HOBY : MENGOLEKSI ENAMEL, PERABOT RUMAH TERKESAN JADUL YANG MENARIK.


Saat mendengar kata enamel, hanya sedikit orang yang mengetahui dan mengenal bahan yang biasa dipakai untuk sejumlah porselen ini. Namanya memang terkesan asing tapi saat ditunjukkan salah satu contoh barang, mereka langsung mengenalnya. Barang enamel memang sudah lama berdampingan di kehidupan masyarakat Indonesia. Hal inilah yang dirasakan seorang pegawai swasta di Bandung, Jawa Barat, Dicky Harisman. Dicky merupakan salah satu orang yang begitu dekat dengan barang-barang enamel. Bahkan, bisa dikatakan sebagai pecinta atau kolektor barang enamel.

Kecintaannya terhadap barang ini bermula dari kebiasannya mengoleksi barang jadul dan unik. Sejak lama, Dicky menyukai untuk mengumpulkan pernak-pernik seperti ukiran kayu dari Kalimantan dan Sulawesi, topeng dari Cirebon, dan sebagainya. Hingga akhirnya ia tertarik dengan benda berbahan enamel, yang penampilannya terkesan jadul tapi menarik mata serta memiliki ciri tersendiri. Hal yang pertama dilihat Dicky ada pada bentuk dan desain yang ditonjolkannya. Menurutnya, bentuk benda berbahan enamel ini tidak biasa dan berkelas seni yang cukup tinggi, didesain penuh cita rasa dengan mengacu pada kaidah fungsi dan seni, juga dibuat dengan bahan yang bagus, sehingga memiliki masa pakai yang sangat lama. Hal inilah yang membuat Dicky tak bosan melihatnya.


Hingga kini, sudah ratusan barang enamel yang dikoleksi Dicky. Semuanya tertata rapi di sejumlah ruangan di rumahnya, sesuai dengan jenis barang, warna, bahkan usia, di rak-rak berbahan pinus buatannya sendiri. Enamel Dicky kebanyakan berasal dari Cina, Ceska, Jerman, Jepang, Hong Kong, dan Belanda. Barang-barang tersebut terdiri dari teko, rantang, paidon (tampalong : Sunda), cangkir, nampan, tempat sop, baskom, baki, alas gelas, lodor, wajan, dan sebagainya. Hampir seluruh barang tersebut diproduksi antara 1930 sampai akhir 1960. Untuk membelinya, kebanyakan Dicky melakukan hunting dari satu loak ke loak lain di Bandung, Yogya, Solo, dan Cirebon. Karena sifatnya loak, ia mendapatkan barang seketemunya saja.

Hal yang dirasakan Dicky juga dialami oleh pria dari Madiun, Jawa Timur, Bernadi S Dangin. Ketertarikan Bernadi kepada enamel bermula dari kebiasaannya mengumpulkan barang antik. Enamel membuatnya teringat kepada masa kecilnya, apalagi saat ini barang-barang tersebut sulit ditemui di pasaran. Barang enamel pertama Bernadi berupa peralatan memasak dan perlatan makan serta minum warisan dari eyang buyutnya. Hal ini juga mengartikan, hampir sebagian besar barang enamel koleksinya merupakan turunan dari buyutnya. Bernadi memang jarang membeli sendiri, tapi ia masih memiliki ketertarikan mengoleksi enamel yang dulu biasa digunakan di bidang kesehatan, dan itu sangat jarang sekali.


