alternatif di kota kelahirannya. Tabib yang memeriksa pun bilang bahwa penyakit
yang diidapnya serius. Pada 6 Agustus 2008 Mary menemui seorang dokter
spesialis dan menjalani biopsi. Hasil biopsi menunjukkan bahwa benjolan di
payudaranya adalah kanker payudara stadium 3. Dari hasil pemeriksaan itu ia
melihat bahwa benjolan yang awalnya berukuran 2,2 mm sudah membesar menjadi 5,6
mm. Setelah ia cari tahu, ternyata kanker itu membesar akibat kesalahannya
sendiri. Jadi, sepulang dari liburan ke Bali itu ia memanggil tukang urut. Dari
informasi yang ia dapati, urut itu ternyata berbahaya karena dapat membuat sel
kanker jadi cepat menyebar.
Dokter spesialis
yang memeriksa memintanya segera menjalani operasi. Tak ada pilihan lain. Tentu
saja saat itu Mary merasa takut. Terlebih, imej kanker itu sangat mematikan dan
harus dioperasi untuk menghilangkan payudara. Mary merasa tidak siap menerima
itu. Apalagi, informasi yang ia dapatkan operasi tidak menjamin sembuh 100
persen. Ketika itu ia masih berharap ada pengobatan lain yang dapat
menyembuhkan tanpa operasi. Akhirnya, ia melakukan pemeriksaan ke dokter
berbeda. Ternyata dokter yang ia temui itu juga menyarankan hal yang sama.
Begitu divonis mengidap kanker, yang terbayang dalam benak Mary adalah
kematian. Ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan saat itu. Anak-anaknya masih
kecil, saat itu si bungsu baru 4 tahun, yang kedua 11 tahun, dan yang sulung 13
tahun. Mereka tentu saja masih membutuhkan kehadirannya. Ia dan suami ketika
itu sepakat untuk tidak memberi tahu anak-anak tentang apa yang ia hadapi.
Selain masih kecil, agak sulit juga menjelaskan kepada mereka. Mereka hanya
tahu Mary sakit, tapi tidak tahu betapa seriusnya penyakit ini.
Di tengah
kebingungan itu, banyak pula teman, saudara, dan kenalan yang memberi berbagai
saran. Walau niat mereka baik, tapi Mary dan suami malah dibuat bingung mau
memilih pegobatan yang mana. Ia pun hanya terus berdoa agar kuat menghadapi penyakit
ini. Ia juga berharap Tuhan dapat menunjukkan jalan kesembuhan yang terbaik.
Doa Mary seakan terjawab. Seorang teman datang bertamu membawa sepupunya yang
sudah dinyatakan sembuh dari kanker setelah berobat ke Guangzhou, Tiongkok.
Saat mendengar ceritanya, entah mengapa Mary merasa yakin bahwa ini adalah
jalan yang harus ia tempuh. Setelah berembuk dengan suami dan mempertimbangkan
kondisi keuangan, ia akhirnya sepakat untuk mencari kesembuhan di sana.
Tanpa menunggu
lama, 17 Agustus 2008, Mary berangkat ke Guangzhou ditemani suami. Setelah
konsultasi dengan dokter, ia harus menjalani kemoterapi 6 kali, lalu cryosurgery satu kali, dan 35 kali
radiasi dalam jangka waktu 6 bulan pengobatan. Ia tidak perlu menjalani operasi
pengangkatan sel kanker dan payudara. Sel kanker itu tidak diangkat dengan
operasi, melainkan dibekukan lalu dipanaskan berulang-ulang hingga sel kankernya
mati. Karena harus berobat, anak-anaknya terpaksa ditinggal di rumah. Saat itu,
mereka mulai curiga bahwa penyakit yang diidap sang mama serius. Tapi hebatnya,
anak-anaknya tidak ada yang menangis. Hanya air mata mereka menggenang ketika
melepas Mary pergi berobat.
