Menjadi bungsu dari tiga bersaudara tak membuat Tri Kusmawardani manja. Malah, sejak kecil cita-cita sudah jelas terpatri di benaknya, menjadi tentara. Cita-cita yang tergolong berbeda untuk ukuran anak perempuan itu ternyata tak datang begitu saja. Dulu, Tri sangat dekat dengan almarhum kakeknya, yang semasa hidupnya adalah tentara Angkatan Darat. Sang kakek sering menceritakan tentang kemiliteran. Ditambah lagi, Tri juga senang menonton film action, dan sejak sekolah ia sudah gemar berolahraga lari. Tak tangung-tanggung, bahkan sampai menjadikannya seorang atlet. Tak heran, pelan-pelan kecintaannya pada dunia militer tumbuh. Ia ingin mengikuti jejak kakeknya. Ibunya yang berprofesi sebagai perawat dan berstatus PNS di Pasuruan serta ayahnya yang bekerja di instansi pemerintah di kota yang sama, juga sudah memahami cita-citanya sejak dulu.
Kedua
orangtuanya memang selalu mendukung apa pun keinginan anak-anaknya, selama itu
baik. Dan mereka selalu ikut mendoakan. Lulus SMA pada 2011, tahun berikutnya
perempuan cantik ini mencoba mendaftar menjadi anggota TNI AL. Sebetulnya saat
itu cita-citanya ingin masuk Angakatan Darat (AD), tapi karena waktu itu yang
membuka pendaftaran terlebih dulu adalah Angkatan Laut (AL), ia ikuti saja.
Setelah mengikuti tesnya, ternyata ia diterima dan berdinas sampai sekarang.
Usai menjalani pendidikan, Tri berdinas di Surabaya dan menjadi angota Korps
Wanita Angkatan Laut (Kowal). Ia juga pernah mendapat perintah untuk ikut
kejuaraan renang. Ia lalu mendalami pelajaran berenang. Saat lomba itulah Tri
melihat ada pertandingan selam. Ia pun langsung tertarik ikut, dan ternyata
bagi Tri, menyelam itu sangat menyenangkan karena bisa melihat indahnya dunia
di bawah laut, bertemu dengan ikan-ikan dengan beragam corak yang lucu, karang
yang indah, rumput laut, dan sebagainya.
Kadung
menyukai olahraga selam, perempuan berdarah Jawa ini lalu mengambil brevet
scuba selam. Meski terbilang berat, Tri dengan senang hati melalui beberapa
tahap pendidikan. Resmi mendapatkan brevet pada 2013, hingga kini ia tetap
belajar selam. Tahun berikutnya, tepatnya Agustus 2014, Tri berpindah tugas ke
Jakarta dan masuk kapal. Sejak itu, ia sering mendapat perintah berlayar ke
perairan Nusantara. KRI Banda Aceh menjadi tempat tugasnya. Pertama kali
berlayar, Tri mengaku merasa sangat pusing. Ombak besar di tengah lautan
membuat kapal bergoyang-goyang, sehingga cara jalan Tri pun tak bisa lurus. Ia
mabuk laut. Menyadari berlayar akan menjadi kesehariannya, Tri berusaha
bangkit. Ia tidak mau berlarut-larut. Jadi ia berpikir, pusing tidak boleh
dirasakan agar tidak terus-terusan sakit. Dan ternyata cara itu berhasil
mengusir rasa pusingnya.
Sejak itu, Tri
punya jurus jitu agar tak mabuk laut. Pertama, ia tak pernah membiarkan
perutnya dalam keadaan kosong. Kedua, mengisi waktu senggang di kapal dengan
aktivitas positif seperti berolahraga, mendengarkan musik, bernyanyi, atau
memainkan alat musik. Kebetulan, ia cukup menguasai gitar. Jadi, jangan sampai
bengong di kapal. Selain itu, walaupun sedang berada di tengah laut, ia percaya
mahluk yang ada ada di sana bukan cuma manusia saja. Jadi, ibadah pun juga
harus terus jalan. Alhasil, ia bisa menikmati kehidupan sehari-harinya di kapal
seperti biasa. Maklum, ketika perintah berlayar datang, Tri bisa menjalaninya
sampai hitungan bulan. Ia antara lain pernah berlayar ke Padang, Bengkulu, dan menjadi
ABK KRI Banda Aceh saat kapal yang luasnya 125 meter persegi itu terlibat dalam
misi pencarian penumpang dan pesawat Air Asia QZ8501. Perasaan Tri saat itu
bercampur aduk antara senang, takut, sekaligus bangga.
