WANITA DAN KISAH : KOMPOL ELISABET BACIN, Ketagihan Menjadi Relawan PBB



Komisaris Polisi Elisabet Bacin yang menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Perencanaan dan Administrasi (Kasubbag Renmin) Bidang Keuangan Polda Sumatera Utara, merupakan satu dari delapan personil Polri yang pernah berkiprah di misi kemanusiaan PBB di Sudan. Tepatnya di Legeineina bagian Barat Darfur, Sudan. Wanita kelahiran Belawan, 31 Oktober 1976 ini tergabung dalam misi United Nation Africa Union Mission in Darfur (UNAMAID) selama lebih kurang 1,7 tahun. Walau sebenarnya masih ingin lebih lama berada di sana, tapi karena sudah ada panggilan dari Markas Besar POLRI, ia pun harus kembali. Selain itu ada banyak aturan administrasi juga yang harus ia selesaikan di Indonesia.

Elisabet mengatakan, tujuan awalnya mengikuti misi kemanusiaan PBB ingin lebih mengembangkan potensi diri. Ia mengaku sangat suka berinteraksi khususnya dengan orang-orang dari negara lain. Proses mengikuti seleksi untuk misi ini pun tak mudah dan butuh waktu lumayan panjang. Dari sekian ratus polisi yang mendaftar, kurang dari 10 yang diterima. Eisabet sendiri mendaftar sejak tahun 2009 di Mabes Polri dan baru tahun 2012 ia diberangkatkan ke negara tujuan, Sudan. Waktu itu, ada delapan orang yang lulus tes, tiga laki-laki, lima perempuan. Seleksi yang dilalui pun tak mudah. Selain tes psikologi, kesehatan, dan kemampuan bahasa Inggris, Elisabet juga harus mengikuti tes kemampuan menembak dan berkendara. Meskipun terkesan seperti tes biasa, tapi nilai tingkat kemampuan yang dihasilkan harus benar-benar di atas rata-rata.

Selesai mengikuti tes di Mabes Polri, Elisabet masih harus mengikuti seleksi oleh pihak PBB. Posisinya yang telah selesai mengikuti tes di Mabes Polri disebut stand by force. Di posisi ini ia harus menunggu kedatangan tim PBB yang selanjutnya akan menseleksi. Proses inilah yang memakan waktu lama. Karena petugas penguji PBB ini didatangkan langsung dari New York.

Meski berstatus sebagai polisi di misi kemanusiaan PBB, namum para polisi, termasuk Elisabet, yang tergabung dalam misi tersebut tak dibenarkan menindak setiap kegiatan kriminal yang dilakukan para pengungsi di Sudan. Para polisi relawan ini bertugas untuk memonitor situasi dan kondisi di pengungsian. Mereka berkoordinasi dengan NGO kemanusiaan yang beroperasi di wilayah tersebut dan hanya bisa mengatasi hambatan atau kekurangan yang dialami pengungsi. Misalnya, kalau ada pompa air yang macet atau ada masalah air penampungan umum, biasanya para pengungsi sering berkelahi. Nah, tugas mereka di sana adalah sebagai penengah, menasihati agar mau saling berbagi. Jika terjadi tindakan kriminal, mereka hanya memberikan informasi kepada polisi nasional negara setempat. Meski mengaku sempat mengalami sedikit kesulitan karena perbedaan karakter dan kultur dengan polisi-polisi dari negara lain, namun Elisabet mengaku sangat menikmati perjalanan hidupnya sebagai relawan.

Dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga besar polisi, sejak kecil Elisabet pun sudah bermimpi menjadi polisi seperti ayah dan kakaknya. Keinginan itu ia tunjukkan dengan hobinya menonton film-film detektif. Namun keinginan besar itu sempat kandas ketika ia gagal masuk ke Sekolah Calon Bintara (Secaba) selulus Sekolah Menengah Atas. Ia harus menelan kenyataan pahit, tinggi badannya yang kurang dari 158 cm, tak sesuai dengan persyaratan untuk lulus. Meski semangatnya patah, Elisabet tak putus asa. Ia pun memutuskan kuliah mengambil jurusan Akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Methodist Medan. Namun, Elisabet tak pernah mengubur keinginannya untuk tetap bisa jadi polisi. Ia terus berdoa semoga suatu hari nanti ada keajaiban.

Dan benar saja, keajaiban itu akhirnya datang. Usai menamatkan pendidikannya di Universitas Methodist Medan, Elisabet mencoba mendaftar kembali menjadi polisi untuk tingkat perwira. Ia mengikuti testing Perwira Polisi Sumber Sarjana. Di sinilah keajaiban itu terjadi, karena saat mendaftar tahun 2001, peraturan tentang tinggi badan di sekolah kepolisian mengalami perubahan. Ia yang hanya memiliki tinggi 156 cm akhirnya lolos. Kebetulan, jurusannya adalah salah satu yang dibutuhkan waktu itu. Anak ke empat dari enam bersaudara ini pun mulai mengikuti pendidikan kepolisian tahun 2002.

Menjadi polisi relawan misi kemanusiaan PBB, Elisabet mengaku mendapat pengalaman baru dan bisa berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai negara. Dan yang lebih membuat dirinya merasa tersentuh adalah saat melihat kondisi orang-orang di lokasi pengungsian. Kondisi mereka benar-benar sangat memprihatinkan. Tanah tandus tak ada air, kemiskinan, dan tingkat pendidikan yang sangat rendah. Melihat kenyataan itu, ia pun sungguh merasa beruntung karena tinggal di Indonesia yang bangsanya masih diberi Tuhan banyak kelebihan dibandingkan dengan orang-orang yang ada di pengungsian tersebut.

Elisabet mengaku punya kesan mendalam terhadap para perempuan yang ada di pengungsian. Menurutnya, penderitaan yang dialami telah menempa diri para pengungsi untuk tidak mudah menyerah. Pernah suatu kali Elisabet melihat seorang wanita muda bertubuh sangat kurus melahirkan bayinya. Dalam proses melahirkan yang membutuhkan kekuatan tenaga dan rasa sakit yang luar biasa, wanita itu terlihat biasa-biasa saja. Ia sangat kuat dan tabah, tak mengeluarkan suara sedikit pun. Ekspresinya biasa saja, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Di situlah Elisabet berpikir, betapa luar biasanya perempuan itu. Mungkin karena ia terbiasa hidup dengan penderitaan, maka rasa sakit saat melahirkan bukan hal yang bisa membuatnya mengeluarkan air mata. Mendapat banyak pengalaman yang luar biasa saat menjadi relawan, jiwanya pun merasa terpanggil kembali. Ia merasa ketagihan untuk mengikuti kegiatan ini. Rencananya, ia akan kembali mendaftar sebagai polisi relawan di misi kemanusiaan PBB lainnya.

Komentar