HOBY : BERKARYA DENGAN SHIBORI.


Teknik pewarnaan tekstil dari Jepang, shibori, berhasil membuat Siti Marhenani kembali ke dunia kerajinan. Nani, sapaan akrabnya, sudah mengenal keterampilan menjahit dan pembuatan kerajinan sejak usia belia. Ketika berusia tiga tahun, ia mengidap polio dan membuatnya sukar berjalan. Pada saat kelas dua sekolah dasar, orangtua Nani membelikannya mesin jahit agar ia bisa beraktivitas. Nani pun terus menggeluti jahit-menjahit hingga 2013. Setelah itu ia memutuskan untuk pensiun dan menikmati masa tuanya bersama suami. Tetapi, pada Februari 2016, tiba-tiba muncul tawaran untuk belajar shibori. Ia ditraktir oleh rekannya untuk mengikuti pelatihan kerajinan itu. Insting Nani tidak pudar. Ia ternyata masih lihai dalam melipat dan mewarnai kain. Ia kemudian membeli kain dan mencoba-coba sendiri di rumah. Ternyata hasil karyanya menarik cukup banyak peminat.

Nani pun makin bersemangat untuk mengeksplorasi berbagai macam warna dan teknik. Ia merasa ini dunia barunya. Perajin asal Yogyakarta ini kini bisa membuat shibori untuk kembali menyalurkan bakatnya. Beberapa hasilnya pernah ia jual ke Jakarta dan Surabaya. Ada pula hasil karyanya yang dihadiahkan untuk orang Jepang dan mendapat pujian bagus karena hasil karyanya dianggap lebih bagus dari buatan orang Jepang sendiri. Bahkan kini Nani turut berbagi ilmu shibori dengan banyak orang. Ia kerap mengajar kaum difabel dan lansia di Yogyakarta. Nani sendiri bisa membuat 15 celupan selama sepekan. Biasanya, 10 laku terjual, dan sisanya ia hadiahkan.

Untuk Fika Julia, ilmu tentang shibori ia dapatkan lewat jalur formal. Master desain tekstil dari Birmingham City University ini memiliki hobi bereksplorasi dengan kain dan berbagai teknik pewarnaan. Awalnya, sekitar 2015 Fika mencoba-coba membuat shibori, lalu hasilnya ia unggah ke media sosial. Dari sana, Fika pun jadi sering diajak untuk mengajarkan shibori. Bagi Fika, membuat shibori menjadi menarik karena alat-alat pembuatannya relatif mudah didapatkan. Material kain dan pewarna bisa didapatkan di pasaran sesuai selera. Sementara, alat untuk membuat motif bisa menggunakan benda-benda yang ada di rumah, seperti karet, kayu, dan kelereng. 


Shibori memiliki motif khas, yakni bentuk-bentuk geometris sederhana seperti kotak-kotak kecil. Biasanya shibori terdiri dari satu warna, yakni indigo atau nila. Dahulu, orang Jepang menggunakan pewarna alami, yakni dari tumbuhan indigofera untuk mendapatkan warna tersebut. Namun sekarang, lebih sering digunakan pewarna kimia karena lebih mudah. Bila menggunakan pewarna alami, prosesnya akan memakan waktu lebih lama, bisa sampai seharian. 

Demam shibori juga ikut melanda Marina Gosali. Ibu rumah tangga yang juga pencinta kain dan batik ini mulai mengenal shibori pada Maret 2016 melalui ajakan teman. Setelah itu, ia mengembangkan kemampuan sendiri lewat bantuan internet. Beruntungnya, Marina memiliki bekal keterampilan menjahit dari kecil, jadi ia sudah paham dengan berbagai kain. Menurut Marina, teknik celup kain sebenarnya juga sudah ada di Indonesia, seperti jumputan dari Jawa, jumputan titik tujuh dari Palembang, dan sasirangan dari Kalimantan. Untuk beberapa teknik seperti jumputan tak ada perbedaan signifikan dari segi motif. Shibori pun bisa dibuat dengan teknik tie dye. Meski begitu, motif yang berbentuk lingkaran tersebut kurang menunjukkan kekhasan shibori. Karena suatu shibori akan lebih terlihat ciri khasnya melalui teknik lipatan atau itajime dan jelujuran.

Untuk membuat shibori bisa menggunakan pewarna, seperti naptol, remasol, indigosol, dan pewarna alami. Sementara, untuk kain bisa menggunakan katun, sutra, atau rayon. Sebenarnya banyak bahan yang bisa dipakai. Bergantung pada bagaimana kita bisa mencocokkan pewarna dengan bahan. Misalnya, naptol yang bagus untuk bahan katun. Ukuran bahan pun bisa disesuaikan berdasarkan keinginan. Untuk membuat baju bisa menggunakan kain berukuran 250 x 105 sentimeter. Sebelum dibuat shibori, ada baiknya kain dicuci dulu dengan cairan TRO untuk meluruhkan sisa lilin. Setelah kain siap, pola bisa mulai dibentuk dengan melipat, mengikat dengan tali, atau membuat jelujur. Untuk membuat shibori sederhana, bisa dengan melipat kain berbentuk akordion. Setelah dilipat, kain diikat dengan tali rafia. Ikatan kain kemudian dicelupkan dalam ember berisi pewarna dan rendam sekitar setengah menit. Kemudian, ikatan dicelupkan ke ember berisi larutan garam pembangkit warna. Pencelupan bisa diulangi selama tiga kali untuk hasil yang lebih baik. Setelah didiamkan selama kurang lebih lima menit, ikatan bisa dibuka dan langsung dijemur. Proses penjemuran membutuhkan waktu sekitar delapan jam.


Karena pengerjaan shibori menggunakan tangan, maka hasil karya tidak bisa sama persis. Baik itu motif maupun warna, selalu ada perbedaannya, meskipun sudah diukur sebelumnya. Bahkan warna yang ingin ditampilkan pun bisa saja berbeda, misalnya kita ingin warna hitam, tapi yang muncul malah kecokelatan. Tapi, dari sini shibori bisa menjadi ajang bereksperimen dan menghasilkan berbagai motif. Walau warna biru tua merupakan warna khas shibori, tapi tidak ada salahnya kita mendobrak pakem itu dan mencoba berbagai macam kombinasi warna. Belakangan ini ada kecenderungan tren warna indigo sedang naik daun, Hal itu membuat shibori, terutama yang menggunakan warna indigo, juga semakin booming.

Shibori saat ini cukup bernilai tinggi di pasaran. Untuk shibori dengan hasil teknik jelujur harganya bisa Rp 550 ribu per lembar. Sementara untuk shibori gaya itajime, rata-rata kini dihargai Rp 250 ribu per lembar. Yang membuat shibori menjadi mahal adalah tingkat kerumitan desainnya. Selain itu, bahan kain dan pewarna juga ikut menentukan kualitas suatu shibori.





Komentar