Proses
pengobatan yang dijalani Mary sedikit berbeda. Kemoterapi yang ia jalani
disebut infusi zat kimia lewat arteri atau Transarterial
Chemical Infusion (TACI). Obat diinjeksikan lewat kateter yang dimasukkan
ke pembuluh darah besar di pangkal paha. Selama menjalani terapi itu, Mary
tidak boleh bergerak sama sekali selama 24 jam. Syukur pada Tuhan, setelah
menjalani terapi demi terapi, sel kankernya terlihat mengecil. Selama menjalani
pengobatan, Mary terpaksa harus pulang pergi Indonesia-Ghuangzhou. Di rumah
sakit itu, ia belajar untuk tetap berpikir positif. Di sana, ia juga bertemu
banyak pasien asal Indonesia dan negara lain. Memang ada di antara mereka yang
gagal dan ada pula yang berhasil. Namun, Mary tetap coba untuk berpikir positif
bahwa ia bisa sembuh. Terlebih, menurut dokter yang merawatnya, pikiran positif
itu penting demi mencapai kesembuhan.
Namun, akibat
kemoterapi, Mary mengaku sempat terpuruk juga. Selain merasakan efek kemoterapi
seperti mual, diare, badan sakit-sakit dan rambut rontok, bermacam pikiran
negatif pun muncul di kepala. Belum lagi perasaan kangen dengan anak-anaknya.
Yang paling berat itu adalah, ketika ia mandi dan melihat rambutnya rontok
banyak sekali. Akhirnya, oleh suami, kepalanya dibotaki pelontos. Itu lebih
baik daripada ia harus stres melihat rambutnya jatuh terus. Hasil pengobatan di
negeri tirai bambu itu pun terus menunjukkan hasil yang positif. Perubahan
signifikan tampak pada ukuran sel kanker yang mengecil, sehingga Mary makin
antusias menjalani proses pengobatan. Ia juga terus membangkitkan semangat
dengan mendekatkan diri pada Tuhan. Ia percaya bahwa jika Tuhan izinkan, ia
pasti sembuh, begitu pula sebaliknya. Ia hanya pasrah kepada Tuhan, karena
hidup dan mati memang ada di tangan Tuhan. Dengan bersyukur, ia jadi bisa lebih
nyaman menjalani proses pengobatan dan bisa menjalani hari demi hari dengan
mudah.
Tanggal 13
Maret 2009, seluruh proses pengobatan dinyatakan selesai dan Mary dinyatakan
bersih dari kanker. Ia pun sangat bersyukur bisa melewati ini semua. Dari situ
Mary banyak belajar, salah satunya adalah menjaga pola hidup sehat. Memang,
sebelum dinyatakan mengidap kanker, ia bukan orang yang macam-macam. Ia tidak
merokok atau minum minuman keras. Tapi ternyata ia baru sadar bahwa sebelum
sakit ini ia adalah orang yang cepat panik dan mudah stres. Ia selalu tidur di
atas jam 12 malam karena insomnia. Dari situlah ia tahu bahwa pola hidupnya
tidak benar. Dan mungkin itu menjadi pemicu munculnya penyakit ini. Sejak itu,
Mary mulai mengatur pola hidup dengan benar.
Sejak
dinyatakan sembuh, Mary juga menghindari produk makanan instan dan berpengawet.
Sebanyak mungkin suami dan anak-anaknya juga menjalani pola hidup yang sama.
Mungkin dalam setahun boleh sesekali, tapi sebisa mungkin menghindari
makanan-makanan tersebut. Akibat pengalaman ini pula, Mary memiliki banyak hal
yang bisa dibagi kepada masyarakat agar sadar pada kondisi tubuh masing-masing.
Ketahui kapan saatnya istirahat. Perbaiki pola hidup, cari informasi dan sumber
yang tepat. Kepada mereka yang sedang menjalani pengobatan, pilih dan jalani
prosesnya dengan nyaman. Karena kalau kita jalani dengan nyaan dan baik,
kesembuhan itu pasti datang.
Meski kanker
adalah penyakit mematikan, tapi sebetulnya banyak yang bisa sembuh. Kalaupun banyak
yang tidak selamat itu karena ketahuannya sudah telat atau penanganannya
terlambat. Maka, jangan takut memeriksakan diri. Lebih cepat diobati, tingkat
kesembuhannya lebih besar. Semakin dini diketahui, semakin ringan
pengobatannya, juga ringan biayanya.
Komentar
Posting Komentar