HOBBY : BLUSUKAN MELACAK SEJARAH


Sebuah batu yang teronggok di pinggir jalan desa di Temanggung, Jawa Tengah, berhasil memikat perhatian Viriya Candra. Kala itu, pada 2004, ia sempat mengira batu itu adalah lumpang atau tempat menumbuk padi. Terbersit pertanyaan di benaknya, mengapa batu itu bisa berada di sana ? Sebab, sepengetahuannya, lumpang saat itu masih jamak digunakan oleh petani desa meski sudah ada teknologi mesin. Karena itu, tak mungkin batu itu ditinggalkan begitu saja tak bertuan. Candra lantas bertanya pada warga sekitar ihwal batu tersebut. Warga menjelaskan, batu itu adalah lumpang kuno yang digunakan orang zaman dahulu. Dari obrolan itu, ia mendapat informasi dari warga bahwa ada banyak batu sejenis yang terkumpul di satu tempat tak jauh dari sana. Kisah itu ternyata benar. Ia bisa melihat sekitar lima buah batu di lokasi tersebut.

Berawal dari pengalaman itu, Candra mencari informasi lebih lanjut dengan bertanya ke kerabat dan menjelajah jagat internet. Ia kemudian mengetahui bahwa batu yang ditemui itu bukan lumpang, melainkan umpak atau bagian bangunan yang merupakan alas tiang kayu agar tidak dimakan rayap. Adapun yang membuatnya lebih kagum, batu umpak itu diprediksi sudah digunakan sejak abad ke-15. Pengalaman itulah yang membuat Candra langsung benar-benar tertarik menelusuri benda-benda bersejarah. Lulusan sekolah perhotelan ini mengaku sejak kecil sudah suka berkunjung ke candi-candi. Tetapi, baru pada 2004, ia mulai serius mencari jawaban dari pertanyaan yang berkecamuk di benaknya, seperti alasan sebuah candi dibangun, atau kegunaan suatu artefak. Ia kemudian bertemu dengan teman-teman yang sepemikiran dengannya baik secara langsung maupun melalui dunia maya. Mereka kemudian blusukan mencari benda bersejarah dan mencoba menggali ilmu dari temuan itu.

Jika di Jawa dikenal istilah blusukan, di Sunda dikenal istilah nyukcruk. Pandu Nur Madea, menyemarakkan kegiatan itu dengan mendirikan komunitas Tapak Karuhun. Pandu mengaku, hal itu bermula ketika ia merasa perlu melindungi artefak sejarah yang ada di berbagai kabuyutan di tanah Sunda. Kabuyutan adalah istilah untuk situs atau tempat yang mengandung nilai sejarah seperti makam kuno atau candi. Ia mengaku khawatir jika terjadi pembangunan di kabuyutan yang belum diteliti secara mendalam. Ini karena jika terjadi pergeseran pada suatu situs bisa jadi menghilangkan maknanya. Jadi, komunitas Tapak Karuhun dibentuk untuk menjadi tempat berkumpul orang dengan berbagai keahlian yang memiliki cita-cita sama, yakni menelusuri sejarah Sunda dan punya tujuan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menelusuri sejarah.


Komunitas tersebut berbasis di wilayah Ciamis, Jawa Barat. Meski begitu, ada pula anggota yang berasal dari Papua dan luar negeri, seperti Jepang dan Belanda. Yang terbaru, Tapak Karuhun saat ini berencana memeriksa temuan lingga Hindu di daerah Pangandaran, Jawa Barat. Lingga tersebut diprediksi berukuran mencapai 80 sentimeter. Ukuran itu jarang ditemukan karena biasanya temuan lingga paling panjang hanya mencapai 30 sentimeter. Diduga, ada kemungkinan tatanan yang bisa jadi di bawahnya adalah candi.

Tak ada yang bisa menahan keinginan blusukan, dalam kondisi hamil sekalipun. Shovia Mushaddique ingat benar, ditemani sang suami, memulai blusukan pertamanya pada 2006. Ia mencari Bukit Perak yang disebut dalam catatan pengembaraan biksu Buddha I Tsing di Muaro Jambi. I Tsing menyebut bahwa mereka menghadap mahabiksu dan berkumpul di suatu bukit yang bernama Bukit Perak, ketika belajar sabda di Shilifoshi (Sriwijaya). Ingin membuktikan kebenaran tulisan itu, wanita yang biasa disapa Ovi ini, pergi ke Muaro Jambi, yang berjarak sekitar 40 km dari Kota Jambi, tempat tinggalnya. Ovi menceritakan, saat itu, di tahun 2006, kondisinya belum seperti saat ini, di mana masih belum banyak candi yang ditemukan. Mencari lokasi Bukit Perak ternyata tak semudah yang diduga. Di dekat bukit itu memang ada sebuah candi. Menurut penduduk setempat, candi itu sangat keramat, banyak orang meminta hajat di bukit kecil itu. Tetapi, bukit yang berjarak sekitar satu kilometer dari perkampungan itu bernama Bukit Sengalo. Sengalo baru dipahami sebagai perak sewaktu Ovi mengobrol dengan penduduk asli.