Takut karena
itulah pertama kalinya ikut pelayaran untuk misi sosial pencarian jenazah.
Senang karena ia bisa menambah pengalaman untuk pelayaran SAR. Dan ia juga
bangga karena bisa membantu banyak keluarga yang sedang mencari para korban. Di
dalam misi itu, korps Tri bertugas di bagian perbekalan. Ia bertugas sebulan
penuh bersama beberapa anggota Kowal lain. Tugasnya di bagian perbekalan antara
lain mengurus kebutuhan pakaian, makanan, dan lainnya untuk para ABK dan
anggota TNI yang ikut di kapal, serta makanan untuk para penumpang tambahan. Di
antaranya, wartawan, penyelam, serta tamu yang setiap hari berbeda, yang
sebagian datang lewat helikopter. Dalam sehari, total yang harus diurus bagian
perbekalan lebih dari 200 orang. Di antaranya sudah termasuk ABK yang berjumlah
108 orang. Bila kapalnya sedang bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta,
Tri tinggal di sebuah mess milik TNI AL yang ada di daerah Tanah Abang.
Meski tugas
membuatnya berada di lingkungan yang mayoritas pria dan menantang bahaya, Tri
terlihat sangat menikmati pekerjaannya. Memiliki kakak lelaki yang bekerja di
bidang perminyakan dan kakak perempuan yang menjadi guru olahraga, Tri awalnya
merasa takut waktu pertama kali masuk kapal. Namun, setelah menjalani
hari-harinya di kapal dan diberi kebebasan menggunakan fasilitas yang sama
seperti para ABK pria, Tri merasa nyaman. Para ABK pria pun juga sangat ‘welcome’ dengan kehadiran Tri dan
anggota Kowal yang lain. Mereka sudah seperti saudara, keluarga, dan kakak.
Karena kapal ibarat rumah bagi para ABK. Jadi, aktivitas sehari-hari dilakukan
di atas kapal. Tali persaudaraan pun jadi erat. Sebelumnya ada 5 anggota Kowal
di KRI Banda Aceh, tapi kini tinggal 4 orang. Tri sendiri, kini telah menjadi
kekasih yang juga sesama anggota TNI AL.
Walau sang
kekasih sangat mendukung pekerjaannya dan bisa memahami tugas-tugas Tri, tapi
bagaimanapun kekasihnya tetap khawatir. Oleh karena itu, ia diminta tidak
berlama-lama di kapal dan kelak setelah menikah menjadi staf saja. Namun Tri
mengaku ia belum akan menikah dalam waktu dekat. Karena, sang kekasih masih
akan melanjutkan sekolah dan Tri sendiri juga masih akan berlayar ke luar
negeri, dalam rangka pelayaran taruna baru yang akan menjalani pendidikan
pelayaran. Menjadi anggota Kowal yang bertugas di laut, menurut Tri, memberikan
banyak pengalaman berkesan yang sulit didapatkan orang lain. Ia jadi bisa
mengenal berbagai wilayah di Indonesia dan bisa menjadi AL yang sesungguhnya.
Karena AL itu memang identik dengan KRI. Kalaupun suatu saat nanti ia tak lagi
bertugas di kapal, ia pun siap. Karena menjadi anggota TNI itu, siap tidak siap
memang harus siap. Ketika masuk TNI, ia sudah menandatangani surat kontrak
untuk menjadi anak negara. Jadi 1x24 jam harus menjadi abdi negara.
Diakuinya, tugasnya
menjadi salah satu abdi negara tidaklah mudah. Cukup berat, karena berada di
barisan terdepan saat negara dalam keadaan genting. Sementara saat negara dalam
kondisi damai, para tentara juga tidak pernah berhenti berlatih. Tri memang
bangga menjadi anggota TNI. Walau ada rasa takut, tapi menurutnya itu
manusiawi. Toh, perasaan takut itu tertutup oleh rasa bangga dan tanggung jawab
terhadap negara.
Komentar
Posting Komentar