Saat ini, jumlah koleksi Bernadi sebanyak 21 jenis. Tiap jenis jumlahnya lusinan yang beberapa di antaranya hanya dipajang di lemari untuk mendekorasi dinding rumahnya. Meski demikian, terkadang enamel kualinya dimanfaatkan saat acara keluarga besar. Di antara ratusan koleksinya, nampan bulat bergambar pemandangan alam di Jepang masih menjadi favoritnya. Ditambah lagi di bagian belakang nampan tersebut terdapat tulisan huruf Jepang. Itu berharga sekali, karena menurut penuturan eyang buyutnya, nampan itu diperoleh dari perempuan Jepang di masa pendudukan Jepang di Indonesia kurang lebih tahun 1943. Perempuan Jepang itu adalah istri pejabat Jepang setingkat camat kalau zaman sekarang. Oleh karena itu, enamel tersebut menjadi barang yang paling eksklusif di matanya. Untuk menjaga kualitas enamelnya, Bernadi mengupayakan agar lapisannya tidak tergores atau terkelupas. Sekali terkelupas, terutama enamel yang masih dipakai sehari-hari, akan muncul karat. Saat seperti ini, yang perlu dilakukan cukup segera mengecat dengan warna senada. Kemudian diulang hingga berlapis-lapis dan tebal.

Berbeda dengan lainnya, Citra Larasati, tidak memiliki koleksi sebanyak Dicky maupun Bernadi. Saat ini, dia baru mengoleksi enamel sebanyak 50an buah. Koleksinya itu, seperti gelas cangkir dan teko kecil corak blurik cendol. Kemudian baskom enamel, panci, lodor, dan nampan yang beberapa di antaranya masih dipakai. Di mata Citra, enamel memiliki desain unik yang menarik. Dia juga tidak menampik, enamel memang kesannya murah dan mungkin sampai sekarang masih diproduksi. Seperti beberapa koleksi Citra yang harga termahalnya tidak sampai Rp 100 ribu per barang. Tapi Citra mengakui, untuk menemukan barang enamel juga tidak gampang. Lulusan Universitas Veteran Negeri Yogyakarta ini lebih sering menemukannya di pasar tradisional di daerah perkampungan.


Hal yang paling menarik, menurut Citra, yakni ketika menyuguhkan tamu dengan beberapa koleksi gelas cangkirnya. Ia seperti sedang melayani tamu istimewa, karena baginya enamel itu sangat istimewa. Sejak ada enamel, Citra mengaku ia hampir tidak pernah minum memakai gelas keramik atau beling lagi. Agar tetap bisa dipakai dan terawat, anak pertama dari tiga bersaudara ini selalu berusaha enamelnya untuk langsung dicuci setelah dipakai. Apalagi saat sering dipakai untuk menjadi wadah teh dan kopi. Citra tak akan menunggu lama untuk segera dicuci karena khawatir akan berbekas di enamel kesayangannya itu. Namun, jika sudah terkena noda, dia biasanya akan menggosoknya dengan serabut besi.

Mengenai tips merawat enamel, Lily Kusrini juga memiliki beberapa cara mempertahankan kualitas koleksinya. Setelah dipakai, dia selalu mencucinya dengan bersih. Bahkan untuk penyimpanan, dia harus memastikan, enamelnya telah dalam kondisi kering. Saat mencuci, dia akan selalu menggunakan spons halus agar tidak merusak lapisan enamel. Lily merupakan salah satu pencinta enamel yang mulai merasakannya sejak 2013. Pada saat mencari properti untuk kedainya, tak sengaja ia menemukan enamel dan langsung menyukainya. Ia melihat perabot enamel akan cocok dengan konsep Kedai Kebun Omah Ndeso miliknya. Saat ini, Lily sudah memiliki beberapa koleksi enamel piring, teko, nampan, mug, beberapa panci, rantang, dan baskom. Enamel yang kebanyakan produksi baru ini dijadikannya sebagai pelengkap kedainya.


Secara kualitas, Lily tentu harus memilih yang benar-benar bagus, mengingat akan dipakai dalam kegiatan kedainya. Dia biasanya akan memilih enamel yang bahan dan penggunaan catnya bagus. Tidak lupa juga memastikan bahannya halus dan tidak mudah terkelupas. Untuk harga, Lily tidak harus mengeluarkan biaya yang besar. Karena enamel bukan barang kuno jadi harganya pun relatif murah. Barang-barang itu biasa dia pesan di Madiun, Wonogiri, dan Solo.




Komentar