Bagai membuka kunci teka-teki, Ovi merasa sangat senang. Ini membuktikan bahwa cerita dan berita dari Cina itu tidak bohong, bukan legenda, dan pantas dijadikan bukti sejarah. Perjalanan Ovi yang saat itu sudah memiliki lima anak tidak sia-sia. Pencarian di lapangan itu berawal dari sebuah seminar sejarah pada 1992 yang dihadirinya saat kuliah semester tiga di Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Saat itu ia menemukan fakta-fakta sejarah yang agak berbeda perihal lokasi Sriwijaya dan Melayu. Sekitar 10 tahun kemudian, Ovi mulai mengumpulkan buku dan bahan-bahan informasi untuk memenuhi keingintahuannya. Lalu pada 2006 ia tak tahan lagi untuk turun lapangan, ingin memastikan kebenaran yang ditulis buku-buku itu.

Kini ibu enam anak ini sudah kesulitan jika diminta menghitung berapa banyak blusukan yang telah dijalaninya. Hampir semua lokasi bersejarah di Jambi telah didatanginya. Beruntung suami Ovi, Mushaddique, amat memahami perjalanan yang dilakukannya, karena memang sudah tahu hobi Ovi yang gemar membaca buku tentang Melayu dan Sriwijaya. Dari melakukan perjalanan sendiri, kini Ovi sudah punya tim dari Komunitas Peduli Budaya Jambi yang didirikanya sejak 2012, yang setia menemaninya. Meski bukan arkeolog, tiap bulan tak ada waktunya tanpa ke lapangan menuju tempat-tempat kuno itu. Dari penjelajahannya selama ini, kini Ovi tengah mempersiapkan buku tentang Sriwijaya dan Kesultanan Jambi.

Baik Pandu, Ovi, maupun Candra mengatakan, ada beberapa cara untuk mendapatkan petunjuk lokasi suatu benda bersejarah. Pertama, adalah melalui literatur. Buku-buku ataupun jurnal sejarah kerap memberikan petunjuk meski tidak detail. Candra memberi contoh, ada buku dari Belanda yang menceritakan seorang jenderal berjalan di tengah sawah. Jenderal itu lalu melihat dua onggokan candi yang sudah hancur. Nah, dari tulisan seperti itu saja sudah bisa menjadi petunjuk. Selanjutnya, agar lebih akurat, bisa mulai coba ditelusuri posisi si jenderal sebelum dan sesudah melihat candi. Selain itu, mitos juga bisa menjadi petunjuk karena berkembang di masyarakat secara turun temurun dan sering kali merupakan kisah nyata. Meski begitu, perlu suatu kejelian dalam memahami mitos. Toponimi suatu tempat juga bisa menjadi sumber petunjuk. Kemudian, mengamati topografi suatu tempat. Dijelaskan Candra, suatu candi biasanya terletak di dekat sumber air. Karena pembangunan candi butuh waktu yang lama, sehingga pekerjanya memerlukan air. Candi juga biasanya terletak di tempat yang tinggi. Candi yang merupakan susunan batu tanpa semen berisiko tinggi hancur kalau terkena banjir. Candra mengakui, semakin banyak petunjuk yang mengarah ke suatu tempat, semakin tinggi keyakinan bahwa ada situs di lokasi tersebut.

Maraknya kasus pencurian benda-benda bersejarah juga membuat Candra dan rekan-rekan lebih selektif dalam berbagi informasi. Ia mengaku pernah mengumumkan penemuan suatu benda dan berselang beberapa hari kemudian benda itu sudah raib. Candra mengaku, baru berani mengumumkan temuan suatu benda kalau warga sekitar berkomitmen menjaganya. Untuk Candra dan rekan-rekan sendiri, ketika menemukan benda bersejarah, tugasnya adalah mendokumentasikan, mengukur, dan mendata untuk kepentingan warisan generasi penerus. Candra pun selalu melaporkan temuannya ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) setempat. Meski begitu, untuk keperluan evakuasi, terkadang BPCB juga mengalami kendala biaya dan tidak berani menanganinya. Bila BPCB memang tidak bisa menangani, maka benda tersebut akan diuruk lagi. Karena yang penting data koordinat sudah tercatat, dan juga sudah difoto.

Candra dan rekan-rekannya pun tahu dan taat ada risiko hukuman penjara selama 15 tahun jika memindahkan benda arkeologis tanpa melalui prosedur. Sementara itu, selain mendokumentasikan temuan dengan memotret dan membuat catatan, Ovi dan kawan-kawan kerap berupaya membujuk warga untuk tidak menjual temuan mereka. Untuk itu, tak jarang mereka memberi uang kompensasi penemuan agar mereka tak segera menjual artefak itu. Pandu Nur Madea pun juga harus merahasiakan beberapa temuan karena takut dicuri pemburu barang antik. Contohnya, lokasi penemuan lingga Hindu di Pangandaran. Ia menyampaikan ke masyarakat setempat untuk menjaga lokasi tersebut dan tidak menyebarluaskan informasi terkait temuan benda bersejarah tersebut. Pandu berharap, jika lokasi tersebut benar-benar merupakan situs arkeologi penting, pemerintah akan memberikan bantuan seperti infrastruktur yang bisa bermanfaat untuk wilayah sekitar, termasuk pada masyarakatnya.

Komentar