Dimulai sejak
tahun 2011, restoran di Jalan LL. RE. Martadinata 63 Bandung ini awalnya
menawarkan menu masakan Sunda. Baru sejak 2013 silam, Sangrai yang persis
bersebelahan dengan factory outlet
Heritage, ini menjadikan olahan burung puyuh sebagai spesialisasinya. Mengapa
memilih puyuh sebagai menu utamanya, Olivia Lesmana, pemilik Sangrai, bersama
sang suami, Johann Tirtha, punya cerita tersendiri. Rupanya, semasa kuliah di
Melbourne, Australia, keduanya sering menyantap masakan burung puyuh. Setelah
pulang ke Indonesia, rasa kangen pada masakan puyuh di negeri Kanguru itu
membuat keduanya mencoba memasaknya sendiri. Sejak itulah mereka memasukkan
puyuh goreng original ke dalam daftar
menu di restoran yang mereka dirikan. Tak disangka, respons pembeli cukup
bagus. Akhirnya, keduanya sepakat menjadikan burung puyuh sebagai menu andalan
restoran mereka meski menu seperti nasi timbel dan nasi tutug oncom tetap
dipertahankan.
Mereka mengakui,
mendapatkan pasokan burung puyuh tak mudah karena pemasoknya masih jarang dan
hanya ada di daerah-daerah tertentu. Namun, meski sulit mendapat pasokan, kala
itu keduanya pantang menyerah. Setelah mencari-cari di banyak tempat, akhirnya
mereka berhasil menemukan beberapa pemasok yang sesuai dengan standar mereka.
Dan ternyata, setelah memasukkan menu burung puyuh, penjualan di restoran
mereka lebih bagus daripada sebelumnya. Awalnya mereka hanya memasukkan varian original dan cabe rawit. Namun, setelah
menjadi menu khusus di Sangrai, varian rasa lain pun mulai dimasukkan. Juga
sekarang setiap menu ada level pedasnya, dari yang original sampai tingkat yang
paling pedas. Total, ada delapan rasa yang ditawarkan Sangrai, yaitu Original,
Gocap (goreng kecap), Cabe Ijo, Cabe Garam, Sambal Endes (pedas manis), Sambal
Rawit, Ekstra Rawit dan Puyuh Bakar. Saat ini Sambal Rawit menjadi favorit bagi
pengunjung yang menyukai rasa pedas.
Sangrai tak
serta merta dikenal sebagai restoran yang menjual menu andalan burung puyuh.
Apalagi waktu itu, daging burung puyuh masih dirasa asing bagi banyak orang di
Bandung. Tak jarang, ada pembeli yang mengira mereka berjualan telur puyuh.
Bahkan dulu ada juga yang merasa aneh dengan ukuran burung puyuh yang kecil dan
menganggap dagingnya berkolesterol tinggi. Padahal, yang berkolesterol tinggi
itu adalah telurnya, bukan dagingnya. Selain burung puyuh lokal, Sangrai juga
menyediakan burung puyuh Prancis yang ukurannya lebih besar, yaitu sekitar 200
gram. Puyuh Prancis juga berdaging lebih banyak dibanding yang lokal. Untuk
yang lokal memang lebih kecil dengan berat sekitar 120 gram, tapi rasanya lebih
gurih. Masing-masing punya penggemar sendiri, karena yang terpenting adalah topping-nya.
Harga burung
puyuh lokal per ekor adalah Rp 19.000 dan puyuh Prancis Rp 30.000. Bila
menginginkan topping Ekstra Rawit,
Rawit, atau Sambal Endes, harga ditambah masing-masing Rp 3000, sementara untuk
topping Cabe Garam, Cabe Ijo, dan
Gocap harganya Rp 4000. Kini dalam sehari Sangrai menghabiskan sekitar 150 ekor
burung puyuh. Melihat besarnya minat masyarakat Bandung terhadap burung puyuh,
sejak Desember 2014, Olivia dan suaminya telah membuka cabang dengan sistem kemitraan,
masing-masing di Jalan Pasir Kaliki, Bandung dan di Jakarta ada di Mall of Indonesia
(MOI), Pantai Indah Kapuk, Plaza Semanggi, serta ada pula di Tangerang,
Tangerang Selatan, Bekasi, dan Bali. Jika ditotal, per bulan seluruh cabang
Sangrai membutuhkan sekitar 20 ribu ekor puyuh yang semuanya dikirim dari
kantor pusat di Bandung. Ke depannya, mereka pun akan terus menambah cabang dan
varian rasa.
Komentar
Posting Komentar